Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Demak, Solo
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait

Slamet Riyadi
Alami Pasang Surut, Ini Sejarah Munculnya Tradisi Malam Selikuran Keraton Solo
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, SOLO -- Kirab Malam Selikuran menjadi salah satu tradisi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Kota Solo yang hingga kini terus dilestarikan. Meski mengalami pasang surut dalam sejarahnya, tradisi ini terbukti mampu menyedot perhatian masyarakat Solo dan sekitarnya.
Seperti tampak pada kirab Malam Selikuran yang digelar pada malam ke-21 Ramadan 2025 tepatnya pada Kamis (20/3/2025). Masyarakat memenuhi kanan kiri jalan yang dilakukan peserta kirab.
Peserta kirab di antaranya Raja Keraton Solo PB XIII dan keluarganya serta para abdi dalem yang membawa ubo kirab seperti lampu ting dan 1.000 tumpeng berjalan dari Keraton Solo melewati Bundaran Gladag, menyusuri Jl Slamet Riyadi sampai ke Taman Sriwedari.
Keriuhan tampak ketika warga yang menyaksikan kirab berebut 1.000 tumpeng. Mereka percaya bagi yang mendapatkan tumpeng itu akan mendapat keberkahan. "Saya baru sekali datang ke sini karena memang ingin turut serta menjaga tradisi yang sudah lama eksis di Solo. Ternyata ramai sekali. Selain itu, kata orang tua kalau dapat nasi tumpeng ini bisa dapat berkah," kata warga Manahan, Solo, yang ikut berebut tumpeng, Budi, 56, kepada Espos di sela-sela acara.
Dikutip dari laman kratonsurakarta.com, sejarah munculnya tradisi Malem Selikuran pada mulanya dicetuskan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Namun tradisi ini sempat mengalami pasang surut dan mulai dikembangkan lagi pada era Paku Buwono (PB) IX.
Selanjutnya pada era PB X, Malam Selikuran diselenggarakan dengan kirab, iring-iringan dari Keraton Solo menuju Masjid Agung, lantas diteruskan menuju lapangan Sriwedari pada 1982.
Adapun unsur penting dalam tradisi ini ada tiga yakni lampu ting, seribu tumpeng, dan ancak cantoka. Lampu ting adalah lampu penerang atau pelita yang berjumlah cukup banyak sebagai penerang dalam prosesi kirab Malem Selikuran.
Pernah Ditiadakan
Lampu ting ini, melambangkan cahaya atau nur yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan tumpeng kecil berjumlah 1.000 bermakna pahala yang didapatkan ketika ikhlas beribadah di malam Lailatul Qadar.
Terakhir ancak cantoka, di mana ancak berarti tempat makanan dan cantoka adalah kodok. "Ancak cantoka dapat dipahami sebagai jodang ukuran kecil yang bentuknya seperti kodok terbuat dari besi dan kuningan. Dalam jodang tersebut berisi takir-takir nasi beserta ubo rampenya," tulis keterangan dalam laman tersebut.
Berdasarkan catatan Espos, Kirab Malam Selikuran di Keraton Solo sempat ditiadakan pada Ramadan 2020 saat awal-awal merebaknya pandemi Covid-19. Namun, Keraton Solo kembali mengadakan kirab tersebut pada Ramadan 2021 meski dengan jumlah peserta yang dibatasi dan protokol kesehatan yang ketat.
Pada masa-masa sebelumnya pandemi Covid-19, kirab yang juga dikenal dengan sebutan kirab obor ting ini menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat. Pada era 2011 dan sebelumnya, Kirab Malam Selikuran digelar dengan rute dari Keraton Solo melalui Jl Slamet Riyadi sampai Taman Sriwedari dan kembali ke Keraton Solo.
Hal itu berubah pada 2012 di mana rute kirab tersebut diperpendek dari Kori Kamandungan Keraton Solo lewat Baluwarti menuju Masjid Agung. Perubahan itu mendasarkan pada kondisi Taman Sriwedari yang juga sudah berubah dan seolah kehilangan ruhnya.
Di sisi lain, pada 2012, Pemkot Solo juga menggelar Kirab Malam Selikuran dengan rute dari Balai Kota menuju Plaza Sriwedari. Para peserta kirab yang berasal dari Pokdarwis kelurahan di Kota Solo mengenakan berbagai pakaian tradisional.
2 Kirab dalam Semalam
Mereka berjalan diiringi tabuhan rebana dan kentungan bambu. Lewat acara itu, Pemkot ingin mematahkan persepsi bahwa malam selikuran di Sriwedari hanya milik Keraton Solo. Pemkot ingin keluar dari dikotomi tersebut. Lewat acara itu pula Pemkot ingin menunjukkan bahwa Solo bisa bersatu dan bisa berjalan beriringan.
Catatan lain, Kirab Malam Selikuran Keraton Solo juga pernah digelar dua kali dalam semalam, tepatnya pada malam ke-21 Ramadan 2019. Kirab pertama digelar Bebadan Keraton pimpinan Raja Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi sedangkan kirab kedua digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton pimpinan GKR Koes Moertiyah Wandansari alias Gusti Moeng.
Kirab yang digelar Bebadan Keraton Solo pimpinan PB XIII Hangabehi saat berangkat dari Bangsal Smarakata di dalam Kompleks Keraton Solo menuju Masjid Agung melalui Jl. Supit Urang, dan berhenti di Masjid Agung.
Sementara kirab kedua yang digelar Lembaga Dewan Adat mengambil rute mengitari Kampung Baluwarti dan sama-sama berakhir di Masjid Agung. Berbeda dengan kirab versi Hangabehi, kirab LDA dipimpin prajurit bregada.
Mengenai 1.000 tumpeng yang dibawa saat kirab, konon melambangkan harapan akan datangnya malam seribu bulan atau lailatul qadar. Para peserta kirab yang terdiri atas para prajurit dan sentana dalem mengenakan pakaian adat jawa berupa beskap putih dan jarit serta belangkon.
Sesampainya di Masjid Agung, tumpeng-tumpeng mini yang terdiri atas nasi putih, dua cabai, dua telur, mentimun, dan kedelai hitam didoakan dan dibagikan kepada masyarakat. Kirab Malam Selikuran juga merupakan tradisi para wali sejak masa Kerajaan Demak.
Sentimen: neutral (0%)