Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Kab/Kota: Karanganyar, Solo
Perempuan dan Mimbar Kultum
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Beberapa waktu silam, saya mengomentari salah satu unggahan jadwal kuliah tujuh menit atau kultum di akun Instagram @imm_solo dengan mempertanyakan apakah perempuan tidak diberi kesempatan memberi kultum Tarawih karena jadwal kultum didominasi laki-laki.
Jawaban mencengangkan muncul pada kolom komentar unggahan tersebut, bahwa kultum memang harus laki-laki, bukan perempuan. Sedari kecil hingga dewasa ketika mengikuti Salat Tarawih di daerah Pasar Kliwon, Kota Solo, tidak pernah sekali pun saya menjumpai seorang perempuan yang naik ke mimbar untuk menyampaikan kultum di hadapan jemaah.
Tebersit anggapan bahwa perempuan memang tidak diperbolehkan menyampaikan kultum di hadapan jemaah Salat Tarawih. Benarkah demikian atau mereka memang tidak pernah diberi ruang karena kebanyakan kultum disampaikan oleh laki-laki?
Ketika perempuan mendapat kesempatan mengisi kultum, mereka mampu memberikan pengetahuan dan pengalaman dari perspektif berbeda yang tidak dapat termanifestasikan oleh laki-laki, seperti berbagi tantangan yang dihadapi perempuan ketika Ramadan, isu-isu yang berhubungan dengan keluarga, pendidikan anak, peran sosial perempuan, hingga keadilan gender dalam Islam.
Hingga saat ini perempuan tidak banyak diberi kesempatan mengisi kultum pada Ramadan. Fenomena tersebut menunjukkan masih banyak masjid yang belum memberikan ruang bagi perempuan untuk berkembang dalam ranah keilmuan Islam.
Mayoritas jemaah masjid membentuk stereotipe di tengah masyarakat bahwa laki-lakilah yang seharusnya mengisi kultum saat Salat Tarawih dan bukan perempuan. Lebih jauh, stereotipe demikian memicu ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi perempuan dari mimbar kultum pada Ramadan.
Ketidakterlibatan perempuan dalam kultum bukan hanya mencerminkan ketimpangan akses ke mimbar dakwah, namun juga menunjukkan norma sosial masih mengedepankan laki-laki sebagai pemimpin dalam ruang-ruang keagamaan, meski saat ini banyak perempuan hebat dengan latar belakang pendidikan yang tinggi.
Dalam sejarah Islam banyak perempuan yang menjadi tokoh intelektual dan ulama besar, seperti Aisyah RA yang meriwayatkan banyak hadis, Fatimah Al-Fihri yang mendirikan universitas tertua di dunia, atau Siti Munjiah yang lantang berorasi di mimbar dalam acara Sarekat Islam (SI).
Kehadiran mereka dalam dunia keilmuan menunjukkan Islam tidak membatasi peran perempuan dalam menyebarkan ilmu. Membatasi atau melarang perempuan menyampaikan kultum tidak hanya menghalangi hak mereka dalam belajar dan berdakwah, tetapi juga menutup peluang jemaah mendapatkan wawasan yang lebih inklusif.
Solusi
Saya sependapat dengan Prof. Alimatul Qibtiyah—komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan—yang melalui unggahan di akun Instagram menyatakan perempuan memiliki hak yang sama seperti laki-laki untuk mengisi kultum.
Kesempatan untuk menyampaikan gagasan di mimbar masjid semestinya tidak bias gender. Semua kalangan, baik perempuan dan laki-laki, memiliki hak yang sama untuk mendapat giliran dalam jadwal kultum. Kendati demikian, perempuan justru dijadikan sebagai pendengar setia tatkala kultum dikumandangkan.
Menanggapi fenomena itu, para ulama Nahdatul Ulama (NU) pada putusan muktamar ke-10 di Kota Solo sepakat perempuan diperbolehkan berceramah atau berpidato di hadapan jemaah—yang bisa jadi mayoritas laki-laki—selama tidak melanggar hukum Islam seperti membuka aurat dan tidak menimbulkan fitnah.
Mengutip pendapat Sayyid Muhammad Murtadha Al-Zabidi, suara perempuan bukan termasuk aurat. Muhammadiyah juga berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk melakukan kebaikan karena bertanggung jawab memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran.
Artinya anggapan masyarakatlah yang membentuk budaya seakan-akan hanya laki-laki yang berhak memberikan kultum. Anggapan itu hanya didasarkan pada konstruksi yang telah lama terbentuk. Bukti keduanya memiliki hak yang sama telah secara lugas pada putusan dua organisasi kemasyarakatan Islam tersebut.
Kendati demikian, beberapa hal perlu diterapkan untuk mewujudkan kesempatan yang setara baik laki-laki dan perempuan. Pertama, melakukan edukasi terhadap masyarakat tentang peran perempuan dalam dakwah secara luas, khususnya ranah-ranah dakwah yang kerap kali diperangaruhi budaya-budaya yang cenderung patriarki.
Dalam hal ini dapat memanfaatkan kajian islami dengan menyongsong spirit inklusivitas. Kedua, memberikan peluang bagi perempuan dalam forum keagamaan, khususnya di daerah-daerah yang masih mempertahankan tradisi kultum hanya untuk laki-laki.
Fenomena yang sering dijumpai pada kajian-kajian yang diadakan di masjid adalah perempuan hanya disibukkan menjadi pendengar dan mengurusi urusan konsumsi jemaah. Pembaruan bisa dimulai dengan menyertakan perempuan dalam daftar pengisi kultum.
Selain itu, kajian Islam yang membahas isu-isu perempuan dalam perspektif Islam perlu diperbanyak untuk menciptakan budaya keterbukaan dan inklusivitas masjid. Pengurus masjid memiliki andil, seperti pengadaan program pelatihan dakwah dengan melibatkan perempuan secara aktif.
Dengan demikian, stereotipe yang muncul di tengah masyarakat tentang perempuan dan mimbar kultum sedikit demi sedikit akan terhapuskan dengan berbagai upaya kolektif yang digalakkan bersama.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Maret 2025. Penulis adalah guru di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Digdaya, Bolon, Colomadu, Karanganyar)
Sentimen: neutral (0%)