Sentimen
Negatif (99%)
18 Mar 2025 : 05.57
Informasi Tambahan

Event: Rezim Orde Baru

Kasus: Narkoba

Tokoh Terkait

RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif

18 Mar 2025 : 05.57 Views 20

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif

RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta DISKURSUS revisi Undang-Undang TNI di ruang publik terlihat kontraproduktif. Di satu sisi, sejumlah kelompok masyarakat sipil bersikeras menolak peran lebih luas militer dalam kehidupan politik, karena masih dihantui trauma masa Orde Baru. Di sisi lain, militer justru tampil terbuka meminta peran lebih luas, seolah-olah ingin mengulang romantisme dwifungsi yang telah ditinggalkan pasca-Reformasi 1998. Mandegnya diskursus ini berakar pada cara pandang hubungan sipil-militer yang saling bertolak belakang, namun sama-sama ketinggalan zaman. Kelompok pertama sejalan dengan garis pemikiran Jenderal A.H. Nasution, bersikukuh pada keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi. Sayangnya mereka abai terhadap konsensus bahwa pembangunan nasional hari ini bertumpu pada fondasi supremasi sipil yang kompeten dan profesional di bidang masing-masing. TNI tetap, bahkan wajib ambil bagian dalam pembangunan nasional, namun dengan tupoksi utama di sektor pertahanan negara yang diterjemahkan ke dalam kerangka operasi militer perang. TNI bisa ikut serta dalam sektor-sektor non-pertahanan, dengan catatan diminta oleh otoritas sipil dan berada dalam kerangka operasi militer selain perang. Supremasi sipil dikedepankan karena militer sadar dengan keterbatasan sumber daya dan keahlian mereka di sektor-sektor non-pertahanan. Dalam rangka membangun sektor non-pertahanan seperti kelautan dan perikanan, misalnya, masuk akal untuk berpikir bahwa seorang nelayan yang terbiasa memegang jaring dan pancing lebih kompeten mengelola kekayaan laut untuk tujuan ekonomi, dibandingkan tentara yang lebih terlatih memegang senjata di pertempuran. Kelompok kedua, yang terpengaruh kuat oleh Samuel Huntington, melihat militer sebagai entitas terpisah yang profesional. Namun, mereka berat untuk mengakui bahwa keterlibatan dan pengaruh militer dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat sipil tetap ada, dan bahkan meningkat pasca-Reformasi. Mereka mengabaikan survei-survei beberapa tahun belakangan yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap TNI. Eksistensi organisasi masyarakat sipil di tengah masyarakat yang menggunakan atribut-atribut ala militer. Serta kondisi lingkungan strategis di negara demokrasi lainnya di mana diskursus hitam putih perlahan ditinggalkan. Padahal kontrol sipil di kementerian tertentu yang beririsan dengan militer tidak selalu baik. Seperti dicatat Mukherjee (2020), Kementerian Pertahanan India lebih didominasi birokrat sipil yang berpindah-pindah instansi tanpa pengalaman dan kepakaran militer, dibandingkan anggota aktif militer sendiri. Dampaknya, militer menjadi tidak optimal dalam menjalankan tupoksi, salah satu yang esensial adalah pengadaan alutsista. Sebagai solusi, otoritas sipil tetap memimpin kementerian, namun keterlibatan militer aktif didorong untuk menambah kepakaran. Memaksa militer untuk kembali ke barak dengan alasan profesionalisme ala Huntington bisa kontraproduktif dengan tujuan profesionalisme itu sendiri. Di Amerika Serikat, tempat gagasan ini lahir dan berkembang, profesionalisme ala Huntington malah menciptakan paradoks di internal militer sendiri. Salah satu paradoks ini, seperti ditulis Risa Brooks (2020), adalah kecenderungan anggota aktif di sana lebih terbuka untuk terlibat dalam politik praktis. Mereka sulit menahan godaan kebebasan berekspresi di media sosial, serta rentan dipolitisasi penguasa sipil yang melihat mereka sebagai konstituten politik. Di Indonesia, paradoks ini terlihat dalam banyak hal. Para purnawirawan militer aktif berperan dalam suksesi kepemimpinan nasional melalui partai politik dan pemilu. Sementara itu, partai politik sendiri mulai mengadopsi kaderisasi semi-militer dan membentuk sayap-sayap organisasi yang menggunakan atribut serta simbol-simbol militer. Fenomena ini menunjukkan bahwa batas antara militer dan politik tidak selalu tegas, bahkan dalam upaya menciptakan profesionalisme. Singkat kata, Kelompok Nasution kurang peka terhadap trauma Orde Baru yang menjadi pondasi Reformasi 1998. Kelompok Huntington, sebaliknya, terjebak pada idealisme yang tak realistis di tengah perkembangan zaman dan sisa-sisa pengaruh sosial kultural Orde Baru. Keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik tidak bisa dihindari. Namun, harus ada batas yang jelas dan tegas, ini kata kunci penting. Revisi UU TNI adalah momentum untuk memetakan dan menentukan ulang peran TNI, terutama di sektor-sektor non-pertahanan. Berdasarkan draft RUU TNI yang beredar, masyarakat sipil seharusnya bisa menerima keterlibatan TNI dalam penanggulangan ancaman nontradisional -seperti bencana alam, narkoba, terorisme, hingga siber, termasuk untuk memimpin institusi-institusi terkait. Kapasitas logistik dan koordinasi TNI dalam penanggulangan bencana telah teruji di lapangan. Dalam konteks ancaman nontradisional lainnya, irisan antara peran TNI dengan Polri dalam upaya penanggulangan sulit dibantah. Anggota aktif bisa menjabat di BNN atau BNPT, selama penanggulangan didasarkan pada koridor penegakan hukum dan pelibatan TNI dilakukan dengan koordinasi dengan Polri, dan pengawasan oleh DPR dan publik. Namun, pertanyaan kritis patut diajukan ketika TNI didorong masuk ke institusi seperti Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, atau Kementerian Kelautan dan Perikanan. Rasionalisasi untuk ketiga institusi ini terlihat dipaksakan. Tak ada studi perbandingan yang kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan, bahkan di negara otoriter seperti China dan Saudi untuk melegitimasi militer aktif menduduki posisi di lembaga penegakan hukum. Pengecualian jika ada penjelasan spesifik bahwa anggota aktif hanya menjabat di kamar peradilan atau urusan pidana militer. Untuk sektor kelautan dan perikanan, argumen soal pengelolaan wilayah perbatasan atau konflik kedaulatan wilayah tertentu seperti Selat Malaka dan Laut China Selatan bisa saja diajukan. Namun, alasan ini terlalu bias dan lentur, sehingga bisa diterapkan pada sektor lain dengan logika serupa -Mengapa bukan atau tidak sekalian saja dengan Kementerian Kehutanan atau ESDM, misalnya? Inkonsistensi sulit diterima. Lebih baik sektor-sektor ekonomi semacam ini diserahkan kepada sipil profesional yang teruji rekam jejaknya mengelola kekayaan laut untuk kesejahteraan. Memaksakan militer ke posisi-posisi kontroversial di atas bisa menghambat implementasi makan siang gratis dan program-program prioritas Presiden Prabowo. Sangat banyak studi kredibel yang menunjukkan kualitas demokrasi memiliki korelasi kuat dengan arus masuk penanaman modal asing. Supremasi sipil dan pembagian kekuasaan adalah salah satu indikator utama yang menentukan kualitas tersebut. Kemunduran demokrasi yang sering disuarakan belakangan ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa arus masuk penanaman modal asing tidak optimal. Selain itu, langkah tersebut bisa merusak kepercayaan publik terhadap TNI, yang notabene adalah modal sosial yang lebih berharga dibandingkan peran tambahan di sejumlah lembaga. Memaksakan peran di lembaga-lembaga penegakan hukum hanya akan memicu resistensi, seperti yang sudah terlihat dari kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil sejak RUU ini digaungkan. Ironisnya, kondisi ini bisa melemahkan kekuatan nasional yang justru ingin dibangun pemerintah -suatu esensi dari dialog-dialog hubungan sipil-militer dan hubungan sipil-sektor keamanan secara umum. Revisi UU TNI seharusnya menjadi momentum untuk memperjelas, bukan mengaburkan peran militer dalam kehidupan demokrasi. Dialog konstruktif masyarakat sipil dan sektor keamanan, termasuk polisi dan intelijen harus kembali dibuka dengan tema utama mendengarkan aspirasi masyarakat sipil dan berikut kebutuhan strategis negara dengan sektor keamanan sebagai aktor utama. Tanpa dialog, kondisi hanya akan jadi bom waktu: menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik, dan membuka luka lama yang (ternyata) belum sembuh. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: negatif (99.2%)