Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Izzuddin ibn Abdissalam tentang Tanggung Jawab Ulama terhadap Negara
Beritasatu.com
Jenis Media: Nasional

Izzuddin Ibn Abdissalam, yang juga dikenal sebagai Al-`Izz ibn `Abd Al-Salam (selanjutnya disebut Izzuddin) atau Sultan al-Ulama, merupakan tokoh terkemuka yang memiliki komitmen mendalam terhadap pendidikan dan ilmu Islam. Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang begitu sederhana dan hampir tidak punya apa-apa.
Beruntungnya, Izzuddin tumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan dan sangat mendukung perkembangan intelektual. Masa-masa awal kehidupannya ditandai dengan dedikasi yang luar biasa terhadap pembelajaran, terutama dalam memperdalam pemahaman fikih dan teologi Islam, yang kemudian menjadi landasan kuat bagi kontribusinya di kemudian hari.
Tumbuh dan berkembang di kota Damaskus pada masa kejayaan dinasti Ayyubiyah, beliau mendapatkan kesempatan yang sangat berharga untuk menimba ilmu dari berbagai ulama terkemuka pada zamannya. Para guru dan ulama yang membimbingnya ini tidak hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga membentuk cara pandang dan metodologi berpikirnya, yang pada akhirnya sangat mempengaruhi dan memperkaya perkembangan intelektualnya secara mendalam.
Kehidupan Izzuddin merupakan perjuangan panjang menyuarakan kebenaran, berdiri teguh di atas agama, menghadapi kebatilan, amar ma'ruf nahi munkar, yang membuat kehidupan Izzuddin ini senantiasa berkelindan dengan kesulitan, cobaan, dan ancaman yang terus menerus. Namun ia tidak berkompromi, dan tidak pula mundur, tetapi tetap teguh hingga ajal menjemputnya, sehingga ia pantas mendapatkan gelar Sultan Para Ulama.
Adalah Ibn Daqiq al-‘Id, salah seorang murid utamanya yang menggelari Sang Guru dengan nama itu. Ia menggambarkan betapa legitimasi Izzuddin sebagai ulama di satu sisi, di saat yang sama sebagai penjaga reputasi Ulama pada masanya (as-Subki 1918, 8:209). Usaha itu diimplementasikan dalam sikap-sikapnya yang tegas saat melawan tirani dan kediktatoran. Beliaulah yang mengomandani para ulama dalam beramar ma’ruf nahi mungkar.
Kebesaran Izzuddin yang paling utama selain karya-karya dan murid-muridnya yang luar biasa, adalah reputasi Izzuddin dalam menjaga reputasi ilmu dan keulamaan di hadapan penguasa (al-Wahibi 1982, 47). Awal persinggungan Izzuddin dengan penguasa ditandai dengan peristiwa saat ia menjadi hakim dan mufti agung di Damaskus.
Adalah Al-Saleh Ismail al-Ayyubi, penguasa Damaskus, bersekutu dengan Tentara Salib untuk memerangi saudaranya, Najm al-Din Ayyub, penguasa Mesir. Di antara syarat-syarat persekutuan ini adalah bahwa ia akan memberikan kota Sidon dan Kastil Syaqif dan beberapa kota, mengizinkan mereka membeli senjata dari Damaskus, dan pergi bersama mereka dalam satu pasukan untuk menyerang Mesir (Zuhaili 1992, 171–72).
Keputusan penguasa ini meresahkan sang mufti. Persekongkolan politik seperti ini menurut dia sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam agama. Ia marah. Ia gunakan otoritas keulamaanya untuk melindungi agama. Ia mengeluarkan fatwa untuk para pedagang di Damaskus bahwa menjual senjata kepada Tentara Salib tidak diperbolehkan karena barang siapa yang menjual senjata kepada mereka, maka ia tahu bahwa mereka akan mengarahkan senjata tersebut ke dada kaum Muslimin.
Dalam khotbah Jumat yang biasanya ia mendoakan asing penguasa, kali ini ia gunakan untuk mengecam Salih Ismail karena persekutuannya dengan Tentara Salib, serta mengakhiri khotbah dengan mengatakan: “Ya Allah, tegakkanlah bagi bangsa ini sebuah tatanan lurus yang di dalamnya Engkau memperkuat kekasih-Mu dan mempermalukan musuh-Mu, dan di dalamnya kebaikan diperintahkan dan kejahatan dilarang.”
Sang gubernur marah besar. Ia segera menurunkan sang syekh dari kedudukannya. Tak cukup. Izzuddin dipenjarakan. Namun, respon penduduk Damaskus membuat penguasa berpikir ulang. Akhirnya sang syekh dikeluarkan dari penjara, tapi ia tak lagi diizinkan naik mimbar.
Sang Imam memutuskan untuk hijrah akhirnya. Ke Mesir.
Izzuddin tiba di Mesir pada tahun 639 H, dengan seluruh ketenaran dan kedudukannya yang tinggi. Dia diterima dan dihormati oleh Sultan Mesir, Najm al-Din Ayyub, yang memberinya panggung pidato di Masjid Amr bin al-As dan menunjuknya sebagai hakim di Mesir. Ulama terhormat Mesir, Syekh Zaki al-Din al-Mandhari, memilih untuk menahan diri untuk tidak memberikan fatwa di hadapan Izzuddin sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap ilmunya.
Di Mesir, masa itu berada dalam penguasa Mamluk. Kerajaan Mamluk adalah kerajaan yang didirikan oleh para budak yang memerintah di Mesir dan Suriah. Kerajaan ini juga dikenal sebagai Dinasti Mamluk atau Mamalik.
Status budak inilah yang menjadi perhatian sang Imam. Dalam tradisi fikih Syafi’i, status budak mereka belumlah hilang karena mereka tidak pernah dimerdekakan ataupun memerdekakan diri.
Sehingga sehingga banyak persoalan administrasi pemerintahan maupun keagamaan yang bisa menjadi masalah karena status budak tersebut, di sisi lain sebagai penguasa. Sang imam menyarankan kepada para penguasa yang berstatus budak untuk memerdekakan dirinya sendiri dengan cara “membeli” dirinya sendiri lewat baitul mal.
Tentu saja fatwa Izzuddin ini memicu perdebatan luar biasa panas di Mesir. Ia didesak untuk mencabut fatwa tersebut karena telah menimbulkan keresahan umum. Ia bergeming. Integritas keulamaanya betul-betul diuji di negeri tempat para penguasa telah menerima dirinya saat ia terusir ini. Problem ini sempat membuat dirinya sudah bersiap untuk meninggalkan Mesir kali ini.
Beruntung, sang Raja mengerti akan visi sang Imam. Ia kemudian meminta Izzuddin untuk memimpin proses kemerdekaan status budak para penguasa Mamluk. Para pejabat serta penguasa di wilayah administrasi Mamluk kemudian membeli dirinya sendiri lewat baitul mal sehingga status budak mereka hilang, dan proses muamalah kembali berjalan seperti biasa.
Keteguhan Izzuddin atas prinsip keulamaan adalah sebuah contoh yang luar biasa bagaimana Ilmu mampu menjadi panglima dalam menjalankan negara. Ilmu dengan seluruh institusinya, mulai ulama dan jemaahnya, aktivitas intelektual beserta kelembagaannya (sekolah, madrasah, kampus) adalah sebuah wilayah suci yang harus terbebas dari kepentingan-kepentingan lain yang mungkin menodainya.
Integritas keulamaan harus dijaga sekuat-kuatnya, semampu-mampunya. Pantang mundur apa pun risiko yang mungkin timbul sebagai akibat dari itu, bahkan nyawa sekalipun. Seperti pesan Izzuddin kepada putranya
أأبوك أقلّ من أن يُقتل في سبيل الله؟
Artinya; "Apakah ayahmu lebih rendah (tidak layak) untuk terbunuh di jalan Allah?"
Pertanyaan selanjutnya adalah, di manakah posisi Institusi Keulamaan Indonesia di hadapan penguasa saat ini?
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)
Sentimen: negatif (66.7%)