Sentimen
Positif (97%)
12 Mar 2025 : 14.35
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Gunung

Kasus: kekerasan seksual, korupsi, Narkoba, nepotisme

Predator Anak di Tubuh Polri

12 Mar 2025 : 14.35 Views 19

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Predator Anak di Tubuh Polri

Predator Anak di Tubuh Polri Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor SEBEJAT itukah AKBP Fajar Widyadharma Lukman , Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur? Pertanyaan ini menggema di benak masyarakat setelah terungkapnya kasus kekerasan seksual yang diduga melibatkan seorang pimpinan Polri di wilayah tersebut. Ketika institusi yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anak justru dipimpin oleh seorang pelaku kekerasan seksual, makna keadilan dan perlindungan tampak semakin jauh dari kenyataan. Rasa marah menggelegak, tetapi masyarakat merasa tak berdaya menghadapi kenyataan pahit ini. Polri mempunyai moto Rastra Sewakotama yang artinya Abdi Utama bagi Nusa Bangsa. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Namun, ketika insiden kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terjadi di tangan anggota kepolisian itu sendiri, makna dari moto ini menjadi sangat kontradiktif. Alih-alih menjadi pelindung, oknum polisi tersebut justru berperan sebagai predator anak , merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang seharusnya menjaga keamanan. Kasus ini ibarat benteng yang seharusnya menjaga keamanan dan kesejahteraan penduduk. Namun, benteng tersebut memiliki celah yang memungkinkan musuh masuk. Sebagian dari benteng justru berkolaborasi dengan para penyerang, mengkhianati kepercayaan penduduk. Seharusnya, institusi kepolisian berfungsi sebagai pelindung, terutama bagi anak-anak. Namun, ketika oknum di dalamnya malah berperilaku menyimpang, benteng ini menjadi rapuh dan tidak dapat diandalkan. Kejadian ini mencerminkan masalah sistemik yang lebih dalam, bukan hanya sekadar insiden isolasi. Ketika institusi yang seharusnya melindungi masyarakat justru terlibat dalam tindakan keji, ini menunjukkan adanya kelemahan struktural yang perlu segera diidentifikasi dan diperbaiki. Celah-celah dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum menciptakan ruang bagi perilaku menyimpang untuk berkembang. Tanpa tindakan tegas dari pemimpin dalam hal ini Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun akan hancur. Masyarakat akan semakin skeptis terhadap kemampuan institusi kepolisian untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Jika celah ini tidak segera ditangani, ancaman dari dalam akan terus menggerogoti fondasi kepercayaan masyarakat. Setiap kasus kekerasan seksual yang melibatkan aparat penegak hukum bukan hanya merusak reputasi individu, tetapi juga menciptakan stigma yang lebih besar terhadap seluruh institusi. Masyarakat akan merasa tidak aman dan terasing dari pihak yang seharusnya menjadi pelindung mereka. Kasus kekerasan seksual yang melibatkan AKBP Fajar Widyadharma membuka tabir kelam yang mengejutkan. Temuan video berisi konten keji yang diunggah dari Kota Kupang memunculkan pertanyaan mendalam tentang integritas dan moralitas anggota kepolisian. Sebejat itukah Kapolres Ngada NTT? Dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: apakah kita benar-benar aman di bawah perlindungan mereka yang seharusnya menjaga kita? Saatnya kita mewaspadai 'gunung es' ini dan mendesak reformasi mendasar sebelum terlambat. Kasus ini tidak hanya mencoreng wajah institusi kepolisian di Tanah Air, tetapi juga memperburuk citra polisi Indonesia di ranah internasional. Ketika berita ini mencuat, publik di luar negeri mulai mempertanyakan integritas aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Kejadian ini menambah daftar panjang pelanggaran yang melibatkan anggota kepolisian, menciptakan keraguan di kalangan masyarakat internasional terhadap integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum di Indonesia. Setiap insiden yang terungkap tidak hanya mencoreng wajah institusi, tetapi juga memengaruhi citra negara di mata dunia. Ketidakmampuan untuk menegakkan hukum dan melindungi yang lemah, terutama anak-anak, memperburuk pandangan internasional terhadap sistem peradilan kita. Dalam era di mana informasi menyebar dengan cepat, citra buruk ini dapat merusak hubungan diplomatik dan kerja sama internasional, termasuk dalam perlindungan anak. Ketidakmampuan untuk menegakkan hukum dan melindungi anak-anak hanya akan semakin memperburuk pandangan terhadap sistem peradilan kita. Oleh karena itu, penting bagi kepolisian untuk melakukan introspeksi dan reformasi menyeluruh. Jika tidak, maka kita akan terjebak dalam stigma negatif yang merugikan institusi dan masyarakat yang seharusnya dilindungi. Kejadian ini berawal dari laporan pihak berwajib Australia yang menemukan video kekerasan seksual terhadap anak. Penelusuran lebih lanjut mengarah ke Kota Kupang, tempat video tersebut diunggah. Penangkapan pelaku menunjukkan bahwa meskipun kasus ini terdeteksi, masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab: Mengapa seorang anggota kepolisian bisa terlibat dalam tindakan keji seperti ini? Apa yang salah dengan sistem seleksi dan pengawasan di institusi kepolisian? Fenomena meningkatnya kekerasan seksual terhadap anak laki-laki juga menjadi sorotan. Banyak kasus menunjukkan bahwa pelaku memanipulasi anak-anak, memanfaatkan posisi mereka untuk melakukan kejahatan. Ini bukan hanya masalah individual, tetapi juga refleksi dari budaya dan sistem yang gagal melindungi anak-anak. Hasil pemeriksaan urin terhadap terduga pelaku yang positif menggunakan narkoba mencerminkan masalah lain dalam tubuh kepolisian. Jika anggota kepolisian terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, bagaimana mungkin mereka bisa menjalankan tugas melindungi masyarakat? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh pimpinan kepolisian. Melihat kejadian ini, sudah saatnya kita mendesak Kapolri untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perilaku anggota Polri yang diduga menyimpang. Kasus ini bukan fenomena terisolasi; bisa jadi ada banyak kasus serupa yang belum terungkap. Pemeriksaan psikologis dan kejiwaan anggota kepolisian perlu dilakukan secara rutin. Mereka yang bermasalah harus diberikan pendampingan, dan jika perlu, diberhentikan dari institusi. Sistem seleksi masuk anggota Polri juga harus diaudit. Seleksi yang jujur dan bebas dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme sangat penting. Dengan kejadian ini, polisi tidak lagi dianggap sebagai tempat yang aman bagi masyarakat. Rasa takut dan trauma muncul, menggantikan rasa aman yang seharusnya diberikan oleh aparat penegak hukum. Jika mereka justru menjadi predator seksual anak, maka institusi ini perlu direformasi secara mendalam dan meyeluruh. Kejadian ini adalah panggilan untuk bertindak. Masyarakat harus bersuara agar keadilan ditegakkan dan kasus ini tidak terulang. Kita tidak bisa membiarkan institusi yang seharusnya melindungi anak-anak justru menjadi ancaman. Reformasi di tubuh kepolisian adalah langkah yang tidak bisa ditunda lagi. Saat ini, kita berada di persimpangan jalan. Masyarakat tidak bisa lagi bersikap pasif, kita harus bersuara lebih keras dan lebih tegas. Reformasi di tubuh kepolisian bukanlah permintaan, tetapi kebutuhan mendesak. Kita harus memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang jenis kelamin, dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan terlindungi. Mari kita jalin kekuatan kolektif untuk mendesak perubahan, agar setiap suara terdengar, dan agar keadilan ditegakkan. Dengan ketegasan dan integritas, kita bisa berharap untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, di mana institusi yang seharusnya melindungi kita benar-benar menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Kejadian ini menciptakan keraguan mendalam di kalangan masyarakat tentang kemampuan Polri untuk menjalankan tugasnya secara efektif dan etis. Ketika pelanggaran hukum dilakukan oleh mereka yang seharusnya menegakkan hukum, dampaknya sangat merusak, tidak hanya bagi korban, tetapi juga bagi citra institusi di mata publik. Masyarakat berhak merasa aman dan terlindungi. Namun kenyataan pahit ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa moto Rastra Sewakotama tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar terwujud dalam setiap tindakan dan kebijakan kepolisian. Oleh karena itu, reformasi mendasar dalam tubuh Polri sangat diperlukan agar institusi ini dapat kembali menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab dan integritas. Itulah harapannya. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: positif (97%)