Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: Naif
Kab/Kota: Doha
Kasus: Teroris
Tokoh Terkait
Israel Panik Campur Geram Saat Utusan AS Sebut Hamas 'Orang Baik' dan 'AS Bukan Agen Israel' - Halaman all
Tribunnews.com
Jenis Media: Internasional

Israel Panik Campur Geram Saat Utusan AS Sebut Hamas 'Orang Baik' dan 'AS Bukan Agen Israel'
TRIBUNNEWS.COM - Para pejabat terkait Israel dilaporkan sangat panik menyusul komentar yang dilontarkan Adam Boehler, utusan Amerika Serikat (AS) untuk urusan sandera.
Laporan The National, Selasa (11/3/2025), menyatakan kepanikan ini terjadi saar Boehler menggambarkan gerakan perlawanan Palestina, Hamas sebagai "orang baik" dan bahwa negaranya "bukan agen Israel".
"Kini Para pejabat AS mulai meredakan suasana setelah komentar Adam Boehler, yang membuat Israel panik," kata laporan itu.
Sebelumnya, para pejabat Israel dilaporkan sudah sangat marah saat mengetahui kalau AS menggelar pembicaraan langsung dengan Hamas terkait pembebasan sandera warga negara mereka.
Israel merasa tidak dilibatkan dalam pembicaraan yang juga membahas soal kelanjutan kesepakatan gencatan senjata Tiga Tahap yang sudah dicapai pada bulan Januari.
Israel yang sudah cemas, makin gerah saat Boehler memicu kekhawatiran lebih lanjut dengan serangkaian wawancara media di saluran AS dan Israel, di mana ia mengatakan AS memiliki "kepentingan khusus yang dipertaruhkan".
"Komentarnya menimbulkan kekhawatiran di Israel kalau AS, sekutu terpenting Israel, yang telah memainkan peran utama dalam negosiasi penyanderaan dan mendukung negara tersebut selama perang Gaza , dapat menjadi mitra yang kurang dapat diprediksi di bawah Presiden Donald Trump," kata laporan The National.
NETANYAHU DAN TRUMP - Foto ini diambil pada Senin (10/2/2025) dari publikasi resmi Netanyahu pada Rabu (5/2/2025), memperlihatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) berbicara dengan sekutunya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kanan), di Gedung Putih. (Instagram/b.netanyahu) Israel Tuding AS Tidak Konsisten
Chuck Freilich, peneliti senior di lembaga pemikir The Institute for National Security Studies (INSS) dan mantan wakil penasihat keamanan nasional Israel, mengatakan kepada The National bahwa siapa pun yang menyetujui komentar Boehler telah "melanggar kebijakan Amerika selama puluhan tahun untuk tidak berbicara dengan Hamas sejak lembaga itu didirikan.
Hal itu juga melanggar sikap umum AS yang selama ini teguh untuk tidak bernegosiasi dengan organisasi yang sudah dilabeli sebagai "organisasi teroris".
Menyadari banyak salah tafsir oleh pihak Israel, Boehler kemudian berkata dalam sebuah posting di X:
"Saya ingin MENJELASKAN dengan SANGAT JELAS karena beberapa orang telah salah menafsirkan. Hamas adalah organisasi teroris yang telah membunuh ribuan orang tak berdosa. Mereka secara DEFINISI adalah orang-orang JAHAT."
Sehari setelah wawancara Boehler, Menteri Luar Negeri, AS Marco Rubio mengatakan negosiasi langsung negaranya dengan Hamas merupakan “situasi satu kali” yang belum “membuahkan hasil”.
“Utusan khusus kami untuk para sandera, yang tugasnya adalah membebaskan orang-orang, memiliki kesempatan untuk berbicara langsung dengan seseorang yang memiliki kendali atas orang-orang ini dan diberi izin serta didorong untuk melakukannya,” kata Rubio.
Adapun Freilich mengatakan, pertemuan AS-Hamas itu sudah berlangsung beberapa kali.
"Jadi ini bukan hanya sekali, tetapi katakanlah itu adalah upaya satu kali untuk melakukan pembicaraan dengan mereka, itu mungkin telah merusak upaya Witkoff," tambahnya, merujuk pada utusan AS untuk Timur Tengah Steve Witkoff, yang sangat dihormati di kalangan warga Israel yang menginginkan pembebasan sandera diprioritaskan.
"Sepertinya mungkin pemerintahan AS di bawah Trump) tidak terkoordinasi dan berbicara dengan satu suara."
Komentar Rubio memang muncul saat Witkoff, tokoh kunci dalam upaya pembebasan sandera di Gaza, yang beberapa di antaranya memegang kewarganegaraan AS, mengatakan "semua hal bisa didiskusikan" dalam perundingan saat ini asalkan Hamas melakukan demiliterisasi dan meninggalkan Gaza.
"Jika mereka pergi, maka semua hal bisa didiskusikan untuk mencapai perdamaian dan itulah yang harus mereka lakukan," katanya.
ISRAEL KERAHKAN TANK - Foto yang diambil Tribunnews.com melalui Telegram Quds News Agency pada Selasa (25/2/2025) memperlihatkan tentara Israel melanjutkan agresinya terhadap Jenin dengan mengerahkan tank. Warga Palestina takut Tepi Barat akan menjadi Gaza kedua setelah Israel mengerahkan tank untuk pertama kalinya di sana. (Telegram Quds News Agency) Israel Ogah-ogahan Negosiasi Tahap II Gencatan Senjata
Sementara itu, banyak media Israel mengkritik utusan yang disandera tersebut, dengan menerbitkan artikel opini yang menggambarkan pejabat tersebut sebagai "naif".
Tim negosiator tingkat menengah Israel tiba di Qatar pada hari Senin untuk melakukan negosiasi tidak langsung terbaru dengan Hamas mengenai nasib gencatan senjata di Gaza.
Sumber-sumber mengatakan, dilansir The National kalau delegasi Israel di Doha kurang berminat dalam negosiasi tahap kedua dari kesepakatan tersebut.
Hal itu karena pembahasan akan berfokus pada gencatan senjata permanen di Gaza dan penarikan penuh Pasukan Israel dari wilayah tersebut.
Meskipun jajak pendapat di Israel secara konsisten menunjukkan kalau mayoritas publik mendukung kelanjutan kesepakatan pembebasan sandera, pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menggaungkan pernyataan sejumlah menteri yang menentang keras kesepakatan apa pun dengan Hamas.
Netanyahu sendiri dituduh oleh banyak pihak di Israel mengulur-ulur kesepakatan untuk menghentikan koalisinya dari keruntuhan.
Penundaan dalam transisi dari fase pertama kesepakatan yang telah berakhir ke fase kedua telah memunculkan kekhawatiran bahwa pimpinan Israel siap untuk melanjutkan pertempuran, sebuah langkah yang akan menjerumuskan Gaza ke dalam bencana kemanusiaan lebih lanjut.
Menurut para kritikus, niat Israel melanjutkan perang akan menempatkan para sandera Israel yang masih hidup di Gaza dalam bahaya yang mematikan.
Kepala staf militer baru Israel, Eyal Zamir, pada hari Senin mengatakan negaranya “harus siap menghadapi kenyataan bahwa tahun 2025 akan menjadi tahun perang”.
Sentimen: negatif (99.9%)