Sentimen
Negatif (100%)
11 Feb 2025 : 13.01
Informasi Tambahan

Institusi: UNPAD

Kab/Kota: bandung

Tokoh Terkait
Siti Nadia Tarmizi

Siti Nadia Tarmizi

Mengenal Pendekatan THR, Jurus Jitu Hentikan Kebiasaan Merokok

11 Feb 2025 : 13.01 Views 34

Medcom.id Medcom.id Jenis Media: Nasional

Mengenal Pendekatan THR, Jurus Jitu Hentikan Kebiasaan Merokok

Jakarta: Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan risiko merokok menjadi penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia. Situasi ini membutuhkan strategi yang bisa diterapkan, menurunkan risiko akibat rokok hingga membantu perokok berhenti merokok.  Pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR) menjadi salah satu cara yang bisa diambil dalam mengatasi hal itu. Berdasarkan Laporan “Lives Saved Report” yang dikeluarkan oleh Global Health Consults, penerapan THR dapat menyelamatkan 4,6 juta nyawa perokok hingga 2060 di Indonesia. “Kalau melihat definisinya, THR ini fokus pada mengurangi dampak risiko dari merokok. THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok. Kami akan menunggu hasil risetnya untuk masukan kebijakan kita,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi dalam acara diskusi di Jakarta, yang dikutip Selasa, 11 Februari 2025. THR merupakan salah satu metode alternatif, khususnya menurunkan risiko produk tembakau. Pendekatan ini bukan hanya menekankan pada peralihan penggunaan produk alternatif, melainkan keseluruhan upaya menurunkan risiko yang diwujudkan melalui kebijakan, riset, dan perkembangan teknologi hingga akhirnya membuat perokok berhenti merokok. Nadia mengatakan peran Kemenkes dalam merumuskan kebijakan menjadi salah satu poin penting dalam upaya mengatasi dampak risiko akibat rokok. Kemenkes masih berfokus pada penerapan Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui praktik konseling di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) dalam membantu orang berhenti merokok.   “Secara strategi kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar (regulasi yang terbit) bisa evidence-based,” kata Nadia. Penyusunan kebijakan berbasis bukti atau data menjadi hal yang harus didorong, terutama dalam mengatasi masalah perokok di Indonesia. Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung sekaligus salah satu penulis Laporan “Lives Saved Report”, Ronny Lesmana sepakat dengan hal itu. Menurut dia, selama ini gerakan untuk mengajak orang berhenti merokok sudah masif dilakukan, tetapi belum efisien dalam menurunkan angka perokok. Untuk itu, diperlukan pendekatan dan strategi lain, salah satunya dengan menerapkan metode THR. “Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau THR diterapkan, maka kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat akan lebih baik. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami,” ujar Ronny. Uji toksisitas tersebut dilakukan dengan menguji sel molekuler pada perokok konvensional dan perokok produk alternatif rendah risiko. Produk yang digunakan untuk penelitian disesuaikan dengan standar yang ditetapkan di seluruh dunia. Penelitian replikasi yang diuji di enam (6) negara pun menunjukkan bahwa beberapa produk alternatif tersebut terbukti lebih rendah risiko dibanding rokok konvensional. Kajian berbasis ilmiah yang dilakukan sesuai metodologi sangat dibutuhkan di Indonesia. Riset THR yang spesifik dengan dukungan dari pemerintah sangat penting, terutama dalam mewujudkan kolaborasi bersama lembaga penelitian dan lembaga pendidikan.  Nantinya, temuan tersebut akan menjadi basis data yang berperan sebagai pertimbangan pemerintah dalam menyusun regulasi. Saat ini, minimnya data soal THR berdampak pula pada keluaran regulasi yang belum tepat sasaran. Senada, peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO) Tikki Pangestu menekankan pentingnya penelitian soal THR di Indonesia. Hasil penelitian tersebut akan menjadi basis awal dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih efektif. Penelitian mengenai THR yang sebelumnya sudah dilakukan di luar negeri belum bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi perokok sesungguhnya di Indonesia. “Penelitian lanjutan THR dalam konteks lokal harus diberi prioritas tinggi dan mendapat sokongan. Ini yang masih sangat kurang di Indonesia. Penelitian bisa berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi, seperti apa perbandingannya antara rokok konvensional dengan produk alternatif,” kata Tikki.

Jakarta: Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan risiko merokok menjadi penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia. Situasi ini membutuhkan strategi yang bisa diterapkan, menurunkan risiko akibat rokok hingga membantu perokok berhenti merokok. 
 
Pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR) menjadi salah satu cara yang bisa diambil dalam mengatasi hal itu. Berdasarkan Laporan “Lives Saved Report” yang dikeluarkan oleh Global Health Consults, penerapan THR dapat menyelamatkan 4,6 juta nyawa perokok hingga 2060 di Indonesia.
 
“Kalau melihat definisinya, THR ini fokus pada mengurangi dampak risiko dari merokok. THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok. Kami akan menunggu hasil risetnya untuk masukan kebijakan kita,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi dalam acara diskusi di Jakarta, yang dikutip Selasa, 11 Februari 2025.

THR merupakan salah satu metode alternatif, khususnya menurunkan risiko produk tembakau. Pendekatan ini bukan hanya menekankan pada peralihan penggunaan produk alternatif, melainkan keseluruhan upaya menurunkan risiko yang diwujudkan melalui kebijakan, riset, dan perkembangan teknologi hingga akhirnya membuat perokok berhenti merokok.
 
Nadia mengatakan peran Kemenkes dalam merumuskan kebijakan menjadi salah satu poin penting dalam upaya mengatasi dampak risiko akibat rokok. Kemenkes masih berfokus pada penerapan Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui praktik konseling di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) dalam membantu orang berhenti merokok.


“Secara strategi kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar (regulasi yang terbit) bisa evidence-based,” kata Nadia.
 
Penyusunan kebijakan berbasis bukti atau data menjadi hal yang harus didorong, terutama dalam mengatasi masalah perokok di Indonesia. Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung sekaligus salah satu penulis Laporan “Lives Saved Report”, Ronny Lesmana sepakat dengan hal itu.
 
Menurut dia, selama ini gerakan untuk mengajak orang berhenti merokok sudah masif dilakukan, tetapi belum efisien dalam menurunkan angka perokok. Untuk itu, diperlukan pendekatan dan strategi lain, salah satunya dengan menerapkan metode THR.
 
“Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau THR diterapkan, maka kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat akan lebih baik. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami,” ujar Ronny.
 
Uji toksisitas tersebut dilakukan dengan menguji sel molekuler pada perokok konvensional dan perokok produk alternatif rendah risiko. Produk yang digunakan untuk penelitian disesuaikan dengan standar yang ditetapkan di seluruh dunia. Penelitian replikasi yang diuji di enam (6) negara pun menunjukkan bahwa beberapa produk alternatif tersebut terbukti lebih rendah risiko dibanding rokok konvensional.
 
Kajian berbasis ilmiah yang dilakukan sesuai metodologi sangat dibutuhkan di Indonesia. Riset THR yang spesifik dengan dukungan dari pemerintah sangat penting, terutama dalam mewujudkan kolaborasi bersama lembaga penelitian dan lembaga pendidikan. 
 
Nantinya, temuan tersebut akan menjadi basis data yang berperan sebagai pertimbangan pemerintah dalam menyusun regulasi. Saat ini, minimnya data soal THR berdampak pula pada keluaran regulasi yang belum tepat sasaran.
 
Senada, peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO) Tikki Pangestu menekankan pentingnya penelitian soal THR di Indonesia. Hasil penelitian tersebut akan menjadi basis awal dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih efektif. Penelitian mengenai THR yang sebelumnya sudah dilakukan di luar negeri belum bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi perokok sesungguhnya di Indonesia.
 
“Penelitian lanjutan THR dalam konteks lokal harus diberi prioritas tinggi dan mendapat sokongan. Ini yang masih sangat kurang di Indonesia. Penelitian bisa berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi, seperti apa perbandingannya antara rokok konvensional dengan produk alternatif,” kata Tikki.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

(ADN)

Sentimen: negatif (100%)