Sentimen
Positif (100%)
1 Feb 2025 : 07.24

Stigmatisasi di Dunia Medis, Mungkinkah bisa Berakhir? - Halaman all

1 Feb 2025 : 07.24 Views 22

Tribunnews.com Tribunnews.com Jenis Media: Internasional

Stigmatisasi di Dunia Medis, Mungkinkah bisa Berakhir? - Halaman all

"Memangnya kamu sudah menikah?" Pertanyaan yang terlihat sederhana namun sensitif itu masih saja diterima Baila, 28, yang membutuhkan pil KB untuk menjaga keseimbangan hormonnya. Padahal, rekam medis Baila jelas dan kebutuhan mengonsumsi pil KB merupakan resep dari dokter yang menangani kondisi kesehatannya.

"Saya jawab bahwa saya belum menikah, dan kalaupun pil KB tersebut saya konsumsi bukan karena arahan dokter tapi atas kemauan saya sendiri juga itu adalah hak saya. Kewajiban saya hanyalah jujur soal rekam medis, saya tidak butuh di-judge, saya bahkan tidak perlu menyampaikan kenapa saya mengonsumsi pil KB tersebut," tegas Baila.

Studi Iranian Red Crescent Medical Journal yang dipublikasikan dalam National Library of Medicine menekankan, ketakutan akan stigma yang terkait dengan layanan kesehatan reproduksi selalu menjadi salah satu alasan mengapa kaum muda dan individu yang belum menikah menghindari penggunaan layanan tersebut.

Stigma ini menimbulkan tekanan mental, ketakutan, dan depresi yang besar pada pasien dan menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan.

Stigma terhadap perempuan dalam penggunaan kontrasepsi adalah salah satu tantangan dalam dunia medis. Padahal, kebutuhan akan pengobatan hormonal tidak selalu terkait dengan kehidupan seksual atau status perkawinan seseorang. Akibat stigma ini, banyak perempuan yang merasa tidak nyaman atau enggan mengakses layanan medis yang seharusnya menjadi hak mereka.

Melawan stigma dalam dunia medis

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan rencana untuk memberikan fasilitas cek kesehatan gratis bagi seluruh warga negara di hari ulang tahun mereka. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kesehatan masyarakat dan memperluas akses layanan kesehatan bagi semua kalangan.

Namun, di balik inisiatif positif ini, masih ada tantangan besar yang menghambat akses layanan kesehatan yang setara. Stigmatisasi dan diskriminasi dari tenaga medis terhadap pasien, terutama mereka yang berasal dari kelompok marjinal, termasuk pekerja seks, komunitas LGBTQ+, serta masyarakat miskin. Mereka tidak jarang harus menghadapi stigma negatif atau bahkan diskriminasi saat ingin mengakses layanan kesehatan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Dokter Sandra Suryadana menyaksikan langsung bagaimana stigma dalam dunia medis dapat berdampak buruk terhadap pasien. Selama lebih dari 10 tahun berkarir sebagai dokter klinis, ia kerap melihat pasien dari kelompok marjinal mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik secara verbal maupun nonverbal, baik dari rekan-rekan sejawat, maupun tenaga medis lainnya seperti perawat hingga tenaga administratif.

"Beragam, mulai dari orang dengan disabilitas, perempuan korban KDRT, perempuan remaja yang hamil sebelum menikah atau mereka yang berusaha mengakses KB meski belum menikah," ungkap dr. Sandra kepada DW Indonesia.

"Pasien yang penampilannya agak berbeda, teman-teman trans atau pekerja seks komersial, belum masuk ke ruang praktik dari resepsionis sudah mendapat stigma. Diejek, ditertawakan. Apalagi kalau mereka duduk di poli HIV langsung semua enggak ada yang mau duduk di dekat mereka," ujarnya.

Pengalaman-pengalaman ini membuat dr. Sandra merasa terpanggil untuk bertindak. Ia kemudian mendirikan gerakan sosial Dokter Tanpa Stigma, sebuah inisiatif yang bertujuan membuka ruang diskusi dan mengedukasi tidak hanya tenaga medis tapi juga masyarakat, tentang pentingnya layanan kesehatan yang inklusif dan bebas dari diskriminasi.

"Di 2022 baru saya jadikan komunitas, saat ini kita sudah ada 140 tenaga medis, tidak hanya dokter saja, tapi ada perawat, bidan, psikolog jadi beragam, yang penting visi kita satu yakni berusaha melawan stigma dan diskriminasi di dunia kesehatan."

Penyandang disabilitas masih sering dapat stigma

Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional, penyandang disabilitas menghadapi hambatan dalam semua aspek sistem kesehatan yang berkontribusi pada ketidakadilan layanan kesehatan. Mulai dari fasilitas dan informasi kesehatan yang sulit diakses, kurangnya informasi atau pengumpulan data tentang disabilitas, hingga praktik diskriminatif di kalangan petugas kesehatan.

Margo, seorang disabilitas daksa, tak jarang mengalami stigma dalam layanan medis. Kondisi rumah yang kerap sepi mengharuskannya untuk mandiri.

Meski menggunakan kursi roda, Margo mampu mengendarai mobil sendiri, bahkan merawat sang ibu yang juga menggunakan kursi roda saat perlu memeriksa kesehatan ke rumah sakit.

"Jadi ketika seorang (yang duduk di) kursi roda harus mengantar yang sakit di kursi roda juga, banyak pertanyaan "memang enggak ada keluarganya yang lain Bu yang nganterin?" Saya kan anaknya, masa enggak boleh nganterin? Selama saya bisa, kenapa enggak?" ungkap Margo.

Cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas dan memahami kebutuhan mereka dengan tepat, menjadi salah satu pesan Margo kepada tenaga medis.

"Enggak semua yang duduk di kursi roda itu pasti sakit, jadi dipahami terlebih dahulu kebutuhan apa dan bagaimana cara berinteraksi dengan kami. Selain perbaikan aksesibilitas seperti infrastruktur yang belum ramah terhadap penyandang disabilitas, sikap petugas medis juga penting sih untuk diperbaiki."

Akhiri stigmatisati di dunia medis

Pasal 34 (3) UUD 1945 menyatakan bahwa "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak." Selain itu ada pula pasal 28 (1) UU No.17 Tahun 2023 tentang kesehatan yang berbunyi "penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, merata, nondiskriminatif, dan berkeadilan."

Semua ini mencerminkan bahwa kesehatan adalah hak setiap individu, tanpa terkecuali.

Kasus stigmatisasi dalam dunia medis menunjukkan masih adanya kesenjangan besar dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Pemerintah memang telah mengupayakan berbagai kebijakan untuk meningkatkan akses kesehatan, namun upaya ini harus dibarengi dengan perubahan budaya dalam sistem medis itu sendiri.

Agar inisiatif seperti program cek kesehatan gratis benar-benar berdampak luas, dunia medis di Indonesia harus berbenah, memastikan bahwa setiap pasien, tanpa memandang latar belakangnya, bisa mendapatkan layanan kesehatan yang layak dan manusiawi.

"Menyedihkan melihat tindakan diskriminatif dan stigmatisasi dilakukan orang-orang yang sekolah, belajar, dapat pendidikan, yang seharusnya paham layanan kesehatan itu menjadi hak dari semua orang secara sama, karena tugas kita sebagai tenaga medis adalah merawat, bukan menghakimi," ujar dokter Sandra sambil berharap ada perbaikan lewat inisiatif yang ia dirikan.

Editor: Arti Ekawati

Sentimen: positif (100%)