Sentimen
Positif (100%)
25 Jan 2025 : 19.29
Tokoh Terkait

5 Alasan Mengapa Makin Banyak Orang Menjadi Ateis Secara Global

25 Jan 2025 : 19.29 Views 62

Medcom.id Medcom.id Jenis Media: Nasional

5 Alasan Mengapa Makin Banyak Orang Menjadi Ateis Secara Global

Jakarta: Di Indonesia, diskusi tentang ateisme kembali mencuat setelah Mahkamah Konstitusi menolak uji materi yang meminta pengakuan resmi bagi warga negara yang tidak beragama pada awal Januari 2025. Menurut laporan dari ANTARA News, beberapa pemohon juga mengusulkan agar pendidikan agama menjadi mata pelajaran pilihan dan agar agama tidak menjadi syarat sah perkawinan. Isu-isu ini menunjukkan semakin beraninya individu dan kelompok untuk mengekspresikan pandangan non-agamis mereka di ruang publik. Fenomena meningkatnya populasi ateis tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain. Apa sebenarnya penyebab lonjakan ini? Mari kita telusuri lebih jauh.   Menurunnya Pengaruh Agama dalam Sosialisasi Menurut penelitian Anna Strhan dari University of York, proses sosialisasi agama mengalami perubahan besar di generasi muda. Penelitian menunjukkan bahwa generasi baru cenderung kurang mendapatkan pendidikan agama dibanding generasi sebelumnya. Banyak keluarga modern menganggap agama sebagai pilihan pribadi, bukan kewajiban sosial. "Semakin banyak anak yang tumbuh dalam lingkungan yang lebih menekankan nilai-nilai humanis, seperti kebebasan individu dan rasionalitas," tulis Strhan dalam jurnal Sociology of Religion tahun 2024. Di Inggris, misalnya, identifikasi sebagai "tidak beragama" kini menjadi hal yang umum. Hanya sekitar separuh populasi yang menyatakan kepercayaan kepada Tuhan dalam bentuk apa pun. Hal ini menunjukkan bahwa agama mulai kehilangan statusnya sebagai norma budaya.   Humanisme dan Sains sebagai Alternatif Keyakinan Peningkatan populasi ateis tidak hanya disebabkan oleh penurunan kepercayaan agama (faktor "push"), tetapi juga karena daya tarik alternatif nilai-nilai non-religius seperti humanisme (faktor "pull"). Humanisme menekankan pentingnya rasionalitas, empati, dan keadilan sosial. Penekanan pada sains dan pemikiran kritis di sekolah-sekolah juga memainkan peran besar. Misalnya, kurikulum di Inggris sering membandingkan pandangan agama dengan teori-teori ilmiah seperti Big Bang dan evolusi, sehingga membentuk pandangan dunia yang lebih ilmiah di kalangan siswa. Dalam wawancara dengan seorang siswa di Inggris, ia mengatakan, "Saya tidak percaya Tuhan karena menurut saya ini hanya mitos besar. Saya lebih mempercayai teori ilmiah yang memiliki bukti konkret." Pandangan ini mencerminkan bagaimana pendidikan memainkan peran sentral dalam membentuk cara berpikir generasi muda.   Urbanisasi dan Keberagaman Budaya Mengubah Norma Urbanisasi dan meningkatnya keberagaman budaya juga menjadi faktor penting. Di kota-kota besar, keberadaan berbagai keyakinan dan praktik hidup mendorong orang untuk mempertanyakan nilai-nilai tradisional. Dalam lingkungan pluralistik, keyakinan agama tidak lagi menjadi satu-satunya rujukan moral. Callum Brown, dalam penelitiannya, menyebut bahwa nilai-nilai humanis seperti kesetaraan gender, otonomi pribadi, dan hak asasi manusia mulai menggantikan norma-norma tradisional yang berakar pada agama. "Kota-kota besar menjadi pusat di mana nilai-nilai modern ini berkembang pesat," ungkap Brown.   Akses Informasi Ateisme di Internet Di era digital, akses terhadap informasi semakin mudah. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Reddit menjadi tempat diskusi bagi mereka yang meragukan agama. Menurut Lois Lee, dosen di University of Kent, media sosial menyediakan ruang bagi individu untuk menemukan komunitas yang serupa. "Bagi banyak orang, internet menjadi tempat pertama mereka menemukan alternatif untuk keyakinan tradisional," ujar Lee. Selain itu, internet juga memfasilitasi penyebaran argumen-argumen ateis yang sebelumnya sulit diakses. Misalnya, karya-karya dari tokoh-tokoh seperti Richard Dawkins atau Christopher Hitchens menjadi lebih dikenal luas.   Generasi Muda Memilih Rasionalitas dan Kebebasan Generasi muda, terutama Gen Z, cenderung memprioritaskan kebebasan memilih dan otonomi pribadi. Mereka lebih suka menjawab pertanyaan eksistensial dengan pendekatan rasional dibandingkan menerima doktrin agama tanpa bukti. Dalam penelitian terhadap siswa di Inggris, salah satu siswa mengatakan, "Saya tidak percaya Tuhan karena saya tidak pernah melihat bukti nyata keberadaan-Nya." Pernyataan ini mencerminkan pergeseran dari keyakinan berbasis tradisi menuju keyakinan berbasis fakta. Peningkatan populasi ateis adalah hasil dari kombinasi berbagai faktor: perubahan pola sosialisasi agama, pengaruh pendidikan, urbanisasi, akses terhadap informasi, dan nilai-nilai modern yang mengutamakan rasionalitas serta kebebasan individu. Menurut para ahli, tren ini kemungkinan akan terus berlanjut, terutama di masyarakat yang semakin pluralistik dan global. Seperti yang dikatakan Callum Brown, "Humanisme dan ateisme tidak hanya menggantikan agama, tetapi juga membentuk kerangka moral baru bagi dunia modern." Baca Juga: Perbedaan Sex dan Gender, Emang Ada Bedanya?

Jakarta: Di Indonesia, diskusi tentang ateisme kembali mencuat setelah Mahkamah Konstitusi menolak uji materi yang meminta pengakuan resmi bagi warga negara yang tidak beragama pada awal Januari 2025.
 
Menurut laporan dari ANTARA News, beberapa pemohon juga mengusulkan agar pendidikan agama menjadi mata pelajaran pilihan dan agar agama tidak menjadi syarat sah perkawinan.
 
Isu-isu ini menunjukkan semakin beraninya individu dan kelompok untuk mengekspresikan pandangan non-agamis mereka di ruang publik.

Fenomena meningkatnya populasi ateis tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain. Apa sebenarnya penyebab lonjakan ini? Mari kita telusuri lebih jauh.

Menurunnya Pengaruh Agama dalam Sosialisasi Menurut penelitian Anna Strhan dari University of York, proses sosialisasi agama mengalami perubahan besar di generasi muda.
 
Penelitian menunjukkan bahwa generasi baru cenderung kurang mendapatkan pendidikan agama dibanding generasi sebelumnya. Banyak keluarga modern menganggap agama sebagai pilihan pribadi, bukan kewajiban sosial.
 
"Semakin banyak anak yang tumbuh dalam lingkungan yang lebih menekankan nilai-nilai humanis, seperti kebebasan individu dan rasionalitas," tulis Strhan dalam jurnal Sociology of Religion tahun 2024.
 
Di Inggris, misalnya, identifikasi sebagai "tidak beragama" kini menjadi hal yang umum. Hanya sekitar separuh populasi yang menyatakan kepercayaan kepada Tuhan dalam bentuk apa pun. Hal ini menunjukkan bahwa agama mulai kehilangan statusnya sebagai norma budaya.
  Humanisme dan Sains sebagai Alternatif Keyakinan Peningkatan populasi ateis tidak hanya disebabkan oleh penurunan kepercayaan agama (faktor "push"), tetapi juga karena daya tarik alternatif nilai-nilai non-religius seperti humanisme (faktor "pull").
 
Humanisme menekankan pentingnya rasionalitas, empati, dan keadilan sosial. Penekanan pada sains dan pemikiran kritis di sekolah-sekolah juga memainkan peran besar.
 
Misalnya, kurikulum di Inggris sering membandingkan pandangan agama dengan teori-teori ilmiah seperti Big Bang dan evolusi, sehingga membentuk pandangan dunia yang lebih ilmiah di kalangan siswa.
 
Dalam wawancara dengan seorang siswa di Inggris, ia mengatakan, "Saya tidak percaya Tuhan karena menurut saya ini hanya mitos besar. Saya lebih mempercayai teori ilmiah yang memiliki bukti konkret."
 
Pandangan ini mencerminkan bagaimana pendidikan memainkan peran sentral dalam membentuk cara berpikir generasi muda.
  Urbanisasi dan Keberagaman Budaya Mengubah Norma Urbanisasi dan meningkatnya keberagaman budaya juga menjadi faktor penting. Di kota-kota besar, keberadaan berbagai keyakinan dan praktik hidup mendorong orang untuk mempertanyakan nilai-nilai tradisional.
 
Dalam lingkungan pluralistik, keyakinan agama tidak lagi menjadi satu-satunya rujukan moral.
 
Callum Brown, dalam penelitiannya, menyebut bahwa nilai-nilai humanis seperti kesetaraan gender, otonomi pribadi, dan hak asasi manusia mulai menggantikan norma-norma tradisional yang berakar pada agama.
 
"Kota-kota besar menjadi pusat di mana nilai-nilai modern ini berkembang pesat," ungkap Brown.
  Akses Informasi Ateisme di Internet Di era digital, akses terhadap informasi semakin mudah. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Reddit menjadi tempat diskusi bagi mereka yang meragukan agama.
 
Menurut Lois Lee, dosen di University of Kent, media sosial menyediakan ruang bagi individu untuk menemukan komunitas yang serupa. "Bagi banyak orang, internet menjadi tempat pertama mereka menemukan alternatif untuk keyakinan tradisional," ujar Lee.
 
Selain itu, internet juga memfasilitasi penyebaran argumen-argumen ateis yang sebelumnya sulit diakses. Misalnya, karya-karya dari tokoh-tokoh seperti Richard Dawkins atau Christopher Hitchens menjadi lebih dikenal luas.
  Generasi Muda Memilih Rasionalitas dan Kebebasan Generasi muda, terutama Gen Z, cenderung memprioritaskan kebebasan memilih dan otonomi pribadi. Mereka lebih suka menjawab pertanyaan eksistensial dengan pendekatan rasional dibandingkan menerima doktrin agama tanpa bukti.
 
Dalam penelitian terhadap siswa di Inggris, salah satu siswa mengatakan, "Saya tidak percaya Tuhan karena saya tidak pernah melihat bukti nyata keberadaan-Nya." Pernyataan ini mencerminkan pergeseran dari keyakinan berbasis tradisi menuju keyakinan berbasis fakta.
 
Peningkatan populasi ateis adalah hasil dari kombinasi berbagai faktor: perubahan pola sosialisasi agama, pengaruh pendidikan, urbanisasi, akses terhadap informasi, dan nilai-nilai modern yang mengutamakan rasionalitas serta kebebasan individu.
 
Menurut para ahli, tren ini kemungkinan akan terus berlanjut, terutama di masyarakat yang semakin pluralistik dan global.
 
Seperti yang dikatakan Callum Brown, "Humanisme dan ateisme tidak hanya menggantikan agama, tetapi juga membentuk kerangka moral baru bagi dunia modern."
 
Baca Juga:
Perbedaan Sex dan Gender, Emang Ada Bedanya?

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

(WAN)

Sentimen: positif (100%)