Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Konferensi Meja Bundar
Kab/Kota: Madiun
Tokoh Terkait
23 Januari 1948: Jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin
Elshinta.com
Jenis Media: Politik

Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin (depan, nomor dua dari kiri, mengenakan jas dan bercelana pendek), bersama Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan menteri-menteri kabinet pertama, 4 Oktober 1945. (https://tinyurl.com/2c5sszsz) 23 Januari 1948: Jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin Dalam Negeri Editor: Calista Aziza Kamis, 23 Januari 2025 - 06:00 WIB
Elshinta.com - Jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah politik Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Kabinet yang dibentuk pada 3 Juli 1947 ini hanya bertahan selama kurang lebih sembilan bulan sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 23 Januari 1948. Peristiwa ini mencerminkan kompleksitas politik Indonesia saat itu, dengan berbagai tekanan internal dan eksternal yang mengguncang stabilitas pemerintahan Republik.
Amir Syarifuddin, seorang tokoh sosialis yang berpengaruh dalam perjuangan kemerdekaan, diangkat menjadi perdana menteri setelah Kabinet Sjahrir mengundurkan diri. Kabinet yang dipimpinnya merupakan koalisi dari berbagai partai politik, termasuk Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kelompok nasionalis lainnya. Tugas utamanya adalah menjaga eksistensi Republik Indonesia di tengah agresi Belanda yang masih berusaha merebut kembali kekuasaan. Namun, langkah-langkah yang diambil kabinet ini justru menuai kontroversi, terutama setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada Januari 1948.
Perjanjian Renville, yang ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), dimaksudkan untuk menghentikan agresi militer Belanda. Namun, perjanjian ini dianggap merugikan posisi Republik Indonesia karena mengakui garis demarkasi baru yang mempersempit wilayahnya. Banyak pihak, termasuk partai oposisi seperti Masyumi dan kelompok militer yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman, mengecam langkah tersebut. Mereka menilai Amir terlalu lemah dalam menghadapi Belanda dan mengorbankan kedaulatan Indonesia.
Krisis kepercayaan terhadap Amir diperparah oleh kebijakannya yang dianggap terlalu condong ke kiri dan dekat dengan kelompok komunis, sehingga memicu ketegangan dengan pemimpin nasionalis konservatif dan Islam. Selain itu, kabinet Amir juga menghadapi konflik internal akibat perbedaan ideologi dan kepentingan di antara anggota kabinet. Situasi ini membuat pemerintahannya semakin sulit menjalankan tugas-tugasnya dengan efektif.
Pada akhirnya, kabinet Amir Syarifuddin kehilangan dukungan mayoritas di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tekanan dari berbagai pihak membuat Amir mengundurkan diri pada 23 Januari 1948. Kejatuhan kabinet ini membuka jalan bagi terbentuknya Kabinet Hatta di bawah pimpinan Mohammad Hatta, yang kemudian mengambil pendekatan lebih pragmatis dalam menghadapi konflik dengan Belanda.
Jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin berdampak besar terhadap peta politik Indonesia. Peralihan kekuasaan dari kelompok sosialis ke nasionalis pragmatis menandai perubahan signifikan dalam strategi pemerintahan. Kelompok kiri, termasuk PKI, merasa dikhianati, yang kemudian berkontribusi pada konflik internal seperti peristiwa Madiun 1948. Selain itu, kabinet pengganti yang dipimpin Hatta lebih berhati-hati dalam menghadapi tekanan internasional dan agresi Belanda, yang akhirnya menghasilkan Konferensi Meja Bundar pada 1949.
Peristiwa ini menjadi pengingat penting akan kompleksitas dan tantangan dalam menjaga stabilitas politik di masa awal kemerdekaan Indonesia. Meskipun kabinet Amir Syarifuddin berakhir dengan kekecewaan, pelajaran dari dinamika tersebut tetap relevan dalam memahami perjalanan bangsa.
Sumber : Sumber Lain
Sentimen: negatif (100%)