BI Pangkas BI-Rate Jadi 5,75%, Ekonom: Langkah Mengejutkan
Espos.id
Jenis Media: Bisnis

Esposin, JAKARTA--Pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI-Rate menjadi 5,75 persen dinilai merupakan langkah yang mengejutkan. Hal itu mengingat semua dari 38 forecasters yang disurvei oleh Bloomberg memperkirakan BI akan menahan suku bunganya pada level 6 persen.
“Mengapa begitu mengejutkan? Kami memperkirakan akan ada pemangkasan suku bunga pada kuartal ini, tetapi tidak pada hari Rabu [15/1/2025],” kata Chief India and Indonesia Economist HSBC Global Research Pranjul Bhandari melalui keterangan yang diterima Antara di Jakarta, Kamis (16/1/2025).
Menurutnya, langkah BI yang diputuskan pada Rabu kemarin mengejutkan pihaknya karena rupiah telah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun dan di masa lalu BI agak sensitif terhadap depresiasi mata uang asing.
“Dalam beberapa waktu terakhir, BI bahkan menaikkan suku bunga dua kali [masing-masing pada April 2024 dan Oktober 2023] saat rupiah melemah, tetapi lebih kuat dari saat ini,” beber Pranjul.
Kemudian, pada Rabu (15/1/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) juga merilis data surplus neraca perdagangan pada Desember 2024 sebesar US$2,2 miliar. Namun, capaian tersebut turun jika dibandingkan November 2024 yang surplus sebesar US$4,4 miliar.
Merujuk pada siaran pers BI, Pranjul mengingatkan BI berbicara tentang arus masuk modal yang lemah sejauh ini pada Januari. BI juga memperkirakan defisit neraca perdagangan yang sedikit lebih lebar pada tahun 2025 (0,5-1,3 persen dari PDB) dibandingkan dengan tahun 2024 (0,1-0,9 persen dari PDB).
“Semua ini menjadikannya langkah yang mengejutkan,” imbuh Pranjul.
Dalam pandangan HSBC Global Research, pendorong utama penurunan BI-Rate yaitu kekhawatiran mengenai pertumbuhan.
“BI menyebutkan tentang pertumbuhan yang lebih lemah dari yang diharapkan pada kuartal IV 2024. Memang, antara Juli dan November (2024), PMI Manufaktur mengalami kontraksi, dan pertumbuhan kredit telah melambat (dari 12,3 persen pada April menjadi 9,5 persen pada Desember 2024),” kata Pranjul.
BI juga sedikit menurunkan perkiraan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 2025 dari 4,8-5,6 persen menjadi 4,7-5,5 persen, dengan menyebutkan tren ekspor, konsumsi, dan investasi swasta yang lemah.
BI menyebutkan bahwa inflasi telah jauh di bawah target (1,6 persen pada Desember 2024 dibandingkan target 2,5 plus minus 1 persen), dan kemungkinan akan tetap terkendali pada tahun 2025.
“Namun, hal ini juga terjadi dalam beberapa pertemuan terakhir,” ujar Pranjul.
Di sisi valas, BI menyebutkan bahwa rupiah telah melemah 1 persen terhadap dolar AS sejak awal tahun 2025, yang lebih rendah dari depresiasi yang terlihat pada peso Filipina (PHP), rupee India (INR), dan baht Thailand (THB). BI melanjutkan dengan mengatakan bahwa rupiah sebenarnya menguat terhadap mata uang negara-negara maju di luar dolar AS.
Selanjutnya, HSBC Global Research pun memperkirakan pemangkasan BI-Rate akan terjadi sebanyak dua kali lagi masing-masing sebesar 25 basis point (bps) pada kuartal II 2025, sehingga suku bunga acuan menjadi 5,25 persen.
“Menurut kami, pelonggaran moneter ini secara strategis akan membuat suku bunga acuan sedikit lebih tinggi dari tingkat sebelum pandemi (5 persen pada Januari 2020), mengingat nilai tukar yang lebih fluktuatif selama beberapa tahun terakhir,” tutup Pranjul.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan penurunan suku bunga acuan atau BI-Rate menjadi 5,75 persen adalah untuk mendorong pertumbuhan dari sisi permintaan di dalam negeri.
"This is the timing untuk menurunkan suku bunga, supaya bisa menciptakan growth story yang lebih baik," kata Perry dalam konferensi pers hasil konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Januari 2025 di Jakarta, Rabu (15/1/2025), seperti dilansir Antara.
Ia menyebutkan keputusan ini konsisten dengan tetap rendahnya perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang terkendali dalam sasaran 2,5 plus minus 1 persen, terjaganya nilai tukar rupiah yang sesuai dengan fundamental untuk mengendalikan inflasi dalam sasarannya, dan perlunya upaya untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kendati demikian, Perry juga menyebutkan konsumsi rumah tangga, khususnya menengah ke bawah, masih rendah berdasarkan ekspektasi konsumen. Kemudian, ekspektasi mengenai penghasilan dan lapangan kerja juga masih belum kuat.
"Demikian juga untuk investasi. Ekspor yang ada risiko rendah, konsumsi yang memang belum kuat, dan ini mendorong kenapa kebutuhan investasi dari perusahaan juga belum kuat. Inilah yang kemudian kita memutuskan BI Rate supaya mendorong pertumbuhan dari sisi permintaan," jelas Perry.
Ke depan, kata Perry, BI juga akan terus mengarahkan kebijakan moneter untuk menjaga inflasi dalam sasarannya dan nilai tukar yang sesuai fundamental, dengan tetap mencermati ruang untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dinamika yang terjadi pada perekonomian global dan nasional.
Sentimen: neutral (0%)