Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Solo
Dosen UMS: Fenomena Brain Rot Ancam Daya Kritis Anak Muda, Khususnya Gen Z
Espos.id
Jenis Media: News

Esposin, SOLO -- Fenomena Brain Rot belakangan ini menjadi perbincangan hangat di media sosial. Istilah ini menggambarkan penurunan kemampuan kognitif seseorang akibat konsumsi berlebihan konten-konten ringan dan tidak bermanfaat, seperti video pendek di media sosial yang tidak memberikan stimulasi mental yang cukup.
Dosen Pendidikan Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta atau UMS, Hardika Dwi Hermawan, menilai fenomena Brain Rot perlu menjadi perhatian serius karena semakin banyak orang, terutama generasi muda atau Gen Z, yang menghabiskan waktu mereka dengan konsumsi hiburan instan yang tidak mendidik. Di samping itu, juga bisa menggerus daya kritis anak muda.
"Brain Rot terjadi karena terlalu banyaknya konsumsi konten-konten yang tidak memberikan stimulasi kognitif, seperti video-video receh yang tidak meningkatkan kemampuan berpikir kritis kita," jelas dia dalam rilis yang diterima Espos, Rabu (14/1/2024).
Hardika juga menyoroti peran algoritma media sosial yang sering kali menjebak penggunanya dalam algorithmic trap, kondisi di mana pengguna selalu disuguhi konten sejenis secara berulang.
"Algoritma media sosial seringkali memperkenalkan konten serupa berulang-ulang, yang membuat kita terus terpapar pada hal-hal yang sama tanpa ada perkembangan. Hal ini membuat konsentrasi kita terganggu, dan bisa berujung pada mental fatigue, yang akhirnya mempengaruhi produktivitas dan kreativitas," ungkapnya.
Menurut dia, fenomena ini dapat menyebabkan gangguan dalam kemampuan berpikir kritis, yang sangat penting dalam perkembangan intelektual dan kreativitas seseorang. Selain itu, konsumsi konten tidak mendidik juga menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Untuk mengatasi atau menghindari fenomena Brain Rot, Hardika memberikan beberapa langkah yang bisa dilakukan, baik oleh individu maupun lembaga pendidikan. Pertama, dengan mempraktikkan mindful consumption atau konsumsi yang bijak terhadap konten yang dikonsumsi.
"Kita perlu memiliki kesadaran diri untuk memilih konten yang bisa merangsang pemikiran kritis kita dan memberikan manfaat positif," katanya.
Kedua, melakukan digital detox, yakni memberi waktu jeda dari perangkat digital dan menggantinya dengan aktivitas yang lebih bermanfaat, seperti membaca atau berdiskusi. “Kegiatan seperti ini dapat memberikan ruang bagi otak kita untuk beristirahat dan berpikir lebih mendalam,” lanjutnya.
Pengembangan Kurikulim
Ketiga adalah pengelolaan waktu layar atau penggunaan gawai. Dengan mengurangi waktu yang dihabiskan untuk konsumsi media sosial, seseorang bisa lebih produktif dan terhindar dari dampak negatif fenomena Brain Rot.
Sedangkan di lingkungan pendidikan, Hardika menekankan perlunya integrasi kurikulum yang mengajarkan literasi digital.
"Institusi pendidikan, khususnya universitas, harus mengajarkan kepada mahasiswa untuk mengenali algoritma dan memilih konten yang berkualitas. Pembelajaran berbasis proyek dan diskusi juga sangat penting untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kolaborasi," ujarnya.
Sementara itu, mahasiswa Prodi Kesehatan Masyarakat UMS, Afnan Zain Muzakki, mengakui terhibur saat mengonsumsi konten di media sosial, khususnya Tiktok. Sebab, platform tersebut menyediakan konten hiburan berdasarkan preferensi atau kesukaannya.
"Sebagai Gen Z, saya memang merasa terhibur dengan berbagai konten di media sosial, terutama di TikTok. Algoritma media sosial menyesuaikan beranda dengan minat kita, sehingga kita semakin betah untuk scroll dan akhirnya terjebak dalam ketergantungan," ungkap dia.
Namun begitu, Afnan menyadari kebiasaan ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental dan otak. "Banyak dari kami yang tahu akan bahaya ini, tapi tetap saja merasa kesulitan untuk mengubah kebiasaan," kata Afnan.
Dia menekankan pentingnya bijak dalam memilih konten yang dikonsumsi agar dapat memberi dampak positif bagi kehidupan dan perkembangan otak. "Pemikiran dan perilaku kita adalah cerminan dari konten yang kita konsumsi, jadi kita perlu lebih bijak dalam mengelola waktu dan media sosial," jelas dia.
Sentimen: neutral (0%)