Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Solo, Tokyo
Sound Horeg dan Ironi Keberpihakan Pemerintah
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Berbeda dengan polusi udara atau air yang telah sering dibicarakan, polusi suara masih banyak diabaikan.
Polusi suara didefinisikan sebagai suara berlebihan atau mengganggu yang dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental serta merusak kualitas hidup.
Di Jawa Timur, dan kini menjadi gejala lumrah di banyak tempat di Indonesia, fenomena sound horeg adalah contoh nyata dari kurangnya kesadaran akan bahaya polusi suara.
Fenomena ini, yang melibatkan penggunaan sistem suara dengan volume sangat tinggi di acara dan wilayah publik, telah menjadi bagian dari budaya hiburan masyarakat.
Dampak negatif polusi suara ini tidak bisa dianggap sepele, baik bagi kesehatan maupun lingkungan sekitar. Fenomena sound horeg merepresentasikan tradisi dan kebiasaan masyarakat yang senang merayakan acara dengan suara keras.
Dalam banyak acara di Indonesia, seperti perayaan keagamaan, karnaval, dan konser atau pertunjukan musik jalanan, sound horeg digunakan untuk menambah kemeriahan dan menarik perhatian.
Suara keras dianggap sebagai bentuk hiburan, bahkan dipandang memukau jika sampai menghasilkan efek getaran yang bisa meretakkan dinding, memecahkan kaca, atau menimbulkan gangguan pendengaran permanen.
Hal ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kekuatan suara besar justru dinilai sebagai nilai tambah dan bentuk kemeriahan yang diinginkan, tanpa memperhatikan konsekuensi.
Polusi Suara
Polusi suara sebenarnya memiliki dampak serius terhadap kesehatan manusia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paparan suara di atas 85 desibel dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan gangguan pendengaran.
Di Indonesia, praktik sound horeg bisa menghasilkan kebisingan jauh melebihi ambang batas ini. Kebisingan yang intens dapat menyebabkan ketulian permanen dan gangguan pendengaran lainnya, terutama bagi orang-orang yang terpapar dalam jarak dekat (Berglund et al., 1999).
WHO telah mengeluarkan pedoman khusus mengenai batas kebisingan yang aman di lingkungan publik untuk menjaga kesehatan masyarakat dari dampak polusi suara (World Health Organization, 2018).
Penelitian oleh Goines dan Hagler (2007) menunjukkan bahwa paparan kebisingan dapat meningkatkan stres, mengganggu tidur, dan bahkan menyebabkan tekanan darah tinggi.
Hal ini didukung penelitian Stansfeld dan Matheson (2003) yang mengidentifikasi bahwa kebisingan memiliki efek nonauditori yang signifikan terhadap kesehatan, termasuk meningkatnya risiko kecemasan dan gangguan mental lainnya.
Bagi anak-anak, bayi, dan orang lanjut usia, risiko ini bisa menjadi lebih besar karena mereka memiliki tingkat toleransi lebih rendah terhadap kebisingan.
Di Amerika Serikat, Hammer et al. (2014) mencatat bahwa polusi suara mulai diakui sebagai masalah kesehatan publik yang memerlukan respons efektif, seperti adanya regulasi kebisingan di area urban.
Di Tokyo, penelitian Matsui et al. (2004) pada penduduk lanjut usia menunjukkan bahwa kebisingan berkorelasi dengan penurunan kualitas hidup dan kesehatan umum.
Selain berdampak pada manusia, polusi suara juga berdampak negatif pada kualitas lingkungan perkotaan secara keseluruhan.
Kracht dan Busch-Vishniac (2006) mencatat bahwa lingkungan perkotaan yang penuh dengan kebisingan dapat mengurangi kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Gagasan ini diperkuat oleh Basner et al. (2014), yang menyoroti efek jangka panjang dari kebisingan terhadap fungsi fisiologis manusia, termasuk perubahan dalam tekanan darah dan fungsi sistem saraf.
Meskipun dampak polusi suara telah diakui secara internasional, di Indonesia penerapan regulasi terkait kebisingan masih sangat terbatas.
Passchier-Vermeer dan Passchier (2000) mencatat bahwa regulasi dan batas kebisingan yang ketat di area publik mampu mencegah banyak dampak kesehatan negatif dari paparan kebisingan.
Dukungan kebijakan yang lebih baik dapat menjadi solusi penting untuk menjaga kesehatan masyarakat dari paparan suara berlebihan.
Keberpihakan
Sisi sosial dari fenomena sound horeg menarik untuk dikaji. Bagi sebagian masyarakat, sound horeg adalah simbol status dan kemeriahan.
Semakin kuat suara dihasilkan, semakin besar pula prestise yang dirasakan oleh penyelenggara atau pemilik sistem suara tersebut.
Hal ini terlihat dalam beberapa perayaan yang menunjukkan pemilik sound system bersaing untuk menghasilkan suara paling keras.
Tradisi ini bahkan telah menjadi semacam kompetisi tidak resmi di beberapa daerah di Indonesia, tempat masyarakat berkumpul untuk menikmati suara keras yang menggetarkan.
Pandangan ini sering kali bertentangan dengan kepentingan masyarakat lain. Banyak warga terganggu dengan kebisingan berlebihan tersebut, terutama mereka yang tinggal di dekat lokasi acara.
Ketidakseimbangan antara kebutuhan hiburan dan kebutuhan lingkungan tenang menjadi isu sosial yang sulit dipecahkan tanpa adanya regulasi jelas.
Meski polusi diabaikan, kehadiran sound horeg dalam berbagai acara resmi di Indonesia justru memperlihatkan sikap permisif pemerintah terhadap praktik ini.
Hal tersebut terlihat saat sound horeg digunakan dalam kegiatan kampanye politik yang kerap melibatkan pengeras suara berkapasitas besar, menimbulkan kebisingan yang signifikan di area publik.
Suara keras—malah sangat keras—itu menarik perhatian dan dimanfaatkan untuk membangkitkan semangat peserta. Meskipun tujuannya memobilisasi massa, hal demikian malah mengirimkan pesan bahwa penggunaan suara keras adalah hal yang wajar dalam acara publik.
Keberadaan sound horeg dalam kampanye politik menunjukkan pemerintah seakan-akan sengaja mengabaikan risiko kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi kegiatan.
Penggunaan sound horeg tidak hanya dalam kampanye politik, sound horeg juga ditemui dalam perayaan pelantikan presiden dan wakil presiden di Jakarta pada Oktober 2024 lalu.
Pada momen kenegaraan ini, sound horeg dihadirkan sebagai simbol kemeriahan dan kebanggaan nasional. Dengan menampilkan sound horeg pada acara-acara resmi, pemerintah tampak mengesampingkan kebijakan pengendalian kebisingan, seolah-olah peraturan tersebut hanya berlaku pada situasi tertentu.
Di satu sisi, hal ini memperkuat pandangan bahwa polusi suara belum dianggap sebagai masalah serius di Indonesia, terutama ketika melibatkan kepentingan pemerintah.
Selain acara kenegaraan, perayaan hari kemerdekaan dan acara-acara seremonial lainnya juga sering menggunakan sound horeg sebagai bagian perayaan.
Penggunaan sound system berkapasitas besar dianggap meningkatkan semangat perayaan, namun dampaknya pada kenyamanan publik tidak mendapat perhatian cukup.
Saat acara berlangsung di ruang publik, masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain menerima kebisingan tersebut.
Minimnya aturan tegas dalam pembatasan suara pada perayaan resmi ini semakin memperkuat persepsi masyarakat bahwa kebisingan adalah sesuatu yang lumrah dan bukan merupakan bentuk polusi yang perlu diatur.
Keberpihakan pemerintah pada penggunaan sound horeg juga terlihat dalam penyelenggaraan acara-acara seperti festival daerah dan karnaval yang didukung pemerintah daerah.
Festival ini mengandalkan sound horeg untuk menarik perhatian pengunjung. Sayangnya, kebisingan yang ditimbulkan mengganggu masyarakat sekitar.
Kurangnya regulasi tentang tingkat kebisingan dalam kegiatan festival menunjukkan bahwa pemerintah belum memberikan perhatian terhadap efek polusi suara pada kesehatan masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah justru terlihat mendukung penggunaan sound horeg sebagai bagian dari promosi budaya daerah, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kualitas hidup masyarakat.
Di tengah isu kesehatan yang disebabkan polusi suara, pemerintah perlu menunjukkan konsistensi dalam regulasi dan penerapan aturan pengendalian kebisingan.
Penggunaan sound horeg dalam berbagai acara resmi dan perayaan publik memperlihatkan adanya inkonsistensi dalam implementasi kebijakan.
Regulasi yang tegas, termasuk pengawasan terhadap penggunaan pengeras suara di acara-acara publik, seharusnya diberlakukan untuk semua pihak, termasuk pemerintah.
Langkah ini tidak hanya memberikan contoh yang baik bagi masyarakat, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam melindungi kesehatan dan kualitas hidup warga dari dampak negatif polusi suara.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Januari 2025. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia Solo)
Sentimen: neutral (0%)