Sentimen
Undefined (0%)
10 Jan 2025 : 13.56
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Hewan: Babi, Kambing

Kab/Kota: Mataram, Pacitan, Solo, Sragen, Yogyakarta

Kasus: Kemacetan

Mitos Sejarah Solo Nyaman

10 Jan 2025 : 13.56 Views 24

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Mitos Sejarah Solo Nyaman

Melalui esai berkepala Solo Kota Ternyaman (Solopos, 3/1/2025), Tito Setyo Budi menyampaikan pandangan yang berangkat dari aspek sosiologis dan tata kota. 

Sastrawan warga Kabupaten Sragen yang sudah melewati fase “tumbuk ageng” itu masih merasakan kenikmatan suasana di Kota Solo. Kendati demikian, terselip kegalauan tatkala menyikapi arah pembangunan kota modern yang rawan merusak warisan budaya. 

Bagi orang tua yang menginjak “usia pensiun” seperti Tito, ketenteraman dan kenyamanan suatu daerah yang sering diambah (dan ditinggali) adalah sebuah mimpi agung kala senja. Wis sepuh, luwih utama mburu ati ayem tinimbang keconthalan mrana-mrene. 

Kenyataan ini diperkuat mantan Presiden Joko Widodo, tokoh yang disebut Tito punya ilmu ngglembuk. Usai pensiun sebagai orang nomor satu di Indonesia, ayah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ini memilih pulang ke Kota Solo, bukan menetap di Jakarta. 

Berbeda dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang emoh menghabiskan sisa umur di tanah kelahiran di Kabupaten Pacitan. Tulisan Tito memantik rasa penasaran saya untuk mengadakan tilikan historis tentang predikat kota nyaman. 

Justru para pensiunan yang merawat mitos Kota Solo sebagai kota nyaman. Saya teringat novel yang dianggit Karkono Partokusumo dengan nama sesinglon (samaran) Kamadjaja. Sastrawan sekaligus tokoh pergerakan nasional asal Kabupaten Sragen itu merekam kehidupan sosial masyarakat Kota Solo.

Dalam naskah berjudul Solo Diwaktu Malam (1950) itu dia menyuratkan frasa ”kota pensiunan” yang dilekatkan pada Kota Solo. Kamadjaja memberi kesaksian, ongkos hidup di Kota Solo boleh dibilang murah asalkan orang sanggup mengerem nafsu kegembiraan yang meluap. 

Kegembiraan meletup di tempat hiburan, tontonan, dan restoran. Berburu hiburan tumpah sebagai keroyalan yang kian lama kian mendalam. Itulah goda yang merajalela, banyak menjerumuskan anak manusia. 

Banyak pensiunan yang waktu mudanya alim, pada hari tuanya menyuntuki alam keroyalan yang tak sesuai lagi baginya. Kaum uang menghamburkan harta di dalam keroyalan aneka rupa: menonton, judi, dan “main” perempuan. 

Bermacam tontonan memanjakan warga sejak era kolonial, contohnya Taman Sriwedari dengan wayang wong dan bioskop. Di samping itu, Jurug dan Tirtonadi memberi hiburan termurah. Duduk di bawah pohon rindang menikmati hawa sejuk bulan purnama, boleh tak keluar uang sepeser pun. 

Hati terhibur, kiri-kanan tersedia makanan dan minuman bertarif rendah. Sepanjang malam tiada sepinya. Lalu lintas, kendaraan, orang-orang berjalan, bahkan seluruh suasana seolah-olah tidak mengenal perbedaan siang (terang) dan malam (gelap). 

Sepanjang hari terasa suasana gembira. Segalanya serba-enak dan menyenangkan. Pengarang lainnya, Hardjono H.P., dalam novel tipis berjudul Tape Ayu Saka Sala melukiskan kahanan Kota Solo. Di bawah ini cuplikan Kota Solo sebagai kota idola di Jawa Tengah dalam pariwisata.

Kutha Sala mono kutha kang elok, aeng lan unik. Sapa sing durung ngerti Kutha Sala? Ya, kutha papane wong plesir ing daerah Jawa Tengah. Kutha kondhang, ya kutha kang nduwe kaendahan mawa tjoreke dhewe. 

Wong daerah Djawa Tengah saben-saben ditakoni ngendi ta dununge Kutha Sala, ora wurung pikir mesti bandjur pitakon arep plesir apa? Pantjen bener, Sala mono papane wong nglanjer lan mbuwang dhuwit. Pira wae anggone sangu, ora nganti djam-djaman jen kepengin dhedhel mesti dhedhel.

Fenomena Kota Solo kota nyaman, terutama bagi kaum pensiunan yang getol memelihara hobi keplek ilat alias bersantap makanan enak, melahirkan varian sate buntel. 

Terlampau sulit atau golek prekara saat para pinisepuh yang beberapa giginya ompong atau tanggal harus berhadapan dengan daging kambing yang ulet. 

Bakul satai pun ngulir budi. Mereka tertantang berpikir kreatif demi menjawab persoalan, sekaligus emoh kehilangan konsumen setia golongan tua. 

Daging kemudian dicincang atau dicacah lembut, lantas dibungkus dengan kulit jeroan. Setelah dibakar dan matang, lidah golongan tua tetap bisa termanjakan oleh kuliner khas Kutha Sala itu.

Mitos sejarah seperti ini perlu dibongkar. Kerja demikian salah satunya dilakukan oleh komunitas Solo Societeit. Lembaga nirlaba yang bergerak di bidang sejarah dan budaya lokal tersebut berupaya memotret dan mengenalkan keunikan yang tersembunyi di kota tertua pewaris dinasti Mataram Islam ini. 

Beberapa waktu lalu, dalam kegiatan jelajah dan diskusi di Pura Mangkunegaran, panitia sengaja menyuguhkan cabuk rambak untuk disantap dan dibedah riwayatnya oleh puluhan peserta. 

Makanan tradisional sederhana itu di samping murah, juga klangenan para pensiunan. Sembari ngemplok cabuk rambak memakai biting dan beralas daun pisang, peserta diajak mengerti bahwa kenyamanan sebuah kota juga muncul dari makanan yang enak dan terjaga dari ancaman kepunahan. 

Makanan menjadi sarana nostalgia yang ampuh, alih-alih sebagai pengobat rasa lapar semata. Pak Jokowi bernostalgia dengan satai Bu Bejo, juga Pak Tito mengobati rasa rindu dengan ngiras di warung Bah Kede yang jago memasak olahan babi. 

Secara sederhana, indikator Kota Solo tidak lagi nyaman salah satunya ketika dijauhi para pensiunan. Mereka yang kenyang makan asam garam kehidupan lebih titis membaca ketidaknyamanan itu yang diakibatkan unsur-unsur pendukung kenyamanan melenyap. 

Dengan aneka pembangunan skala nasional yang dipaksakan di Kota Solo belum lama ini, sebagian masih berlangsung, membuahkan kerusakan ekologis: banjir, kemacetan, dan kesumpekan. 

Hal itu salah satu yang menyebabkan kenyamanan kota menyusut. Hal penting ini tidak bisa diabaikan oleh Mas Respati Ardi dan Mbak Astrid Widayani sebagai wali kota dan wakil wali kota baru yang segera memimpin Kota Solo. 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Januari 2025. Penulis adalah dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan pemrakarsa Solo Societeit)

Sentimen: neutral (0%)