Sentimen
Undefined (0%)
24 Des 2024 : 13.50
Informasi Tambahan

Grup Musik: God Bless

Institusi: UIN

Kab/Kota: Boyolali, Solo

Kasus: kebakaran, teror

Tokoh Terkait

Suara Masyarakat Adat dalam Musik Keras

24 Des 2024 : 13.50 Views 31

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Suara Masyarakat Adat dalam Musik Keras

Banyak yang memahami musik keras itu tidak ada artinya, cuma bikin ribut. Alunan musiknya membisingkan telinga, orang-orangnya tidak beraturan, kumuh, seperti preman, teriak-teriak tidak jelas, bahkan dianggap sampah masyarakat.

Hal itu tak benar sepenuhnya juga tak salah sepenuhnya. Kultur musik keras berasal dari respons terhadap arus utama. Tak mengherankan jika arah yang dibangun sangat berbeda dengan musik lainnya.

Musik keras memiliki sinonim yang cukup beragam. Banyak yang mengenali sebagai musik bawah tanah, musik independen, do it yourself (DIY) music, subkultur musik, bahkan musik perlawanan.

Sebagian penikmat musik jenis ini kebanyakan kaum muda. Beragam alasan melatarbelakangi kaum muda menjadi penggemar atau sekadar pendengar musik keras. 

Alasan-alasan itu, antara lain, menjadi wadah penyaluran emosi; bersikap antikompromi terhadap norma sosial, gaya hidup, dan estetika; dorongan adrenalin; atau sekadar terbawa arus lingkungan.

Musik jenis ini kerap membawakan lirik-lirik yang sarat dengan isu-isu terkini. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, dengan kultur nondominan yang bersinggungan langsung dengan kelas bawah dapat dengan lantang menyuarakan suara-suara pinggiran. 

Mereka terbebas dari norma-norma, aturan-aturan label yang sarat kepentingan, dan opini publik yang meniadakan suara masyarakat pinggiran.

Pada Sabtu, 14 Desember 2024, saya dengan badan sehat nan waras hadir di festival musik keras bertajuk A Journey of Rock In Solo: XX di pinggiran Kota Solo, yakni di Kali Pepe, Kabupaten Boyolali. 

Saya melihat acara ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Dulu hanya memainkan dua panggung, tahun ini suguhan yang sangat variatif dihadirkan melalui empat panggung: Rajamala Stage, XX Stage, Sakjose Stage, dan Trend Asia Corner.

Selain itu, wacana mengenai masyarakat adat dan lingkungan digemakan dalam festival ini. Sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada bidang transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan, Trend Asia,  menyuguhkan varian kegiatan. 

Kegiatan itu meliputi penampilan band yang menyuarakan isu masyarakat adat dan lingkungan, diskusi, booth untuk menyuarakan keluh kesah, majalah gratis, buku gratis, isu ulang air minum gratis, sablon gratis, makan gratis, pijat gratis, dan penayangan perdana klip  video lagu Prahara Jenggala  garapan band metal asal Kota Solo, Down For Life, yang berkolaborasi dengan Trend Asia. 

Prahara Jenggala masuk dalam kompilasi Sonic/Panic Vol. 2 bersama 15 musikus lintas genre lainnya. Sonic/Panic Vol. 2 lahir dari rahim Indonesian Climate Communications, Arts, and Lab atau IKLIM yang merupakan media untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap krisis iklim,  mengajak khalayak bertindak, dan mengajak industri musik menjalankan praktik ramah lingkungan.

Dengan mengambil latar rekaman di hutan adat, Prahara Jenggala bercerita tentang liku-liku kehidupan masyarakat adat Dayak Kualan Hilir di Kalimantan Barat yang tengah memertahankan tempat tinggal dari ancaman korporasi besar. 

Di sela-sela waktu, sambil mencicipi jagung rebus, saya menyimak obrolan pentolan festival Rock In Solo dengan kolega dari Trend Asia membahas diskriminasi yang dirasakan masyarakat ada di Papua.

Kapital

Perjalanan saya mengitari venue cukup melelahkan karena dengan empat panggung yang terpisah cukup jauh. Itu membuat saya harus menggerakkan lutut saya. 

Rasa lelah itu terbayar lunas ketika saya menikmati penampilan band Kapital, unit metalcore dari Tenggarong, Kalimantan Timur. Penampilan Kapital meruntuhan tesis Emma Blauch melalui penelitian yang berjudul God Bless Come Back: New Experiments with Nostalgia in Indonesian Rock (2011).

Bahwa band bawah tanah tumbuh dan besar di kota-kota besar, khususnya yang berada di Pulau Jawa. Kapital yang notabene berasal dari pinggiran, nyatanya bisa menjadi besar dan bermain di panggung semegah A Journey of Rock In Solo: XX.

Lahir di daerah yang berdekatan dengan garis khatulistiwa dan menghirup debu pertambangan Kalimantan, Kapital dalam berbagai lagu menjadi penyambung lidah kelompok-kelompok tertindas seperti masyarakat adat.

Band yang berproses selama dua dekade ini telah menghasilkan enam album: Mantra (2020), Semesta Rawa (2017), Teror dari Belantara (2014), Symphony Kegelapan (2012), Reinkarnasi (2011), Metalmorphosis (2009), dan satu single/EP Anonymous (2015).

Bertempat di Panggung Rajamala, frontman band Kapital, Akbar Haka, berhasil membuat riuh asyik metalheads untuk berpogo ria. Sembari bernyanyi lantang lagu Mutu Manikam, Akbar Haka memulai dengan salam kepada penonton dan menceritakan penindasan yang dialami masyarakat adat di Tanah Borneo.

Konteks lagu Mutu Manikam menceritakan kebakaran hutan adat di Kalimantan. Pada 2017 terdapat beberapa titik kepulan asap kebakaran hutan adat yang diduga dilakukan dengan sengaja oleh perusahaan-perusahaan besar. 

Alasanya ialah motif ekonomi, seperti pembukaan lahan yang cepat dan ekspansi perkebunan. Dengan begitu jelas, lagu Mutu Manikam bersuara lantang akan hal itu. 

Penggalan demi penggalan lirik menjadi suara bagi masyarakat adat untuk melawan deforestasi. Penggalan lirik tersebut, antara lain: Kami terjebak rintih perih / Suara nafas-nafas buas yang memburu keras / Nyalakan genderang tabuhan perang / Api dendam Mutu Manikam! / Mutu Manikam! Tenggelam lebur dan terlupakan!

Lirik itu membicarakan rintih isi hati masyarakat adat yang kehilangan tempat tinggal. ”Nafas-nafas buas” bukan napas hewan-hewan liar di rimba raya, tapi napas penguasa yang serakah menggerogoti sumber daya alam. 

Perlawanan bagi masyarakat adat bukan berbentuk kekerasan fisik, namun dengan keadilan, pemenuhan hak, dan terlindunginya alam.

Secara lebih gamblang, penggalan lain juga melontarkan kritik tajam kepada negara yang gagap membaca akibat deforestasi dan eksploitasi sumber daya alam: Indonesia lupa! / Bahwa sedikit banyaknya / Daerah-daerah yang terpapar asap / Adalah oktan tinggi / Bagi devisa negara!

Obsesi negara tentang pembangunan lewat gedung-gedung tinggi, jalan tol panjang melintang, dan lain sebagainya melupakan kondisi di seberang sana ada asap yang mengepul, hutan yang gundul, dan masyarakat adat yang kehilangan tempat tinggal.

Karena terpapar asap, hutan kian tak luas lagi. Masyarakat adat yang hidup menyatu dengan alam tersisih oleh korporasi-korporasi besar yang merenggut nasib mereka. Keberhasilan ekonomi yang tertuang di kertas lupa ternyata menodai prinsip kemanusiaan.

Ketika arus utama musik populer menyanyikan roman picisan yang mudah terlupakan itu dan kemudian digantikan musik serupa yang baru, di situ peran musik bawah tanah menggemakan suara-suara kelompok pinggiran, salah satunya masyarakat adat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Desember 2024. Penulis adalah alumnus Program Studi Akidah Filsafat UIN Raden Mas Said Srurakarta dan aktif di Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions (ICIR) Rumah Bersama)

Sentimen: neutral (0%)