Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Institusi: UIN
Kab/Kota: bandung, Gunung
Kenapa "Quick Count" Perlu? Nasional 29 November 2024
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2024/11/27/674684448285b.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
Kenapa "Quick Count" Perlu? Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung PERHELATAN politik, seperti Pemilu atau Pilkada , adalah momen penting tetapi sering kali diiringi dengan tingkat stres yang tinggi di masyarakat. Ketegangan politik di masyarakat mencapai puncaknya pada saat setelah pemilu selesai. Rasa ingin tahu masyarakat untuk mendapat informasi yang cepat menjadi salah satu faktor utama penyebab ketegangan. Oleh sebab itu, perlu ada instrumen untuk merespons rasa ingin tahu publik dengan cepat dan efisien. Di era informasi saat ini masyarakat memiliki ekspektasi untuk mendapatkan jawaban secepat mungkin dan cenderung ingin instan. Sementara itu, menunggu hasil resmi dari KPU sering kali memakan waktu berminggu-minggu, sehingga dapat menimbulkan kecemasan kolektif. Sehubungan dengan itu, hitung cepat atau quick count yang menawarkan proyeksi awal sangat berguna untuk menjembatani kebutuhan ini. Meskipun bersifat sementara, quick count mampu sedikit menenangkan banyak pihak, kecuali bagi kontestan yang persentase hasil hitung cepatnya tertinggal. Walaupun tidak memiliki kekuatan hukum seperti hasil resmi komisi pemilihan, quick count (QC) yang dilakukan oleh lembaga kredibel menjadi alat penting untuk memberikan jawaban awal bagi publik yang tidak sabar menunggu hasil akhir. Meski demikian, penting untuk memastikan bahwa quick count dilakukan dengan metode yang transparan dan tidak memihak. Kredibilitas lembaga survei yang melakukan quick count sangat menentukan kepercayaan publik terhadap hasilnya. Tanpa transparansi, quick count justru dapat menjadi sumber konflik baru. Quick count yang kredibel memberikan manfaat signifikan dalam mengurangi stres politik masyarakat. Saat pemilih melihat proyeksi hasil yang valid dan terpercaya, mereka merasa lebih tenang. Selain itu, quick count yang kredibel dapat “menyelamatkan” media dan pengamat politik untuk tidak terjebak dalam spekulasi yang tidak terarah. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat, lembaga survei harus mempublikasikan metodologi mereka, termasuk bagaimana sampel TPS dipilih dan bagaimana data dihitung. Langkah-langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa hasil quick count tidak dimanipulasi demi kepentingan politik tertentu. Quick count yang kredibel juga berperan dalam mencegah eskalasi ketegangan politik di antara para pendukung kandidat. Dengan memberikan gambaran awal yang netral, masyarakat cenderung lebih fokus pada proses resmi daripada berspekulasi tanpa dasar. Penting untuk memahamkan kepada masyarakat mengenai duduk perkara hasil quick count . Mereka perlu disadarkan bahwa quick count bukan hasil final, melainkan proyeksi dengan kemungkinan ada kesalahan tertentu. Pemahaman ini dapat membantu mengurangi efouria dan ekspektasi berlebihan. Hasil quick count sering dipersepsi oleh masyarakat sebagai hasil final pemilu, meskipun secara teknis hanyalah proyeksi awal berdasarkan metode statistik. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan bagaimana seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka kasus hukum sering kali langsung dianggap bersalah oleh publik, meskipun proses hukum masih berlangsung. Kedua kasus ini menunjukkan betapa kuatnya persepsi terhadap "label awal" yang muncul, terutama ketika informasi tersebut berasal dari lembaga atau otoritas yang dianggap kredibel. Namun, keyakinan kebenaran pada hasil quick count terkadang sulit dibendung. Hasil quick count yang sering kali mirip dengan hasil resmi KPU membentuk kepercayaan besar di kalangan masyarakat bahwa quick count adalah prediksi yang "tidak mungkin salah." Hasil quick count yang hampir selalu akurat membuat masyarakat sulit untuk membedakannya dari hasil resmi. Banyak masyarakat yang “tidak urusan” dengan margin of error . Mereka cenderung melihat angka yang muncul sebagai fakta final, bukan proyeksi berbasis sampel. Hal ini semakin diperkuat jika lembaga survei menggunakan bahasa yang meyakinkan, tanpa menyoroti keterbatasan metodologi mereka. Malapetaka sosial dan politik akan terjadi, jika hasil berbeda dengan hasil resmi. Masyarakat yang sudah memercayai quick count cenderung merasa kecewa dan akan mencurigai adanya kecurangan. Hal ini bisa memicu polarisasi sosial-politik, sebagaimana kesalahan dalam menetapkan tersangka bisa menciptakan ketidakadilan yang berujung pada konflik hukum. Jika para penyelenggara pemilu tidak kukuh dan taat asas, persepsi bahwa quick count adalah hasil pasti dapat menciptakan tekanan bagi mereka untuk segera mengonfirmasi hasil tersebut, bahkan jika proses resmi belum selesai. Tekanan ini dapat merusak kepercayaan terhadap proses demokrasi yang seharusnya menjunjung prinsip kehati-hatian. Media memiliki peran besar, sekaligus tanggung jawab, untuk menjelaskan kepada masyarakat perbedaan antara hasil quick count dan hasil resmi. Tanpa edukasi yang memadai dan “endorsment” dari media, publik akan terus memandang quick count sebagai hasil final, meskipun ada kemungkinan kecil terjadi perbedaan. Namun, malapetaka akibat dari quick count bisa terjadi dahsyat, jika para penyelenggaranya partisan terhadap kandidat tertentu. Data yang semestinya obyektif menjadi alat propaganda, menciptakan narasi kemenangan yang tak berdasar fakta. Publik, yang menggantungkan kepercayaannya pada hasil cepat ini, justru dimanipulasi untuk membenarkan ambisi politik kelompok tertentu. Quick count partisan dapat memicu ketegangan sosial. Ketika hasilnya tidak sesuai dengan perhitungan resmi, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem pemilu, yang dapat berujung pada konflik. Penyelenggara quick count memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga netralitas. Tanpa netralitas, akan terjadi “pengkhianatan” pada ilmu statistik, sekaligus juga terhadap masa depan demokrasi yang sehat. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (44.4%)