Sentimen
Positif (84%)
10 Okt 2024 : 13.51
Informasi Tambahan

BUMN: BNI

Institusi: UGM

Kab/Kota: Yogyakarta

Tokoh Terkait

Prabowo Bakal Gandeng Lawan Masuk Kabinet, Pengamat: Prioritasnya Stabilitas Politik

10 Okt 2024 : 13.51 Views 30

Beritasatu.com Beritasatu.com Jenis Media: Nasional

Yogyakarta, Beritasatu.com - Dosen ilmu politik dan pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menilai pernyataan Prabowo Subianto yang siap menggandeng lawannya dalam Pilpres 2024 untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan merupakan upaya untuk menciptakan stabilitas politik di Indonesia.

Pada acara penutupan BNI Investor Daily Summit 2024, Rabu (9/10/2024), Prabowo menegaskan ia tidak keberatan membentuk koalisi gemuk, dengan harapan agar putra-putri terbaik Indonesia dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Hal ini sejalan dengan pepatah Cina kuno yang menjadi filosofi hidupnya, “1.000 kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak.”

“Jika prioritasnya adalah stabilitas politik, maka mengakomodasi sebanyak mungkin partai politik bisa menjadi pilihan,” ujar Mada saat ditemui di UGM pada Kamis (10/10/2024).

Mada juga mengamati bahwa partai-partai di Indonesia cenderung enggan menjadi oposisi karena minimnya insentif.

“Di Indonesia, menjadi oposisi tidak memberikan akses yang memadai terhadap sumber daya negara. Sebaliknya, partai-partai yang berada di dalam kabinet dapat memanfaatkan posisi mereka untuk memperkuat basis politik di daerah,” terangnya.

Ia menambahkan jika Prabowo ingin mengisi kabinetnya dengan para profesional, yang kerap disebut sebagai zaken kabinet, penerapannya bisa disesuaikan dengan kebutuhannya sebagai presiden. Konsep ini pertama kali diterapkan dalam Kabinet Djuanda pada era demokrasi liberal Indonesia, yang didefinisikan sebagai kabinet yang terdiri dari campuran teknokrat, profesional, dan politisi.

“Definisi normatif zaken kabinet adalah kabinet yang terdiri dari kombinasi teknokrat, profesional, dan politisi,” jelas Mada.

Mada menekankan bahwa penerapannya saat ini berbeda. Pada masa Kabinet Djuanda, Indonesia menganut sistem parlementer, sedangkan saat ini menggunakan sistem presidensial. Namun, tantangan yang dihadapi tetap serupa, terutama dalam hal akomodasi kekuatan politik dan kebutuhan untuk menghasilkan kebijakan yang efektif.

“Baik di masa Djuanda maupun saat ini, ada kebutuhan untuk menjaga stabilitas politik, sehingga mengakomodasi kekuatan politik adalah suatu keharusan,” tambahnya.

Mada juga menyoroti dilema utama dalam penerapan zaken kabinet modern, yakni bagaimana menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan. Sistem presidensial dengan multipartai menciptakan tantangan bagi presiden dalam memilih antara mengakomodasi semua partai pendukung atau fokus pada teknokrat dan profesional.

Meskipun kabinet diisi lebih banyak oleh teknokrat dan profesional, kebijakan bisa lebih cepat diimplementasikan, meskipun berisiko melemahkan dukungan politik.

Meskipun demikian, tren zaken Kabinet sudah mulai terbentuk sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan berlanjut di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), khususnya pada posisi strategis seperti menteri keuangan dan menteri luar negeri.

“Posisi-posisi strategis seperti menteri keuangan dan menteri luar negeri biasanya diisi oleh teknokrat atau profesional, karena objektivitas dalam mengambil kebijakan publik sangat diutamakan di posisi ini,” imbuh Mada.

Sentimen: positif (84.2%)