Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Ibadah Haji, Ibadah Umroh
Kab/Kota: Senayan
Tokoh Terkait
Pansus Beberkan 9 Temuan Pelaksanaan Haji 2024 pada Rapat Paripurna DPR
Beritasatu.com
Jenis Media: Nasional
Jakarta, Beritasatu.com - Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR membeberkan sembilan temuan penyelidikan penyelenggaraan Haji 2024 selama kurang lebih 1 bulan. Hasil temuan tersebut disampaikan oleh Ketua Pansus Haji Nusron Wahid dalam rapat paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2024).
Pertama, kata Nusron, terkait kelembagaan di mana Kementerian Agama masih berperan ganda dalam penyelenggaraan ibadah haji, sebagai regulator maupun operator. Padahal, kata Nusron, Arab Saudi tidak lagi menggunakan pendekatan government to government dalam penyelenggaraan haji.
"Akan tetapi berubah menjadi government to business, sehingga pelayanan yang diberikan kepada pihak sarikah dengan menggunakan kerangka bisnis," kata Nusron.
Kedua, kata Nusron, terkait kebijakan. Dalam pembagian kuota haji tambahan tahun 1445 Hijriyah/2024, Pansus menemukan dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh. Pasal ini mengatur terkait alokasi kuota yang ditetapkan kuota haji khusus sebesar 8% dari kuota haji Indonesia.
"Kementerian Agama, khususnya dirjen penyelenggaraan haji dan umroh melakukan ketidakpatuhan dengan mengajukan pencairan nilai manfaat pada 10 Januari tahun 2024 sebelum diterbitkannya KMA Nomor 130 Tahun 2024 pada tanggal 15 Januari tahun 2024 yang seharusnya menjadi basis penghitungan kuota," ungkap Nusron.
Ketiga, soal distribusi kuota haji. Nusron mengatakan, pengisian kuota haji reguler untuk jemaah yang membutuhkan pendamping penggabungan dan pelimpahan porsi masih ada celah atau kelemahan. Pendamping diisi jemaah haji reguler yang bukan mahramnya.
Kemenag juga dinilai masih belum mengupayakan maksimal menyelesaikan masalah 5.678 nomor porsi kuota 'batu', yaitu porsi haji reguler yang belum diketahui secara pasti di mana jemaah haji berada atau bertempat tinggal hingga 2024.
Selain itu, ada ketidaksinkronan antara regulasi. Khususnya, antara keputusan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 118 tahun 2024 tertanggal 29 Januari 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Khusus Haji 1445 H dengan SE Dirjen Bina Haji Khusus tentang Penyampaian Daftar Haji Khusus, dan Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Kemudian, Inspektorat Jenderal Kemenag sebagai aparatur pengawasan internal pemerintah tidak menjadikan pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 sebagai objek pengawasan. Sementara, pembagian kuota haji tambahan 1445 Hijriah ada potensi tidak sesuai dengan UU Nomor 8 tahun 2019.
Keempat, siskohat dan siskopatuh. Sistem komputerisasi haji terpadu dinilai tidak terjamin keamanannya karena tidak ada audit berkala terhadap sistem. Selain itu, terlalu banyak kepentingan yang dapat mengakses, seperti subdit siskohat, subdit pendaftaran haji, kantor wilayah, kantor Kemenag di kabupaten/kota, hingga bank penerima setoran penyelenggara haji khusus, sehingga rawan diintervensi dan membuka celah orang yang tidak berhak berangkat haji dapat berangkat haji.
Kelima, soal pendaftaran. Prosedur pengisian sisa kuota tidak mencerminkan keadilan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 226 Tahun 2023 tentang Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus, Keputusan Menteri Agama Nomor 1063 Tahun 2023 tentang Setoran Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, dan BAB III Poin B, Keputusan Direktur Jenderal PHU Nomor 118 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Ibadah Haji Khusus.
Ketentuan-ketentuan tersebut mengakibatkan adanya praktik pemberangkatan 3.503 jemaah haji khusus dengan status tanpa antre, mendaftar tahun 2024 dan berangkat tahun 2024.
Pansus Haji juga menyinggung ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menentukan pemenuhan kuota haji khusus berbasis usulan data dari PIHK dan kesiapan jemaah. Ketentuan tersebut, membuka peluang penyalahgunaan kesempatan oleh PIHK, dan berpotensi melanggar asas keadilan. Penyalahgunaan kesempatan tersebut berupa mengubah urutan keberangkatan dan/atau tahun keberangkatan.
Keenam, nilai manfaat. Pansus Haji menemukan adanya ketidakadilan penggunaan nilai manfaat. Mereka yang belum berhak untuk berangkat menggunakan nilai manfaat tahun berjalan yang didapatkan dari jamaah haji lain yang berada pada daftar antrean.
Ketujuh, jamaah cadangan lunas tunda sebesar 30% dari kuota haji nasional harus berangkat lebih dulu. Namun, karena ada mekanisme penggabungan mahram, jamaah lansia dan disabilitas, hak jemaah haji lunas tunda menjadi tidak pasti keberangkatannya.
Kedelapan, pelaporan dan pengawasan. Pansus Haji menemukan Kemenag tak menjalankan Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Padahal, ketentuan itu mengatur tentang pelaporan pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) kepada menteri.
Pansus Haji menilai hal tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan dan kontrol Kementerian Agama terhadap jumlah keberangkatan dan kepulangan jemaah haji khusus oleh PIHK yang seharusnya dilaporkan kepada DPR setelah penyelenggaraan ibadah Haji.
Kesembilan terkait pelayanan. Pelayanan di Arofah, Musdalifah, dan Mina, selama pelaksanaan ibadah haji banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan ketentuan, kontrak dan standar pelayanan.
Sentimen: positif (49.2%)