Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak, Rezim Orde Baru
Institusi: Universitas Hasanuddin
Tokoh Terkait
Pilkada 2024: Tantangan Otonomi di Tengah Kendali Pusat dan Koalisi Besar Nasional 25 September 2024
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
Pilkada 2024: Tantangan Otonomi di Tengah Kendali Pusat dan Koalisi Besar Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum. PILKADA 2024 adalah peristiwa politik terbesar dan paling rumit dalam sejarah Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan secara serentak di lebih dari 270 wilayah, meliputi provinsi, kabupaten, dan kota, menjadi ujian besar bagi demokrasi lokal di Indonesia. Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), lebih dari 500 calon kepala daerah akan bersaing, melibatkan jutaan pemilih di seluruh Indonesia. Kompleksitas Pilkada tidak hanya terlihat dari jumlah calon, tetapi juga dari tantangan logistik dan manajemen, mengingat luasnya geografis Indonesia. Lebih dari 190 juta pemilih akan terlibat, yang tersebar di daerah-daerah terpencil hingga pusat kota besar. Fakta ini menegaskan bahwa Pilkada 2024 bukan hanya sekadar pemilihan lokal, tetapi juga ajang politik nasional yang berdampak luas terhadap stabilitas politik dan pembangunan daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung pertama kali diperkenalkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Latar belakang desentralisasi ini adalah untuk memperkuat otonomi daerah , sehingga setiap wilayah di Indonesia memiliki keleluasaan dalam merancang dan mengimplementasikan program pembangunan sesuai dengan karakteristik lokal masing-masing. Prinsip desentralisasi ini juga diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 18, yang menjamin bahwa pemerintah daerah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan prinsip otonomi. Pada tataran teoritis, desentralisasi dianggap sebagai langkah demokratis yang memungkinkan partisipasi masyarakat lebih besar dalam pengambilan keputusan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pusat. Esensi dari pemilihan langsung kepala daerah adalah agar pemimpin daerah muncul dari aspirasi lokal, yang mana proses politik ini bergerak dari bawah ke atas ( bottom-up ). Kepala daerah yang terpilih secara langsung diharapkan lebih memahami dan merespons kebutuhan serta tantangan yang dihadapi masyarakat lokal. Namun, dalam praktiknya, pemilihan kepala daerah sering kali diwarnai campur tangan dari pusat, terutama dari partai politik. Pada Pilkada-Pilkada sebelumnya, kita kerap menyaksikan bagaimana Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik memainkan peran dominan dalam menentukan siapa yang akan maju sebagai calon kepala daerah. Fenomena ini sering kali bertentangan dengan semangat desentralisasi dan partisipasi publik, karena calon yang ditetapkan cenderung lebih mewakili kepentingan elite partai di pusat ketimbang aspirasi masyarakat lokal. Pada Pilkada 2024, masalah ini semakin kompleks. Dalam beberapa kasus, bahkan DPP partai politik kehilangan kontrolnya dan tunduk pada keinginan koalisi besar. Sebelum Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No. 60 dan 70, yang membatasi kemungkinan kotak kosong, beberapa daerah terancam hanya memiliki calon tunggal, akibat tidak ada kandidat yang mampu bersaing melawan calon yang didukung oleh koalisi besar. Hal ini memperlihatkan bahwa proses politik di Pilkada sering kali diwarnai kompromi elite, yang justru jauh dari prinsip demokrasi lokal yang inklusif. Namun, perlu dipahami bahwa Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang diperkirakan akan menjadi koalisi pemerintahan mendatang, memiliki kebutuhan strategis untuk memastikan kendali politik dari pusat ke daerah tetap terjaga. Hal ini penting karena banyak program-program strategis yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran, yang membutuhkan dukungan penuh dari kepala daerah. Beberapa program unggulan, seperti pembangunan infrastruktur dasar di wilayah terpencil, pengembangan kawasan ekonomi khusus, serta program ketahanan pangan, memerlukan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Sebagai contoh, program pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan dan daerah tertinggal akan membutuhkan kepala daerah yang kompeten dan mampu mengelola anggaran serta sumber daya yang diberikan oleh pusat secara efektif. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa otonomi daerah adalah amanat konstitusi. Otonomi dirancang untuk memastikan bahwa daerah-daerah dengan kekhasan budaya, suku, agama, dan ras berbeda-beda dapat mengembangkan potensi lokal mereka dengan cara yang sesuai dengan karakteristik masing-masing. Indonesia yang pluralis tidak dapat dikelola dengan satu pendekatan terpusat. Setiap daerah memiliki imajinasi pembangunan berbeda-beda, yang perlu dihargai dan didorong melalui kebijakan lebih desentralistis. Selama lebih dari tiga dekade di bawah pemerintahan Orde Baru, pembangunan Indonesia berpusat di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Dampaknya adalah ketimpangan yang sangat besar antara daerah dan pusat. Daerah-daerah terpencil, termasuk wilayah perbatasan, sering kali terpinggirkan dalam agenda pembangunan nasional. Wilayah-wilayah ini seharusnya menjadi prioritas, mengingat posisinya yang strategis sebagai "halaman depan" Indonesia dalam hubungan internasional. Namun, kenyataannya, banyak wilayah perbatasan Indonesia, baik yang berbatasan darat maupun laut, masih berada dalam kondisi tertinggal dan terisolasi. Menurut data Bappenas, ada 187 kecamatan di 17 provinsi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Wilayah-wilayah ini tidak hanya penting dari segi geopolitik, tetapi juga memiliki potensi ekonomi besar jika dikelola dengan baik. Sayangnya, pengelolaan wilayah perbatasan masih sepenuhnya di bawah kendali pusat, dan hasilnya sejauh ini belum menunjukkan perkembangan signifikan. Dari perspektif ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan, wilayah perbatasan masih jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah lainnya. Ketimpangan ini juga berpotensi menimbulkan masalah kedaulatan, terutama jika masyarakat perbatasan merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Ironisnya, hingga kini belum ada evaluasi serius terhadap kebijakan nasional mengenai pengelolaan wilayah perbatasan. Pemerintah pusat tetap memegang kendali penuh, sementara daerah-daerah perbatasan yang memiliki pemahaman lebih baik tentang kondisi lapangan tidak diberikan wewenang yang cukup untuk mengelola wilayahnya. Padahal, jika daerah diberikan otonomi lebih besar dalam mengelola sumber daya perbatasan, mereka bisa menjadi motor penggerak pembangunan, sekaligus menjaga kedaulatan Indonesia di wilayah yang strategis ini. Jika pemerintah pusat serius ingin memastikan bahwa program-program strategisnya berjalan baik hingga ke daerah, mengapa tidak dimulai dengan Pilkada 2024 ini? Biarkan daerah menentukan pemimpin yang benar-benar memahami dan mewakili aspirasi masyarakat setempat. Pilkada 2024 bisa menjadi momentum untuk memperkuat otonomi daerah dan memperlihatkan bagaimana Indonesia bisa dikelola secara lebih demokratis dan inklusif. Biarkan Pilkada ini menjadi parade keragaman Indonesia, di mana setiap daerah bisa menampilkan kekhasan mereka dalam memilih pemimpin. Dengan memberikan ruang lebih besar bagi aspirasi lokal, kita tidak hanya memperkuat demokrasi di tingkat daerah, tetapi juga membangun Indonesia lebih inklusif, adil, dan berdaya saing. Desentralisasi dan otonomi daerah adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kesempatan sama untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka. Pilkada 2024 adalah momen penting untuk memperkuat komitmen tersebut. Wallahualam bi sawab. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: positif (100%)