Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Pilkada Serentak
Institusi: UIN
Menyingkap Populisme dalam Pilkada (Bagian II) Nasional 7 September 2024
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
Menyingkap Populisme dalam Pilkada (Bagian II) Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar DALAM lanskap politik Indonesia, Pilkada 2024 menjadi medan tempur yang tidak hanya sarat dengan adu visi dan misi, tetapi juga diwarnai strategi populis yang kian canggih melalui penggunaan media sosial. Seiring perkembangan teknologi digital, media sosial menjadi arena utama bagi para kandidat untuk menampilkan diri dan menarik perhatian pemilih. Dalam konteks ini, populisme bukan sekadar alat politik, melainkan telah menjadi senjata utama yang memengaruhi persepsi pemilih. Sering kali memanfaatkan apa yang dikenal sebagai fenomena "post-truth" atau pasca-kebenaran, di mana fakta objektif dikalahkan oleh emosi dan keyakinan pribadi. Kandidat-kandidat dalam Pilkada 2024 dengan licin membangun citra diri sebagai "kandidat rakyat"—sosok yang baik, bijak, dan berpihak kepada masyarakat bawah. Mereka mengemas janji-janji populis yang secara retoris menarik, namun sayangnya tidak selalu realistis atau dapat dipenuhi. Dalam banyak kasus, janji-janji ini lebih bertujuan memancing emosi dan dukungan jangka pendek daripada memberikan solusi jangka panjang bagi masalah yang ada. Akibatnya, pemilih sering kali terjebak dalam narasi populis yang memperdaya, tanpa menyadari bahwa janji-janji tersebut mungkin tidak memiliki dasar kuat untuk diwujudkan. Dalam upaya menarik simpati publik, banyak kandidat di Pilkada 2024 menggunakan strategi framing untuk membangun citra diri sebagai sosok yang "baik" dan "bijak". Media sosial memainkan peran sentral dalam proses ini. Dengan algoritma yang dirancang untuk memperkuat konten yang paling banyak menarik perhatian, pesan-pesan yang menampilkan kandidat sebagai "pahlawan rakyat" dengan mudah menyebar dan mendominasi wacana publik. Retorika populis yang digunakan sering kali menampilkan kandidat sebagai orang yang "mengerti penderitaan rakyat," berjuang melawan ketidakadilan, dan berjanji untuk membawa perubahan signifikan jika terpilih. Framing ini, meski menarik, sering kali didasarkan pada narasi yang disederhanakan, yang mengabaikan kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, kandidat tidak hanya membentuk citra positif, tetapi juga menciptakan ekspektasi tinggi di kalangan pemilih, yang pada akhirnya dapat berujung pada kekecewaan jika janji-janji populis tersebut tidak terpenuhi. Janji populis menjadi ciri khas kampanye Pilkada. Kandidat berlomba-lomba menawarkan program-program yang seolah-olah mampu menyelesaikan semua masalah masyarakat secara instan. Namun, realitas di balik janji-janji ini sering kali tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Misalnya, janji untuk menyediakan lapangan pekerjaan melimpah, menghapuskan kemiskinan, atau membangun infrastruktur dalam waktu singkat, sering kali tidak didukung oleh perencanaan dan anggaran yang realistis. Fenomena ini menunjukkan ketidakjujuran intelektual yang disengaja oleh para kandidat. Mereka lebih memilih janji-janji bombastis yang mudah dijual di media sosial ketimbang menawarkan solusi yang sebenarnya dapat diimplementasikan, meski mungkin kurang populer. Akibatnya, pemilih sering kali terjebak dalam ilusi perubahan yang dijanjikan oleh kandidat populis, tanpa menyadari bahwa janji-janji tersebut lebih merupakan alat politik daripada komitmen yang nyata. Pilkada 2024 akan menjadi panggung yang penuh dinamika, terutama karena fenomena post-truth yang semakin mengakar dalam masyarakat. Dalam era post-truth , emosi dan keyakinan pribadi cenderung lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta objektif. Ketika pemilih lebih mengutamakan perasaan dan keyakinan subjektif mereka, fakta-fakta yang seharusnya menjadi dasar penilaian sering kali diabaikan. Kondisi ini membuka peluang bagi penyebaran informasi yang tidak terverifikasi atau bahkan sengaja dipalsukan, yang pada gilirannya membentuk narasi yang dapat memengaruhi preferensi politik secara signifikan. Peran media sosial dalam menyebarkan fenomena post-truth tidak dapat diabaikan. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah menjadi ladang subur bagi penyebaran informasi yang tidak selalu akurat. Informasi yang disajikan di media sosial sering kali dibentuk sedemikian rupa untuk membangkitkan emosi pengguna, tanpa memperhatikan validitasnya. Dalam situasi ini, narasi yang memicu amarah, ketakutan, atau kebencian lebih mudah menyebar dan diterima oleh publik, meskipun informasi tersebut mungkin tidak didukung bukti kuat. Inilah salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi dalam Pilkada 2024. Kemampuan pemilih untuk memilah informasi yang benar-benar kredibel menjadi semakin krusial. Di sisi lain, kandidat populis sering memanfaatkan situasi ini dengan mengedepankan narasi yang cenderung membesar-besarkan atau bahkan menyesatkan. Mereka menggunakan strategi komunikasi yang dirancang untuk memanipulasi persepsi publik, dengan menonjolkan isu-isu yang dapat membangkitkan emosi pemilih. Salah satu taktik yang sering digunakan adalah mengklaim bahwa lawan politik mereka adalah bagian dari "elite korup" atau "musuh rakyat," tanpa memberikan bukti yang jelas. Narasi seperti ini sangat efektif dalam menciptakan polarisasi di kalangan pemilih, karena mampu menggugah emosi dan memanipulasi rasa ketidakadilan yang mungkin dirasakan oleh sebagian masyarakat. Bahaya dari pendekatan populisme adalah ia menciptakan dunia di mana fakta tidak lagi relevan. Ketika opini yang dibentuk oleh manipulasi emosi menjadi alat utama untuk memenangkan dukungan, demokrasi menjadi terancam. Pilkada 2024 bisa saja menjadi ajang di mana kebenaran dikalahkan oleh sensasi, dan di mana kemenangan lebih sering diraih melalui permainan emosi daripada argumen berbasis data. Jika hal ini terjadi, maka kita harus bersiap menghadapi masa depan politik yang penuh dengan ketidakpastian, di mana integritas dan kredibilitas semakin sulit ditemukan dalam proses demokrasi kita. Masyarakat harus semakin waspada dan kritis dalam menghadapi strategi populis di Pilkada 2024. Media sosial, meskipun menyediakan ruang bagi kandidat untuk berinteraksi langsung dengan pemilih, juga menjadi arena di mana kebenaran sering kali dikorbankan demi memenangkan kontestasi politik. Pemilih perlu lebih jeli dalam menilai janji-janji politik yang dihadirkan, mempertanyakan apakah janji-janji tersebut didukung oleh rencana yang realistis, atau hanya merupakan upaya populis untuk meraih simpati sesaat. Pada akhirnya, pemahaman yang lebih kritis terhadap strategi populis dapat membantu masyarakat membuat keputusan lebih cerdas dan berdasarkan fakta dalam Pilkada 2024, sehingga demokrasi kita tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya. Hanya dengan begitu, kita dapat menghindari jebakan populisme yang merugikan, dan memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi bangsa. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: positif (99.9%)