Sentimen
Negatif (96%)
23 Agu 2024 : 12.49
Informasi Tambahan

Institusi: ITB, UNAIR, Universitas Airlangga, Universitas Indonesia

Kab/Kota: bandung, Senayan, Tangerang, Bekasi, Surabaya, Pasar Minggu

Kasus: HAM

Halida Hatta di Kamisan Ke-828: Demokrasi Dikangkangi Kesewenang-wenangan Nasional 23 Agustus 2024

23 Agu 2024 : 12.49 Views 1

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Halida Hatta di Kamisan Ke-828: Demokrasi Dikangkangi Kesewenang-wenangan Mantan wartawan harian Kompas . Kolumnis  KAMIS sore, 22 Agustus 2024, putri Bung Hatta, Proklamator RI 17 Agustus 1945, Halida Hatta , berada di tengah ratusan orang pengunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta. Dia datang atas undangan Ny Maria Catarina Sumarsih untuk hadir di aksi Kamisan ke-828 (berlangsung sejak Kamis 18 Januari 2007). “Lima hari sebelumnya, Minggu pagi, 17 Agustus 2024, saya berada di tribun utama acara peringatan detik-detik proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79, di Istana Merdeka, Jakarta,” kata Halida kepada saya di bawah payung hitam yang melindungi kami dari sengatan sinar matahari. Di sudut Lapangan Tugu Monas yang dipenuhi ratusan orang Halida berseru: “Seandainya Ayah saya dapat menyaksikan Indonesia pada usia kemerdekaannya yang ke-79 tahun, saya yakin hatinya hancur melihat demokrasi di negaranya tercinta ini, saat ini, dikakangi berbagai kesewenang-wenangan.” Dalam tulisan ringan ini, saya mencuplik beberapa kalimat Halida yang mendapat tepuk tangan hadirin. Dengan mengambil pendapat pemikir filsafat politik dari Inggris abad ke-17, John Locke, Halida Hatta, dalam orasinya mengingatkan secara keras penguasa negeri ini. “Penguasa yang gagal melindungi hak-hak rakyat dapat disingkirkan oleh rakyat, dan jika perlu, dengan paksaan.” Sebelumnya Halida berkisah tentang pengalamannya mendapatkan buku dari Bung Hatta, pada tahun 1974, ketika ia mulai kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Jakarta. Halida mengatakan, dalam bukunya, The Two Treatise of Goverment (1689), John Locke menentang teori kekuasaan negara berdasarkan hak ilahi raja. Ia mengatakan semua orang dianugerahi hak alami untuk hidup, kebebasan dan hak atas properti, sehingga kekuasaan negara berasal dari rakyatnya. Lalu Halida menekankan, penguasa bisa disingkirkan rakyatnya, bahkan dengan paksa, bila gagal melindungi hak-hak rakyatnya. Halida Hatta menyatakan sangat menghargai dan mendukung Ny Sumarsih (72) yang selama ini terus berjuang untuk tegaknya keadilan. “Di sisi lain, hingga hari ini, pemerintah tidak amanah dalam menangani penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu, seperti Tragedi Semanggi, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998. Dengan penuh hormat saya mengagumi Ibu-Bapak korban di sini yang terus berjuang mendapatkan keadilan,” demikian Halida. Setelah berorasi, Halida banyak dikerumuni orang-orang yang hadir di acara ini. Banyak yang mencium tangan. Beberapa wartawan dalam dan luar negeri mewawancarainya. Sudah beberapa kali saya hadir di acara Kamisan di depan Istana Merdeka. Kali ini saya datang secara kebetulan. Sebenarnya hari Kamis, 22 Agustus 2024, saya ingin menyaksikan aksi unjuk rasa di depan gedung Parlemen di Senayan. Namun, ketika sampai depan gedung TVRI, jalan tertutup massa dan aparat keamanan. Saya mencoba ke Jalan Merdeka Barat, Jakarta, untuk melihat aksi unjuk rasa mendukung Mahkamah Konstitusi (MK), tapi salah satu sisi jalannya yang ke Merdeka Utara ditutup. Saya jalan berkeliling, ke Jalan Merdeka Selatan, Jalan Merdeka Timur dan kemudian ke Jalan Merdeka Utara. Sekitar jam 15.00 WIB, saya sampai di sudut kiri utara yang menghadap Istana Merdeka. Saya melihat Ny Sumarsih dan beberapa orang rekannya, antara lain Hutomo (penulis buku), ada di tempat itu. Belum banyak orang. Saya hampiri Ny Sumarsih dan berbincang-bincang. Kemudian datang Romo Muji Sutrisno SY yang disusul Halida Hata dan para aktivis aksi Kamisan seperti Inggita dan rekan-rekannya. Menurut beberapa yang hadir di acara unjuk rasa Kamisan ke-828 yang selalu diadakan di sudut Lapngan Tugu Monas, depan Istana Merdeka, Jakarta ini, “kali ini cukup istimewa karena berlangsung di tengah-tengah aksi unjuk rasa di berbagai tempat di Indonesia, termasuk yang berlangsung di depan gedung Parlemen, Senayan." Hal ini antara lain dikatakan aktivis 1998 yang ikut masuk dan menduduki gedung Parlemen waktu itu, seperti Elis dan Eli. Selain kedua orang itu, beberapa perempuan muda lainnya, juga mengatakan, unjuk rasa Kamisan ke-828 ini istimewa karena ada tiga orang perempuan muda dari Komunitas Salihara (Pasar Minggu, Jakarta Selatan), yakni Halida, Karen dan Puela. “Kami datang ke acara ini, untuk menunjukan rasa kecewa kami pada pimpinan pemerintahan saat ini,” kata Keren, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tinggal di Tangerang, Banten. Acara unjuk rasa Kamisan ke-828 ini dibuka dengan orasi seorang perempuan yang mengaku bernama Wiwied dari Bekasi. Aktivis sosial yang sering hadir di acara unjuk rasa Kamisan di depan Istana Merdeka ini, di awal orasinya mengatakan, “Di masa mendatang jangan sampai kita ditipu lagi.” Ketika saya tanya, siapa yang menipu, Wiwied mengatakan,”pemimpin pemerintah” saat ini. Acara Kamisan ke-828 ini juga ditandai dengan pembacaan puisi oleh tiga mahasiswi dari Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Pembaca pertama mengaku namanya Ade. “Bila seorang tukang kayu bisa membeli negara ini, apakah kita rakyat bisa membeli dunia?,” demikian salah satu kalimat puisi yang dibacakan Ade. Ade juga memekikkan kalimat puisi yang dibacakan, (menurut pendengaran saya) berbunyi seperti berikut “... omong kosong, basa-basi, janji-janji setiap harinya... seorang tukang kayu yang bisa menyenangkan anaknya dengan menabrak aturan negara”. Pembaca puisi juga menyindir menantu perempuan si tukang kayu itu yang memamerkan makanan yang mahal harganya dan pergi ke luar negeri dengan pesawat jet khusus. Seorang wartawan yang berdiri di dekat saya memberi judul puisi yang dibacakan itu, “Balada Tukang Kayu”. Pembaca puisi ketiga menyampaikan kalimat-kalimat lebih keras dan menyebut nama yang dikecam (dalam puisi). Saya terus terang merasa tidak mampu untuk menyebut atau menuliskan nama yang dikecam dalam puisi-puisi yang dibacakan di depan Istana itu. Alasan tidak mau menuliskan nama, karena ada “nama tersendiri” yang telah saya hadiahkan padanya dan hanya bisa saya sampaikan pada rekan-rekan dekat. Jam 17.00 WIB (sore), saya meninggalkan acara unjuk rasa Kamisan ke-828 yang banyak ditandai dengan terikan, “Jangan Diam, Lawan”. Saya kembali menuju wilayah gedung Parlemen di Senayan. Jalan macet. Jalan ke Jembatan Semanggi masih ditutup. Setelah menempuh berbagai jalan berliku, saya sampai di depan Hotel Mulia. Ribuan motor diparkir di tempat itu sampai di depan gedung TVRI. Di tempat ini saya menemui beberapa pengunjuk rasa dan berbincang-bincang, antara lain mengenai perjuangan mereka bisa menjebol pagar pintu masuk ke halaman gedung Parlemen. Para pengunjuk rasa yang saya ajak bicara itu berkali-kali mengatakan, “Kami berunjuk rasa tanpa ada yang membiayai kami, kami membiayai sendiri”. Mereka menunjukan “banyaknya motor yang di parkir” sekitar gedung Parlemen itu sebagai bukti kebenaran bahwa mereka (pengunjuk rasa) mengeluarkan biaya sendiri. Dalam hati saya (perasaan saya) mengatakan, apa yang mereka katakan benar dan betul. Namun, saya meragukan kata-kata mereka yang mengatakan unjuk rasa masih akan berlanjut di mana-mana di Indonesia. Semoga keraguan saya ini tidak benar dan tidak salah. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: negatif (96.9%)