Sentimen
Negatif (97%)
14 Agu 2024 : 08.48
Informasi Tambahan

Event: Pemilu 2019

Kasus: korupsi

Partai Terkait

5 Airlangga Mundur, Demokrasi Dikubur Nasional

14 Agu 2024 : 08.48 Views 7

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Regional

Airlangga Mundur, Demokrasi Dikubur Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia. “ TAK percaya, tapi nyata,” begitu lirik lagu yang ditulis oleh Titiek Puspa, dalam mengenang kepergian sahabatnya, Bing Slamet. Lagu yang menyentuh hati, mengetok nurani. Airlangga Hartarto , tanpa sinyal sebelumnya, mendadak mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar . Aroma dugaan pun merebak ke mana-mana: ada apa sesungguhnya dengan Partai Golkar dan Airlangga Hartarto? “Tak percaya, tapi nyata.” Masalahnya, Munas partai tersebut sudah terjadwal pada Desember 2024. Tinggal empat bulan lagi. Mengapa tidak menunggu saja? Lagian, toh tidak ada masalah kegentingan yang memaksa untuk melakukan percepatan Munas. Nah, di sinilah pangkal tebak-tebakan itu berhulu. Semula memang, sejak tahun lalu, isu melengserkan Airlangga melalui mekanisme Munaslub, sudah mengalir deras. Keinginan tersebut dikandaskan oleh para sesepuh dan kader partai berlambang beringin tersebut. Sebelum Airlangga mengundurkan diri, agenda percepatan pergantian dirinya memang sudah berhembus kencang lagi. Lantas, siapa yang memaksa Airlangga mengundurkan diri, dan mengapa ide pergantian dirinya tidak terjadi melalui mekanisme Munaslub? Melengserkan Airlangga melalui mekanisme Munsalub atau Munas dipercepat bisa gagal karena resistensi para sesepuh dan kader Partai Golkar, sebagaimana yang terjadi tahun lalu. Maka, orang atau pihak yang memiliki kepentingan atas lengsernya Airlangga, menempuh jalur defisit akhlak dan bangkrut moral: mendesak Airlangga mengundurkan diri. Paksaan pengunduran diri Airlangga jelas dan terang, mengacu pada ajaran Machiavelli: “End justifies the mean”, tujuan menghalalkan segala cara. Jalan pikiran mereka sangat sederhana. Siapa yang bisa menghalangi seseorang mengundurkan diri dari sebuah posisi? Itu hak pribadi. Lalu, ada-ada saja publik manggut-manggut mengikuti irama gendang dari orang atau pihak yang diuntungkan dari pengunduran diri Airlangga Hartarto. Hebat kan, skenario yang mereka buat? Publik amat tidak memercayai bahwa Airlangga mundur atas kehendak hatinya sendiri. Masalahnya, beberapa hari sebelum ia mundur, bersama Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan, kader Partai Golkar, secara berbarengan meminta kepada siapa pun agar tidak mengintervensi Partai Golkar. Munas partai tersebut tetap pada Desember 2024. Jangan melakukannya sebelum Desember, kata mereka berdua. Maka, amat sah persangkaan bahwa pengunduran diri Airlangga karena ada desakan kekuasaan yang menindihnya. Ia tak mampu melawan tekanan kekuasaan tersebut. Bagaimana tidak, ia seorang Menko sekaligus seorang pimpinan partai besar. Kalau bukan titah tahta kekuatan kuasa yang amat dahsyat, bagaimana mungkin Airlangga mengundurkan diri. Tak ada krisis dalam partainya. Ia malah berprestasi, meningkatkan perolehan suara partainya pada pemilu 2024. Pada Pemilu 2024, Golkar memperoleh 23.208.654 suara Pileg DPR (15,29 persen), naik dibanding perolehan Pemilu 2019 sebesar 17.229.789 suara (12,31 persen). Apa pun motif di belakang pengunduran diri Airlangga, semuanya berawal dari kerakusan kekuasaan. Ada-ada saja orang atau pihak yang mau merebut kepemimpinan Partai Golkar untuk melanggengkan kekuasaan yang sudah dimilikinya. Partai Golkar harus direbut karena selain perolehan suaranya amat besar, partai ini secara konsisten untuk beberapa dekade, selalu bertengger di papan tiga besar. Sebuah potensi yang amat menggiurkan untuk digunakan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Beredar kabar, pada Sabtu, 10 Agustus 2024, sore hari, Airlangga didatangi seseorang dan membawa dua lembar surat. Pertama, surat soal pemanggilan pemeriksaan dari Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya. Tempat Airlangga akan digeledah esok paginya. Surat kedua, draft pengunduran diri yang harus dia laksanakan pada Sabtu itu juga. Seperti dikutip Kompas , Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar tidak membantah saat ditanya soal surat pemanggilan yang dikirimkan kepada Airlangga terkait kasus izin ekspor minyak sawit mentah dan turunannya. Namun, ia tak memberikan penjelasan lebih lanjut. Ia hanya menegaskan, tidak ada politisasi, karena penanganan perkara didasarkan pada pembuktian. “Penanganan perkara juga tidak berkaitan dengan kepentingan politik melainkan murni penegakan hukum,” ujarnya. Skenario yang sama, pernah dialami oleh Airlangga setahun lalu. Ketika itu, ia diperiksa di Kejaksaan Agung RI dalam ikhwal impor. Sontak saat tersebut, Airlangga langsung mengurungkan niat menjadi calon presiden atau wakil presiden. Sebuah mimpi yang telah ia rawat sekian lamanya bersama para kader Partai Golkar. Ia mengubur mimpi indahnya, dan menyerahkan peluang tersebut ke Gibran Rakabuming Raka, seorang anak muda yang sama sekali bukan kader Partai Golkar, tetapi anak presiden. “Tak percaya tapi nyata.” Mengapa partai kuning ini harus direbut sekarang? Ini menyangkut agenda pembentukan kabinet pada 21 Oktober 2024 mendatang. Merebut partai ini, sama dengan memiliki kendaraan nyaman untuk merebut kuasa. Maka siapa pun yang terlibat memaksakan keinginan agar Airlangga mundur, maka ia atau pihak-pihak tersebut memiliki syahwat kuasa yang amat besar. Motif lain, ada orang atau pihak yang mungkin harus dibentengi oleh partai politik besar untuk tidak digoyang ke depan. Sebab mungkin orang tersebut bakal berkuasa, tapi rentan di atas tahta karena ia tidak memiliki partai politik yang bisa melindunginya. Ada semacam kekhawatiran pada dirinya ( vulnaribility ) sebab bisa jadi ia amat sadar, dalam proses naik pentas kekuasaan, segala cara-cara kotor dilakukannya. Biasanya memang, semua yang berbuat kotor itu, tidak pernah hidup tenang. Kekotorannya selalu menjadi bayangan hantu buat dirinya. Di sini berlaku prinsip, sekali berbohong dan berlaku curang, maka kebohongan dan kecurangan berikut pasti datang dan dilakukan lagi. Bohong dan ketidakjujuran selalu dicuci dengan kebohongan dan ketidakjujuran baru. Terlepas dari latar belakang pengunduran diri Airlangga yang mendadak dan menimbulkan rentetan keraguan tentang keikhlasannya untuk mundur, demokrasi di republik kita kini, sedang sekarat. Demokrasi yang mulai tumbuh dan kita pelihara sejak era reformasi seperempat abad silam, kini sedang mengerang rasa sakit yang tak terperikan. Kini, demokrasi di negeri ini sedang sakratul maut. Mengapa? Fondasi utama demokrasi itu, antara lain, adanya kebebasan dan penghargaan pada hak asasi manusia, partisipasi mengontrol jalannya kekuasaan, adanya pemilihan umum secara berkala, dan adanya partai politik yang menjadi instrumen rakyat menyalurkan aspirasinya. Sementara, partai politik akan memerankan dirinya sebagai pilar utama demokrasi, manakala ia memiliki kemandirian, tidak bisa diintervensi oleh titah penguasa. Partai politik berperan menjadi pemelihara demokrasi manakala tangan-tangan kekuasaan tak berani menyentuhnya. Partai politik akan berperan sebagai penyubur demokrasi bila para anggota dan pengurusnya tidak dijadikan anak suruhan kekuasaan. Partai politik menjadi mesin penarik gerbong demokrasi bila ia ditakuti oleh kekuasaan. Bukannya takut dan tunduk pada kekuasaan. Singkatnya, kemandirian dan otonomi partai politik menjadi napas dari demokrasi. Memaksakan kehendak dan mendesakkan keinginan secara sepihak terhadap partai politik, sama dengan membawa demokrasi ke pemakaman. Kasus pengunduran diri Airlangga sebagai Ketua Umum Partai Golkar, menunjukkan peta jalan menuju ke pemakaman demokrasi di negeri ini. Bila hari ini Partai Golkar ditaklukkan dengan titah tahta kuasa, maka esok atau lusa, giliran partai politik lain akan mengalami nasib serupa. Kemandirian dan otonomi partai politik telah dikubur secara sempurna.   Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: negatif (97%)