Sentimen
Negatif (100%)
12 Jul 2024 : 07.47
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Indonesia

Kasus: pembunuhan, HAM

Revisi UU Polri, Kekhawatiran akan Meluasnya Kewenangan Polisi Terkait Siber dan Intelijen Nasional 12 Juli 2024

12 Jul 2024 : 07.47 Views 98

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Revisi UU Polri, Kekhawatiran akan Meluasnya Kewenangan Polisi Terkait Siber dan Intelijen Tim Redaksi JAKARTA, KOMPAS.com - Tugas polisi yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri dikhawatirkan tumpang tindih dengan lembaga lain. Adapun Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menggelar dengar pendapat publik menindaklanjuti RUU TNI dan Polri, Kamis (11/7/2024). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto mengaku diberi pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengawal RUU TNI dan Polri. Hadi juga mendapatkan instruksi Jokowi agar pembahasan RUU TNI dan Polri dilakukan dengan hati-hati. “Sesuai dengan arahan Bapak Presiden yang menginstruksikan agar pembahasan RUU dilakukan dengan hati-hati, tidak bertentangan dengan konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Hadi yang didapuk sebagai pembicara kunci pada acara bertajuk “Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri” di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Jokowi juga berpesan agar RUU TNI/Polri harus memiliki argumen yang kuat sehingga bisa diterima publik dan masyarakat. "Selayaknya sebilah pedang, penyusunan RUU TNI dan RUU Polri juga harus melalui tempaan dan pengasahan yang matang agar dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjawab tantangan dalam bidang pertahanan negara, keamanan, ketertiban masyarakat, serta penegakan hukum,” tutur Hadi. “Saya memahami kenapa kemudian teman-teman sangat resah dengan pasal ini,” kata Harkristuti dalam paparannya. Menurut Harkristuti, definisi ruang siber sangat luas. Kegiatan zaman sekarang, kata dia, kebanyakan terpantau dalam ruang siber. "Karena kita melihat rumusannya sangat luas, buat saya perlu dibatasi. Jangan sampai menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan publik. Jadi perlu dicatat dengan teliti sejauh mana irisan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo),” kata Harkristuti. Guru Besar Universitas Indonesia (UI) itu juga menyoroti Pasal 16, di mana polisi bisa “melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri”. Dengan catatan, Polri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi. Menurut Harkristuti, pasal tersebut berpotensi membatasi kebebasan berekspresi. Kekhawatiran yang sama diungkapkan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur. Isnur berpandangan, Pasal 16 rentan digunakan untuk disalahgunakan atau abuse. “Potensi sangat mengecilkan ruang kebebasan berpendapat, akan membatasi ruang ekspresi publik termasuk di bagian isu pemerintahan,” kata Isnur. “Ketika aparat menganggap, ‘Wah ini kritik nih, membahayakan pemerintah nih”, langsung bisa dibatasi, dilambatkan, ditutup. Membatasi ruang berekspresi,” ujarnya. Isnur pun khawatir tugas Polri dalam membatasi atau menutup ruang siber itu tumpang tindih dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). “Pertanyaannya, fungsi BSSN mau diapain? Bukannya seharusnya di sana dimaksimalkan? Gimana cara mendorong peran BSSN menjadi maksimal untuk mengkoordinir berbagai kementerian,” kata Isnur. Menurut Isnur, penggalangan intelijen tersebut akan menempatkan Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri melebihi lembaga lain yang mengurus intelijen. “Ketika ada kata-kata penggalangan di situ, maka targetnya mempengaruhi sasaran dengan tujuan mengubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan (intelijen),” kata Isnur. Isnur khawatir, kasus serupa seperti pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib, kembali terjadi. Dalam persidangan, disebutkan bahwa kematian Munir akibat penggalangan intelijen. “Saya khawatir, di masyarakat sipil, kami sangat trauma dengan peristiwa Munir,” kata Isnur. “Bagaimana Munir itu, di ruang sidang, dia ditemukan bagian dari operasi penggalangan (intelijen),” ujar Isnur. Isnur juga mengatakan, penggalangan intelijen oleh Polri itu berpotensi tumpang tindih dengan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), atau intelijen lain di kementerian/lembaga. “Maka ini konflik kepentingan dengan BIN, BSSN, Bais TNI dan juga termasuk dengan kementerian lainnya. Dan definisi penggalangan intelijen enggak ada, apa definisinya?” kata Isnur. Harkristuti mengatakan, dalam konteks penggalangan intelijen, definisi ancaman itu sangat luas sekali. “Ancaman itu sangat luas sekali, termasuk keberadaan kegiatan orang asing guna mengamankan kepentingan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Sampai mana batasnya? Karena ancaman itu sangat luas,” ujar dia. Harkristuti juga menyoroti tugas pemeriksaan aliran dana oleh polisi dalam RUU Polri. Tugas Polri memeriksa aliran dana tercantum dalam Pasal 16B Ayat 1 yang mengatur tentang kegiatan pengumpulan informasi dan bahan keterangan dalam rangka tugas Intelkam Polri. Pasal 16B Ayat 1 huruf b disebutkan,“pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi”. “Ini buat saya juga agak membahayakan, pemeriksaan aliran dana. Lho, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dikemanain?” ujar Harkristuti. “Yang lain bagaimana? Karena tidak ada batasannya, dapat merambah ke kewenangan lembaga lain yang berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakpastian hukum,” kata dia. Tugas tambahan Polri itu, lanjut Harkristuti, berpotensi seseorang atau suatu lembaga diperiksa oleh berbagai lembaga lain. “Yang buat saya ini sangat mencemaskan masyarakat. Sudah disuruh, didatangi, kemudian harus menjawab pertanyaan dari berbagai lembaga untuk isu yang sama. Nah akhirnya menimbulkan keresahan publik,” ucap Harkristuti. Harkristuti juga menyoroti tugas penyadapan yang tercantum dalam Pasal 14. Ia menggarisbawahi bahwa Indonesia belum memiliki UU tentang penyadapan. “Bahwa dalam berbagai UU ditemukan tentang penyadapan dan diberi kewenangan kepada polisi, boleh-boleh saja. Tetapi bukan berarti boleh menyadap semuanya. Sekali lagi, kita belum punya UU penyadapan,” kata dia. “Apa yang ditanyakan sudah masuk dalam pembahasan. Oleh sebab itu, kami hadirkan kementerian/lembaga, masyarakat untuk memberikan masukan agar UU atau RUU perubaban Polri nanti ini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, apabila organisasi ini dikembangkan,” kata Hadi kepada awak media di Hotel Borobudur, Kamis. Hadi menekankan bahwa pemerintah tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan formil pembentukan Undang-Undang. Ia juga diberi pesan Presiden Jokowi untuk hati-hati dalam mengawal RUU TNI-Polri. “Namun, yang paling penting adalah mendorong dan memastikan substansi materi muatan RUU TNI dan RUU Polri mampu menjawab kebutuhan masyarakat dengan mengoptimalkan tugas dan fungsi TNI dan Polri,” tutur Menko Polhukam. Oleh sebab itu, Kemenko Polhukam mengadakan dengar pendapat publik dengan mengundang berbagai perwakilan masyarakat yang terdiri dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta lembaga terkait. Pemerintah, kata Hadi, berharap mendapatkan berbagai perspektif terkait substansi RUU TNI dan RUU Polri, baik pendapat pro maupun kontra. “Pelibatan masyarakat ini dilakukan oleh pemerintah sejak dini yaitu sebelum dimulainya penyusunan daftar inventaris masalah (DIM) sebagai pondasi awal dalam pembahasan yang akan dilakukan pada jajaran internal pemerintah,” ujar Hadi. Namun, di sisi lain, Isnur mempertanyakan mempertanyakan Surat Presiden (Surpres) RUU sudah Polri terbit sebelum ada daftar inventarisasi masalah (DIM) atau kajian. “Mengapa sudah ada Surpres sebelum ada kajian/DIM versi pemerintah dan mewakili pertimbangan kementerian/lembaga terkait?” kata Isnur. Isnur mengaku kaget ketika diundang acara “Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri”, tetapi, di sisi lain Supres sudah terbit. “Saya juga kaget, tiba-tiba diundang di forum ini, tiba-tiba Surpres duluan? Saya tanya ke Pak Menko Polhukam (Hadi Tjahjanto), bisa enggak forum ini forum yang berdampak dan bermanfaat?” kata Isnur. Isnur juga mempertanyakan proses pembahasan RUU Polri lewat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. “Bukankah kepolisian adalah ranahnya pemerintah? Yang lebih tahu permasalahan, bagaimana dinamikanya, ada pemerintah,” kata Isnur. “Mengapa dilewatkan prosedur standar yang tadi sudah baik di level komunikasi antar kementerian/lembaga? Mengapa di DPR, tidak ada pelibatan publik seperti ini? Kok tiba-tiba muncul langsung disahkan (sebagai prioritas),” ujar Isnur. Kemenko Polhukam membuka hotline atau saluran siaga untuk menampung masukan dari masyarakat soal RUU TNI dan Polri. Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo mengatakan, hotline itu untuk mempermudah masyarakat menyampaikan saran. "Untuk mempermudah masyarakat yang tidak berkesempatan hadir baik langsung maupun virtual untuk menyampaikan saran dan masukan secara tertulis," kata Sugeng. Hotline dengan nomor Whatsapp 08111177283 dan email: [email protected] . Kemudian, subjek Whatsapp atau email “RUU TNI/Polri_Masukan”. Sugeng mengatakan, Pasal 96 UU Pembentukan Perundang-Undangan mensyaratkan partisipasi masyarakat, yakni hak untuk didengar pendapatnya; hak untuk dipertimbangkan pendapatnya; dan hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. “Setelah kegiatan dengar pendapat publik, pemerintah akan mengagendakan penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) kedua RUU tersebut, dan hasil kegiatan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan kedua RUU tersebut,” kata Sugeng. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: negatif (100%)