Komisi XI DPR Sebut Pelemahan Rupiah Dapat Berimbas terhadap Kenaikan Utang Negara
Beritasatu.com
Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, Beritasatu.com - Komisi XI DPR menilai bila pelemahan nilai tukar rupiah terus terjadi maka akan berimbas terhadap kenaikan utang pemerintah. Pasalnya ada utang pemerintah yang saat ini masih dalam bentuk valuta asing. Saat nilai tukar rupiah anjlok maka realisasi utang yang harus dibayar pemerintah dapat melonjak.
Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati mengatakan, saat ini dunia sedang berada dalam tren suku bunga tinggi (higher for longer) yang dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya penguatan dolar AS dan membuat mata uang negara berkembang termasuk Indonesia melemah.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI per Rabu (3/7/2024), tercatat nilai tukar rupiah sebesar Rp 16.387 per dolar AS.
“Utang kita kan dalam bentuk mata uang asing, otomatis misalnya mata uang asing menguat maka utang kita juga akan tinggi naiknya. Kami terus memantau karena bagaimanapun tugas BI (Bank Indonesia) menstabilkan nilai tukar rupiah,” ucap Anis di kompleks parlemen pada Rabu (3/7/2024).
Sementara itu, jumlah utang pemerintah hingga 31 Mei 2024 mencapai Rp 8.353,02 triliun atau dengan rasio utang 38,71% terhadap produk domestik bruto (PDB). Komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa SBN yang mencapai Rp 7.347,5 triliun (87,96%) dan pinjaman sebesar Rp 1.005,52 triliun (12,04%). Komposisi SBN terbagi dalam SBN domestik sebesar Rp 5.904,64 triliun (70,69%) dan valuta asing (valas) sebesar Rp 1.442,85 triliun (12,04%).
SBN domestik meliputi surat utang negara sebesar Rp 4.705,24 triliun dan surat berharga syariah negara senilai Rp 1.119,4 triliun. SBN valas terbagi dalam surat utang negara sebesar Rp 1.086,55 triliun dan surat berharga syariah negara senilai Rp 356,3 triliun.
Sedangkan realisasi pinjaman sebesar Rp 1.005,52 triliun terbagi dalam pinjaman dalam negeri sebesar Rp 36,42 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 969,1 triliun. Bila dirinci pinjaman luar negeri meliputi bilateral senilai Rp 265,83 triliun, multilateral senilai Rp 584,65 triliun, dan bank komersial sebesar Rp 118,62 triliun.
Anis menjelaskan bahwa upaya menjaga stabilitas rupiah harus dilakukan secara sinergis antara otoritas fiskal dan moneter. Pihaknya sebagai lembaga legislatif konsisten mengawasi kinerja BI dalam menjaga stabilitas mata uang Garuda.
“Ini perlu usaha keras semua pihak, Komisi XI terus memantau pergerakan nilai tukar rupiah dan kami terus memantau bagaimana BI menjaga nilai tukar rupiah,” jelas Anis.
Dia mengatakan tekanan ekonomi global yang terjadi saat ini turut memengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah. Namun BI juga konsisten melakukan intervensi dan mengoptimalkan sejumlah instrumen dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
“Kami ingin rupiah bisa kembali stabil, mudah-mudahan di akhir tahun ini sudah bisa kembali ke Rp 15.000 dan tahun depan juga bisa di kisaran Rp 15.000,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie Othniel Frederic Palit berharap, nilai tukar kembali ke Rp 15.900 di akhir tahun 2024 nanti. Menurut dia , BI konsisten menjaga stabilitas rupiah di pasar keuangan domestik. Saat terjadi pelemahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak terhadap kinerja perdagangan.
“Kita harus lihat juga kondisi ekspor impor, kalau rupiah menguat itu akan menguntungkan importir, tetapi kalau melemah menguntungkan eksportir nah ini kan harus cari titik seimbangnya,” kata Dolfie.
Sentimen: positif (95.5%)