Sentimen
Positif (98%)
15 Sep 2024 : 07.00
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Amsterdam

Sudahkah Benar-benar Berbicara dengan Orang Papua?

15 Sep 2024 : 07.00 Views 7

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Sudahkah Benar-benar Berbicara dengan Orang Papua?

JIKA kita kembali ke belakang, merenungkan dengan hati yang tulus dan bersih tentang perjalanan sejarah Papua dan mengapa urusan Papua tidak pernah selesai hingga hari ini, saya yakin, kita akan sangat memahami dan menyadari bahwa nyaris tidak satupun keputusan dan kebijakan tentang Papua yang telah diambil selama ini, dibicarakan dengan orang Papua.

Keputusan dan kebijakan-kebijakan nasional tentang Papua dilahirkan di ruang-ruang yang tak dihadiri oleh orang Papua.

Dibuat berdasarkan asumsi yang dibangun dengan arogansi "Ke-Jakarta-an" di satu sisi dan disusun berdasarkan spirit bahwa orang-orang pintar di Jakarta jauh lebih mengetahui keadaan dan kebutuhan orang Papua ketimbang orang Papua sendiri.

Sehingga lahirlah berbagai macam model "political dan social engineering" yang dipaksakan dari atas melalui struktur-struktur kekuasaan yang karakternya nyaris tidak pernah berubah semenjak era kolonial dulu.

Jadi penyelesaian Papua yang tak pernah kunjung selesai terkendala oleh dua hal besar, yakni model pemikiran (mindset) dalam memandang Papua di satu sisi dan praktik kekuasaan dari atas sampai ke bawah yang tak pernah berubah di sisi lain.

Keputusan untuk membicarakan urusan Papua Barat di luar perjanjian Meja Bundar tahun 1949 misalnya, adalah keputusan bersama antara Penjajah (Belanda) dan Jakarta (New Independent State).

Jakarta bersikeras bahwa Papua adalah bagian yang harus diintegrasikan ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), meskipun pada awalnya Bung Hatta sang Proklamator sendiri pernah berpandangan bahwa Papua semestinya bukan menjadi bagian dari NKRI karena faktor perbedaan ras.

Namun Bung Hatta sendirian kala itu, sehingga harus menerima pandangan mayoritas elite di Batavia bahwa Papua adalah bekas wilayah jajahan Belanda yang harus diintegrasikan ke dalam NKRI.

Sementara di sisi lain, Belanda memandang bahwa Papua Barat masih menjadi lahan penjajahan yang patut mereka pertahankan, karena investasi yang telah mereka gelontorkan di sana dan prospek kekayaan Papua tak terhingga yang terdapat di tanah Papua.

Sebagaimana dengan apik diceritakan oleh Greg Poulgrain, dalam buku "JFK vs Allen Dulles. Battleground Indonesia", bahwa Belanda dan sebagian faksi di CIA; kader-kader Allen Dulles, telah mengetahui hasil riset tentang potensi emas di Papua, sehingga penolakan Belanda untuk memasukkan Papua Barat ke dalam perjanjian Meja Bundar di satu sisi dan permisifitas Amerika dalam menyikapi hal tersebut di sisi lain sangat bisa dipahami secara geopolitik dan geoekonomi.

Namun secara teknis, nyatanya orang Papua tak pernah benar-benar diajak berbicara soal nasib daerahnya sendiri kala itu.

Jakarta dan Amsterdam sama-sama berada dalam paradigma kolonial, yang merasa sama-sama berhak dan bertanggung jawab untuk memasukkan Papua ke dalam yuridiksi pemerintahannya, lalu berniat memajukan Papua berdasarkan parameter-parameter yang dibuat di luar Papua, tanpa berbicara dengan orang Papua itu sendiri.

Lalu keputusan untuk mengintegrasikan Papua secara militer ke dalam NKRI setelah pembicaraan soal Papua tidak menemukan ujung yang diinginkan, juga bukan keputusan yang dihasilkan dari pembicaraan "hati ke hati" dengan orang Papua.

Keputusan itu lahir dari Jakarta, atas kehendak Jakarta, dan nampaknya untuk Jakarta juga. Operasi militer dilancarkan untuk membebaskan Papua, begitulah setidaknya cara pandang Jakarta atas persoalan Papua kala itu.

Apakah memang orang-orang Papua ingin dibebaskan, atau ingin tetap bersama "barat", atau bahkan ingin sendiri, tak ada yang benar-benar mengujinya.

Sentimen: positif (98.5%)