Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: BRI
Kab/Kota: bandung
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Satu Dekade Pragmatisme dan Ketergantungan
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2023/10/18/652f0cb40f3de.jpg)
KEBIJAKAN luar negeri Indonesia selama satu dekade di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandai perubahan penting dalam cara negara ini terlibat dengan dunia.
Dengan pendekatan yang lebih fokus pada pragmatisme ekonomi dan diplomasi bilateral, Jokowi mengalihkan arah dari kebijakan luar negeri yang sebelumnya lebih multilateral dan normatif.
Namun, pertanyaan yang semakin mendesak adalah apakah pendekatan ini terlalu mahal, baik dalam hal kedaulatan nasional, kredibilitas internasional, maupun prinsip-prinsip dasar yang selama ini menjadi landasan kebijakan luar negeri Indonesia.
Fokus ekonomi yang mengancam kedaulatan
Sejak menjabat pada 2014, Jokowi menekankan diplomasi ekonomi sebagai poros utama kebijakan luar negerinya.
Melalui proyek infrastruktur besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, yang didanai melalui investasi dan utang dari konsorsium perusahaan Indonesia-China serta China Development Bank, Jokowi berharap bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi domestik.
Namun, ketergantungan pada investasi asing langsung (FDI) dan utang—terutama dari China—menimbulkan pertanyaan serius mengenai kedaulatan ekonomi dan risiko geopolitik yang mungkin timbul.
Proyek Belt and Road Initiative (BRI) China di Indonesia, meskipun menjanjikan pembangunan infrastruktur yang sangat dibutuhkan, juga memperlihatkan dinamika ketergantungan yang tidak seimbang.
Dengan kondisi utang yang tinggi dan meningkatnya kontrol China dalam proyek-proyek strategis, Indonesia menghadapi risiko jatuh ke dalam "jebakan utang" yang dapat mengurangi kemampuan negara untuk menjaga kemandirian dalam kebijakan luar negeri dan ekonomi.
Ketergantungan ini juga membuat Indonesia lebih berhati-hati dalam merespons pelanggaran kedaulatan oleh China di Laut Natuna Utara, di mana kapal-kapal China kerap melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Jokowi memang melakukan beberapa langkah untuk mempertahankan kedaulatan di Laut Natuna Utara, seperti mengganti nama wilayah tersebut menjadi "Laut Natuna Utara" dan meningkatkan patroli militer. Namun, langkah-langkah ini dinilai tidak cukup tegas menghadapi agresi maritim China.
Pendekatan berhati-hati yang diambil Jokowi dianggap sebagai upaya untuk menjaga hubungan ekonomi yang menguntungkan dengan China, tetapi juga menandakan kelemahan diplomatik dalam mempertahankan klaim kedaulatan.
Ini berbeda dengan Vietnam atau Filipina yang lebih konfrontatif dalam merespons klaim dan tindakan provokatif China, bahkan dengan risiko merenggangkan hubungan ekonomi.
Taktik berhati-hati Jokowi, meski mencerminkan realisme pragmatis dalam politik internasional, juga menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia telah mengorbankan kedaulatannya demi keuntungan ekonomi jangka pendek.
Pendekatan ini tidak hanya melemahkan posisi tawar Indonesia di kawasan, tetapi juga mengirim pesan ambigu kepada sekutu regional dan internasional tentang komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip hukum internasional, seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Navigasi di tengah persaingan AS-China
Di tengah persaingan kekuatan besar antara Amerika Serikat (AS) dan China di Asia-Pasifik, posisi Indonesia berada di persimpangan yang rumit.
Sentimen: negatif (96.9%)