Sentimen
Negatif (100%)
27 Jun 2024 : 06.36
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Mojokerto

Kasus: teror

Basmi Judi Online: Urgen Penindakan, Bukan Pencegahan

27 Jun 2024 : 06.36 Views 1

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Basmi Judi Online: Urgen Penindakan, Bukan Pencegahan

JUDI online diduga menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan seorang polisi di Mojokerto, Jawa Timur, tewas terbakar di tangan istrinya sendiri yang juga seorang Polwan.

Peristiwa menyedihkan ini terjadi pada Sabtu, 8 Juni 2024, setelah tersangka Briptu FN mendapati uang gaji ke-13 suaminya tinggal Rp 800.000 dari seharusnya Rp 2,8 juta.

Kepolisian Daerah Jawa Timur mengungkap motif Briptu FN yang diduga membakar suaminya Briptu RDW, anggota Polri di Mojokerto.

Kasus pembakaran suami ini hanya satu ekses negatif-destruktif di antara jutaan penjudi online yang ada di negeri ini.

Kasus ini mengandung sejumlah imbas destruktif, mulai dari peralihan pendapatan resmi penggunanya ke operator judi online di mana sebelumnya pendapatan tersebut semestinya digunakan untuk kepentingan rumah tangga, sampai pada imbas ekstrem destruktif lainnya di mana akhirnya terjadi kekerasan di dalam rumah tangga merenggut nyawa penjudi online itu sendiri.

Tentu imbasnya jauh lebih buruk lagi secara ekonomi jika pelakunya ternyata bukan seorang aparat atau pejabat yang memilki pendapatan tetap.

Apa yang terjadi jika judi online dilakukan oleh pekerja ojek online, pekerja freelance, mahasiswa dan pelajar yang masih bergantung secara ekonomi dan banyak hal kepada orangtuanya, atau oleh pekerja di sektor nonformal lainnya yang penghasilannya jauh di bawah pendapatan minimal pekerja normal.

Imbasnya tentu akan menjadi sangat destruktif lagi. Pendapatan mereka akan tergerus, lalu berpotensi memerangkap mereka ke dalam jebakan baru, yakni pinjaman online, yang akhirnya semakin memangkas pendapatan keluarga.

Bahkan bisa berakibat gagalnya sekolah anak-anak mereka, menurunnya tingkat nutrisi makanan yang dikonsumsi keluarga, dan mendorong mereka jatuh ke bawah garis kemiskinan.

Bagi mahasiswa dan pelajar, jeratan judi online bisa membuat proses perkuliahan dan sekolah terhenti, karena terjebak ke dalam siklus kebohongan yang akut di mana dana untuk biaya kuliah dan sekolah dipakai untuk berjudi online.

Atau terjebak ke dalam jeratan pinjaman online (pinjol) yang membuat mahasiswa dan pelajar khawatir lalu tidak bersedia lagi datang ke sekolah karena takut menemui debt collector dari perusahaan pinjaman online yang datang dengan aneka teror untuk menagih.

Lebih dari itu, mahasiswa dan pelajar juga akan berpotensi terlibat ke dalam rentetan kebohongan baru kepada keluarganya dengan lahirnya mata anggaran baru dan fiktif yang mereka tagihkan kepada orangtua mereka atas nama proses perkuliahan dan sekolah.

Padahal anggaran baru tersebut akan dipakai untuk berjudi online atau untuk membayar cicilan pinjaman online yang sudah melilit sebagai akibat dari berjudi online.

Mengapa judi online begitu marak? Dari sisi ekonomi, tentu hal itu bisa terjadi karena adanya penawaran. Judi online bisa ada karena adanya bandar dan adanya teknologi yang mengantarkannya ke ponsel penjudi online.

Menurut hemat saya, kesalahan harus diletakkan di pundak penyedia jasa judi online, bukan kepada permintaan yang datang dari masyarakat.

Jika tak ada penawaran yang masuk ke ponsel mereka, meskipun ada potensi permintaan, maka tidak akan ada transaksi. Sesederhana itu saja masalahnya secara makro.

Oleh sebab itu, mengutamakan pencegahan ketimbang penindakan adalah logika yang sungguh keliru.

Baca juga: Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Langsung Sasar Bandar, Prioritaskan Pencegahan

Dengan akutnya kasus judi online dalam beberapa tahun ke belakang, penindakan atas penyedia jasa judi online harus menjadi strategi utama pemerintah.

Menihilnya penawaran atau supply harus menjadi target utama, karena berjudi di Indonesia toh memang dilarang alias ilegal.

Sentimen: negatif (100%)