Anas Urbaningrum Minta Nadiem Koreksi Kenaikan UKT, Bagikan Ceritanya Sebagai Anak Kampung yang Berjuang Kuliah
Fajar.co.id
Jenis Media: Nasional

FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Anas Urbaningrum membagikan ceritanya. Sebagai anak kampung yang berjuang untuk mengentam pendidikan tinggi.
“Pak Menteri @nadiemmakarim mungkin cerita kecil ini ada gunanya untuk pertimbangan terkait kebijakan UKT,” kata Anas memulai ceritanya, dikutip fajar.co.id dari unggahannya di X, Kamis (23/5/2024).
Ia menuturkan, dirinya masuk kuliah tahun 1988, selesai 1992. Persis 8 semester. Tiap semester ia membayar uang kuliahsebesar Rp120 ribu.
“Tidak mahal, tapi tidak murah juga. Tidak semua anak rakyat bisa bayar uang kuliah sebesar itu,” ucapnya.
Jika ditotal, jumlah uang kuliah Anas selama 8 semester Rp980 ribu. Beruntungnya, Anas termasuk peraih beasiswa Supersemar.
“Buat orang kampung, bayar SPP sebesar itu termasuk tidak ringan. Harus ada kenekatan untuk pergi ke Surabaya, hidup sebagai anak kost dengan jatah Rp100 ribu perbulan,” ucapnya.
Waktu itu, harga gabah masih sekitar Rp300 ribu. Biaya kuliahnhaSejumlah 980 ribu rupiah itu sebagian adalah dari hasil jual gabah.
Jika harga gabah sekarang 7 ribu rupiah, angka UKT yang setaraf waktu itu adalah 120 ribu dikalikan 23. Berarti 3,3 juta rupiah.
Dia menulis di kora sejak semester 3, sehingga punya penghasilan tambahan setidaknya Rp75 ribu tiap bulan. Kadang lebih karena tulisan nongol di beberapa koran.
“Sebagai mahasiswa, penghasilan dari honor tulisan sangat membantu. Kuliah lancar, kegiatan non kuliah juga berjalan baik,” ujarnya.
Ia tak habis pikit, jika UKT sekarang lebih dari Rp3,3 juta rupiah pe rsemester, dan uang bulanan sebagai anak kost sekitar 2 juta rupiah (20 x 100 ribu).
“Keluarga kampung level apa yang bisa mengirim anaknya kuliah. Belum lagi kalau UKT sampai belasan juta atau bahkan puluhan juta. Orang kampung kebanyakan pasti sudah ngeri lihat angkanya,” ucapnya.
Anas bilang, mahasiswa kampus tahun 70-an dan 80-an pasti ceritanya lebih bernada “kepahitan”, “kenekatan” dan “keserderhanaan”. Yang penting berani daftar, nekat kuliah apapun kesukaran yang dihadapinya.
Tetapi menurutnya, memang proses tersebut yang membuat para anak kampung bisa memperbaiki nasib, termasuk keluarganya. Mereka pula yang berkontribusi besar karena kemudian mengisi birokrasi, jalur politik, akademis-intelektual, aktivis advokasi dll.
“Anak-anak rakyat inilah yang terbantu akses pendidikan tinggi oleh negara yang bikin kebijakan SPP relatif terjangkau,” imbuhnya.
Outputnya, kata dia, adalah orang-orang terdidik yang ikut menjadi turbin penggerak perubahan sosial, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
“Orang-orang di kampus dan di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk di Kementerian yang dipimpin Pak @nadiemmakarim juga sekarang ini adalah produk dari kebijakan lama yang agak “ramah biaya” itu,” bebernya.
Di tengah kenaikan UKT saat ini, akses pendidikan tinggi dinilainya akan makin sempit bagi anak-anak orang biasa. Anak-anak rakyat akan terkena “tersierisasi” pendidikan tinggi.
“Kampus akan lebih ramah bagi kalangan berada. Anak-anak dari orang-orang yang “kurang ada” akan makin kecil kesempatannya. Ini adalah tragedi!” ucapnya.
Karenanya, ia meminta Menteri @nadiemmakarim, meninjau ulang kenaikan UKT. Apalagi argumentasi yang disampaikan Nadiem soal kenaikan UKT, dinilainya bukanlah sebuah argumen.
“Jadi, tolong kebijakan ini dikoreksi. Kembalikan pada semangat pendidikan tinggi “untuk semua”, bagi sebanyak mungkin anak rakyat Indonesia. Itu makna pendidikan yang merdeka dan membebaskan,” pungkasnya.
(Arya/Fajar)
Sentimen: negatif (96.2%)