Sentimen
Positif (96%)
8 Mei 2024 : 04.41
Informasi Tambahan

Event: Ramadhan

Institusi: UNPAD

Tokoh Terkait

Kabinet ‘Gemoy’ Prabowo-Gibran Digadang Punya 41 Kementerian, Apa Urgensinya?

8 Mei 2024 : 04.41 Views 30

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Kabinet ‘Gemoy’ Prabowo-Gibran Digadang Punya 41 Kementerian, Apa Urgensinya?

PIKIRAN RAKYAT - Pelantikan Presiden terpilih Prabowo Subianto baru akan digelar pada Oktober 2024. Namun, untuk membantu melaksanakan jalannya pemerintahannya selama lima tahun, para pembantu presiden atau menteri mulai ramai jadi perbincangan. Siapa, dari mana, dan akan menentukan posisi di kementerian mana, sudah jadi bahan tebak-tebakan.

Muncul rekomendasi dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara (APHTN) untuk menambah jumlah kementerian hingga 41 kementerian. Sementara dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sudah diatur tentang kementerian tersebut.

Apakah rencana penambahan kementerian ini memang karena kebutuhan? Ataukah pembentukan kementerian baru itu semata-mata ditujukan untuk posisi dari mereka yang berjasa membantu keterpilihan presiden?

Dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, disebutkan bahwa menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sehingga dengan demikian menteri-menteri itu harus bertanggung jawab kepada Presiden.

Hak presiden tersebut sering kali disebut hak prerogatif. Atau hak istimewa (privilege) yang dimiliki presiden, ketika memilih, mengangkat, dan memberhentikan pembantunya tanpa intervensi pihak lain.

“Kalau ceritanya penambahan kementerian untuk mengisi jabatan bagi pendukung Presiden, namanya political trade off. Ini malah sudah menjadi kelaziman di kabinet kita,” ujar pengamat politik Universitas Padjadjaran Firman Manan ketika dihubungi kontributor Pikiran Rakyat Dewiyatini pada Senin, 6 Mei 2024.

Firman mengingat koalisi akan semakin gemuk setelah KPU mengumumkan penetapan pemenang pemilihan presiden, sehingga secara politik harus diakomodasi oleh presiden terpilih. Koalisi yang semula hanya diisi oleh Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat, jadi makin ‘gemoy’ setelah NasDem dan PKB merapat. Belum lagi ada peluang PKS memberi sinyal merapat, Prabowo perlu mengakomodasi mereka di kabinet.

“Ini makin problematik, karena berdasarkan pengalaman, mereka yang mengisi pos-pos itu orang-orang yang tidak memiliki kompetensi, rekam jejak sesuai bidangnya, dan integritas. Sehingga tidak heran, banyak menteri yang berakhir di balik jeruji,” ucapnya.

Tidak hanya partai politik, kata Firman, banyak kelompok pendukung yang mesti diakomodasi oleh presiden terpilih. Mereka antara lain tim sukses, relawan, hingga kelompok pengusaha. Dengan menjadikan jabatan pembantu presiden sebagai bagi-bagi jatah, maka pemerintahan kembali dengan pendekatan pragmatis.

“Kalau sudah dengan pendekatan kedekatan, kompetensi, rekam jejak, dan integritas tidak diperhitungkan. Dan sayangnya selama ini, malah dianggap sebagai kelaziman,” kata Firman.

Secara ideal, seharusnya tidak ada perwakilan parpol di kabinet. Namun realitanya, Gerindra, parpolnya Prabowo hanya memiliki 15 persen suara di parlemen. Masih membutuhkan dukungan dari DPR sebesar 50 persen. Kebutuhan ini ditutupi dengan memberikan jatah menteri.

Tidak heran, koalisi membesar. Meski kenyataannya dengan memberikan jatah menteri pada parpol, koordinasi antarparpol tidak berjalan dengan baik. Yang ada menteri-menteri bersaing sehingga tidak membantu presiden menjalankan program-programnya.

Kendati Prabowo sempat menyampaikan akan memilih orang-orang terbaik menduduki jabatan di kementerian, tapi akan sulit karena sistem presidensial multipartai ini. Namun, Prabowo sebagai presiden, mau tidak mau harus membatasi akomodasi parpol ini.

Sementara itu, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan mengaku heran adanya rekomendasi penambahan kementerian dari APHTN. Karena menurut dia, pada 2019, APHTN ini sempat memberikan rekomendasi terkait pembantu eksekutif yang bekerja efektif dan efisien. Ia menyebutkan untuk penambahan kementrian itu haruslah melalui kajian, karena bukan Presiden yang membentuknya.

“Harus ada assessment lebih dahulu. Apa kebutuhannya dan apa negara mampu? Ini dikaitkan dengan keuangan negara dan sumber daya manusianya. Yang jadi pertanyaan, kenapa menjelang pemerintahan baru, baru dibahas,” katanya.

Dalam peraturan perundang-undangan tentang kementerian negara, dibentuk 34 kementerian negara. Hal itu berdasarkan pembagian urusan tertentu yakni ada yang tidak boleh diubah tegas dalam UUD 1945 (dalam negeri, luar negeri, dan pertahanan), ada yang disesuaikan dengan kebutuhan yang ada dalam UUD 1945 (agama, kesehatan, pangan, dan lain-lain), dan ada kementerian untuk penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi (urusan perguruan tinggi).

Peraturan tersebut, kata Nur, memang tujuannya untuk membatasi kekuasaan presiden. Presiden hanya memiliki hak untuk mengisi pos-pos yang sudah ditetapkan di UU kementerian negara.

“Jika memang ingin menambah kementerian ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama dengan mengubah UU yang tentunya melalui proses panjang. Kedua, judicial review ke MK, tapi muncul pertanyaan, se-urgent apa sehingga harus diuji,” ucapnya.

Seharusnya, tentang menteri ini dikembalikan pada konsep tugas pembantu. Menteri itu pembantu presiden yang harus bertanggung jawab penuh terhadap presiden. “Majikannya itu presiden, sehingga ia hanya bekerja pada presiden. Menteri seharusnya tidak boleh memiliki majikan lain. Sehingga seharusnya, yang diperkuat itu larangan rangkap jabatan sehingga menteri fokus pada pekerjaannya membantu presiden,” ujarnya.

Di Pasal 23 UU 39/2008, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai kepala negara, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta, dan pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN dan APBD. Jabatan menteri yang rangkap jabatan dengan ketua parpol, akan membuat menteri tidak bekerja optimal.

Nur menyayangkan yang terjadi saat ini, seperti sedang ada lelang menteri yang dipertontonkan pada publik. Bukan membicarakan program-program pemerintah baru. Yang ada malah membicarakan jatah, hitung-hitungan kursi menteri sesuai besaran jasa terhadap presiden terpilih.

“Jangan jadikan fokus pada hasrat politik, tapi tidak memikirkan kemampuan negara. Itu sebabnya hak prerogatif presiden kudu dibatasi dan diawasi. Jabatan menteri itu untuk membantu kerja presiden, bukan pembagian giliran,” katanya.

Hak prerogatif itu privilege presiden tanpa intervensi. Kalau sudah ada yang ikut campur, tidak lagi jadi privilege. Karena negara demokrasi itu menjunjung tinggi pembatasan kekuasaan.***

Sentimen: positif (96.6%)