Sentimen
Negatif (100%)
30 Apr 2024 : 21.15
Informasi Tambahan

Kab/Kota: bandung, Depok, Garut

Menghadapi Pertanyaan Kapan Punya Anak? Menyoal Kesan 'Kasihan' Terhadap Pejuang Garis Dua

30 Apr 2024 : 21.15 Views 10

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Menghadapi Pertanyaan Kapan Punya Anak? Menyoal Kesan 'Kasihan' Terhadap Pejuang Garis Dua

PIKIRAN RAKYAT - Memiliki anak merupakan salah satu impian dari pasangan yang sudah melangsungkan pernikahan. Namun, belum memiliki anak bukan berarti membuat pasangan suami istri perlu dikasihani.

Seakan tak cukup dengan membandingkan apa yang belum dimiliki satu pasangan dengan pasangan lain, belum memiliki anak tak jarang dianggap sebagai hal yang menyedihkan. Padahal, belum memiliki anak tak berarti pasangan suami istri merasa menderita.

Seperti yang dialami Mutiara Fadilla (27), seorang guru di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Baru menjalani bahtera rumah tangga selama satu tahun, pertanyaan soal kapan dia memiliki anak sudah banyak terlontar.

Baik keluarga hingga teman kerja banyak yang menyinggung masalah momongan. Pertanyaan seperti 'Kapan hamil?', 'kenapa belum hamil?', hingga diminta untuk tak menunda anak sudah menjadi makanan sehari-hari.

"Ya pasti biasanya kalau misalnya udah nanya kapan hamil atau kenapa belum hamil, pasti diterusin sama kalimat 'tuh si itu mah baru nikah udah punya anak', 'tuh si itu mah baru berapa bulan (nikah) udah hamil'," tutur Mutiara Fadilla kepada Pikiran-Rakyat.com.

Awalnya, dia mengaku santai mendapatkan pertanyaan seperti itu. Namun, sekarang rasanya berbeda, karena sudah lebih dari setahun menjalani pernikahan tapi belum juga dikaruniai anak.

Ada rasa sedih setiap Mutiara Fadilla mendapatkan pertanyaan seperti itu. Begitu juga sang suami yang hanya bisa meminta didoakan, setiap ditanya 'kapan punya anak?'. Walau, dalam hati, kesedihan itu tak dimungkiri.

Banyaknya pertanyaan 'kapan punya anak?' didengar pun memberikan dampak yang signifikan bagi pasangan suami istri itu. Suasana yang awalnya bahagia bisa tiba-tiba berubah setelah pertanyaan singkat itu keluar.

"Kayak contohnya waktu kita mau pergi kan udah happy-happy nih mau pergi sama keluarga, tiba-tiba ada yang nyeletuk kayak gitu kan jadi bikin hubungan kita terdampak ya. Kita jadi sedih, yang tadinya mau seneng-seneng," ujar Mutiara Fadilla.

"Terus jadi lebih menghindar dari kumpul-kumpul keluarga, takut ditanya-tanya. Jadi minder juga lihat temen-temen atau temen kerja yang udah atau baru nikah kemarin tapi udah punya anak," katanya menambahkan.

Mutiara Fadilla pun berharap, orang-orang tidak terus-menerus bertanya kapan dia dan suami memiliki anak. Sebab, mereka pun tidak bisa mengatur kapan buah hati itu akan hadir.

"Akan tetapi, jangan dikasihanin juga, kan kita cuma belum dikasih anak aja, bukan berarti harus dikasihanin 'Ih kasihan banget' gak perlu begitu. Keadaan pernikahan aku sekarang tanpa anak juga masih baik-baik aja, dalam arti suami aku tetep setia, sayang sama aku, aku juga tetep sayang sama suami aku. Gak ada yang kurang, kasih sayangnya dia walau pun aku belum hamil," katanya.

"Terus dari segi keuangan juga kita berdua kerja, gak kekurangan, bahkan gak sampai minta-minta ke orangtua. Kenapa belum punya anak ini dijadiin suatu kelemahan yang bikin orang lain karunya ka abi (kasihan sama saya). Padahal mah ya emang belum dikasih anak aja," tutur Mutiara Fadilla menambahkan.

Emang Kenapa Kalau Belum Punya Anak?

Tak jauh berbeda dengan Mutiara Fadilla, Ren Puspita (37) juga sudah kenyang dicecar pertanyaan kapan punya anak sepanjang 11 tahun pernikahannya. Karyawan swasta di Depok, Jawa Barat, itu bahkan sudah lupa seberapa sering orang-orang melontarkan tanya.

Banyak ditanya 'kapan punya anak?' pada saat awal-awal pernikahan, dia mengaku kalimat itu kini sudah jarang terlontar. Paling, hanya orang-orang yang baru dikenal saja yang masih menanyakan hal tersebut.

Meski begitu, Ren Puspita tak menampik bahwa ada memori yang cukup menyakitkan kala ditanya kapan memiliki anak. Namun, dia menyadari banyak orang melontarkan pertanyaan itu dengan maksud yang baik sambil memberikan sejumlah tips.

"Ada sih yang emang jatuhnya menghakimi. Gue pernah ditanya niat hamil atau enggak, dan ini yang ngomong orang terdekat, hehe. Masih gue inget sampai sekarang," ucapnya saat dihubungi Pikiran-Rakyat.com.

Awal-awal mendapat pertanyaan 'kapan punya anak', Ren Puspita mengaku merasa sakit hati. Apalagi, kalimat itu keluar dari orang-orang terdekatnya.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, dia jadi lebih cuek dan santai dalam memberikan jawaban. Tak terlalu emosi, seperti tahun-tahun awal pernikahan.

"Akan tetapi, untuk bisa seperti itu juga butuh proses dan gak mudah. Kalau gue bisa bilang, lama-lama udah seperti mati rasa," ujar Ren Puspita.

Tak jarang pula orang-orang mengasihani, karena dia belum memiliki anak. Padahal, belum memiliki anak bukanlah suatu kondisi yang perlu dikasihani.

"Ini lebih terasa mengasihani ya, di mana gue sebenarnya ga suka dikasihani. Kayak memangnya kenapa kalau belum ada anak hehehe. Tapi karena yang ngomong biasanya orang tua, ya diiyain aja setelah itu tinggal alihkan bahas yang lain," kata Ren Puspita.

Akibat dari seringnya ditanya kapan punya anak, dia pun mengaku jadi malas menghadiri berbagai pertemuan. Dia juga membatasi interaksi dengan orang sekitar, agar tak banyak mendapatkan pertanyaan semacam itu.

"Dampaknya sih ada, jadi males ikut acara keluarga atau acara RT. Karena kalau di acara RT tuh pada bawa anak, sementara gue gak bawa siapa-siapa hahaha. Interaksi sama tetangga ya seperlunya aja," tutur Ren Puspita.

Faktor Penentu Kehamilan

Dokter Kandungan, dr Indri Budiarti menjelaskan bahwa dari segi medis, penentu paling utama seorang perempuan bisa hamil adalah dilihat dari siklus menstruasi atau haid mereka. Apakah siklusnya teratur atau tidak.

Selama siklus menstruasinya teratur, aktivitas seksual dilakukan setiap dua hari, dan tidak memakai KB, maka perempuan tersebut dianggap subur. Namun, apa pun penyebabnya, jika sampai mengganggu siklus menstruasi, akan berpengaruh pada kesuburan.

Dalam menentukan kesuburan pun tidak hanya dilihat dari persoalan pihak perempuan. Pihak laki-laki juga harus menjalani pemeriksaan terkait masalah tersebut.

"Kalau faktor perempuan, yang pasti apakah dia ovulasi atau keluar sel telur setiap bulan. Dilihatnya dari apa? ya dari siklus haidnya. Kalau dia haid setiap bulan dengan jarak misalnya siklus dari hari pertama haid ke hari pertama haid berikutnya antara 21-35 hari, kita anggap subur. Durasi haidnya mungkin sekitar 5-7 hari," tutur dr Indri Budiarti.

"Kemudian dia bisa menstruasi, artinya apa? Saluran dari rahim, mulut rahim, vaginanya terbuka," ucapnya menambahkan.

Akan tetapi, berbeda dengan perempuan, kesuburan pada laki-laki lebih sulit untuk diperiksa. Sebab, harus ada proses pemeriksaan apakah ada sperma atau tidak di dalam tubuh laki-laki.

"Itu enggak bisa dilihat dengan apakah spermanya kental atau encer. Itu gak bisa begitu, karena harus bener-bener diperiksa. Karena kekentalan/keenceran sperma itu tergantung bagaimana proses yang ada di dalam badan si laki-laki ini. Nanti ada kelenjar-kelenjar yang mengeluarkan cairan, tujuannya untuk menjadi media penggeraknya dari si sperma," ujar dr Indri Budiarti.

"Sekarang persoalannya, medianya udah ada, tapi spermanya ada atau tidak? Nah biasanya laki-laki itu kita harus analisa sperma. Jadi diambil ke laboratorium, dilihat berapa persen sperma yang masih baik, berapa persen sperma yang cacat," ucapnya menambahkan.

Dosen Fakultas Kedokteran Unisba Bandung itu pun menekankan bahwa semakin besar kecacatan sperma laki-laki, maka semakin kecil kemungkinan pasangannya untuk hamil.

"Karena sel telur juga walau pun dia hanya dibuahi oleh satu sperma, tapi sebelum dibuahi dia harus dikelilingi sekitar 5 juta sperma. Jadi, kalau sperma yang mengelilingi dia hanya dua atau tiga, itu pasti gak akan terjadi pembuahan. Karena, sel telur juga tidak akan milih," kata dr Indri Budiarti.

"Jadi, jumlah sperma itu relate dengan kemungkinan kesuburan," ucapnya menambahkan.

Masalah kesuburan pun bisa dipengaruhi oleh gaya hidup, apalagi bagi mereka yang dinyatakan obesitas, khususnya perempuan. Sebab, jika berat badan lebih dari normal menurut hitungan Indeks massa tubuh (BMI), cadangan lemak di dalam tubuhnya lumayan tinggi.

"Nah, cadangan lemak itu akan mengganggu proses pematangan sel telurnya. Jadi panjang prosesnya, tapi dia akan berpengaruh ke arah sana. Sehingga, akibatnya sel telurnya kecil-kecil," kata dr Indri Budiarti.

"Makanya, kenapa banyak orang kalau yang biasanya langsing tiba-tiba jadi gemuk, kadang keluhannya haidnya jadi dua bulan sekali, tiga bulan sekali. Itu berarti ada siklus yang gak normal, dan biasanya sel telurnya juga gak diproduksi," tuturnya menambahkan.

Dokter Indri Budiarti pun memberikan tips bagi pasangan suami istri yang sedang berjuang untuk mendapatkan momongan. Dia menuturkan, selama siklus menstruasi pihak perempuan masih lancar setiap bulannya, maka dianggap subur. Sehingga, perlu optimistis terkait masalah momongan.

"Kemudian yang harus diperbaiki lagi adalah hubungan seksual, frekuensinya gak bisa cuma seminggu sekali. Jadi harus ada ritmenya," ucapnya.

"Biasanya, kita memberikan batasan seminggu dua kali dengan jarak antara 2-3 hari sekali. Kenapa? Karena sperma itu diproduksi kurang lebih sekitar dua sampai tiga hari. Jadi, begitu beres haid, hari ini hubungan, besok istirahat, besoknya hubungan. Jadi selang-seling sehari, dengan tujuan supaya spermanya terus di dalam sel telur," ujarnya.

"Kalau haidnya teratur, diharapkan pada saat sperma sedang menunggu di saluran telur, ada satu keluar, diharapkan bisa terbuahi lah si sel telur ini. Jadi, gak bisa ngepas-ngepasin masa subur, karena belum tentu pas. Karena kalau si laki-lakinya udah ejakulasi terus hubungan seksual, ya itu udah gak ada spermanya," kata dr Indri Budiarti menambahkan.

Sementara itu, bagi pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh, perlu ada pembicaraan. Perlu dirundingkan apakah pihak istri yang ikut ke suami atau sebaliknya, agar keduanya bisa bersama-sama dan tidak terpisah.

"Karena dikatakan ada gangguan kesuburan apabila wanitanya haid tiap bulan, tidak memakai KB, hubungan seksualnya teratur antara 2-3 hari. Kalau selama setahun masih belum hamil juga, nah baru kita katakan ada masalah kesuburan," tutur dr Indri Budiarti.

"Akan tetapi, kalau frekuensinya masih jarang-jarang, ya perbaiki dulu aja frekuensinya," ucapnya menambahkan.

Jika semua tips tersebut sudah dilakukan tapi belum membuahkan hasil, dr Indri Budiarti pun menyarankan agar pasangan suami istri segera memeriksakan kondisinya ke dokter. Baik itu pihak suami maupun istri.

"Suami juga harus dilihat apakah ada masalah dengan spermanya, apakah kualitas spermanya baik, atau ternyata tidak ada sperma sama sekali. Jadi, dibutuhkan kerja sama dari dua belah pihak," ujar dr Indri Budiarti.

Pentingnya Kekompakan Pasangan

Psikolog klinis, Trianindari mengungkapkan dampak terburuk dari seringnya seseorang ditanya 'kapan punya anak' oleh orang-orang sekitar. Meski jarang terjadi, hal itu bisa membuat seseorang sampai mengalami depresi.

Dia menuturkan, dampak dari seringnya ditanya kapan punya anak akan bervariasi, tergantung pada individu yang menerimanya. Jika dia memaknai pertanyaan itu sebagai hal yang tak perlu diambil pusing, tentu tidak masalah.

"Akan tetapi, buat sebagian orang yang menganggap pertanyaan itu sebagai peristiwa menekan, sebagai bentuk penderitaan mungkin ya, itu bisa jadi dialami sebagai peristiwa yang traumatik," ujar Trianindari kepada Pikiran-Rakyat.com.

"Kalau sampai dia menganggap itu trauma, jadi kan akhirnya dia menghindari peristiwa itu. Jadi kebanyakan kan akhirnya menghindari orang-orang yang mungkin akan bertanya kepadanya. Jadi kayak mereka menghindari momen lebaran, menghindari ke rumah saudara, atau menghindari bertemu teman-teman," ucapnya menambahkan.

Jika sudah berada di tahap menghindari acara keluarga atau kumpul dengan teman, Trianindari mengatakan bahwa individu tersebut mempersepsikannya sebagai suatu tekanan. Ketika sudah mempersepsikan itu sebagai suatu tekanan, mereka akan muncul gejala stres.

"Gejala stres itu bisa dimulai dari yang ringan seperti cemas, takut, khawatir, deg-degan, keringat dingin pada saat ditanya. Sampai yang mungkin berat, kalau udah berat nanti mengarahnya ke depresi atau anxiety," katanya.

"Misalnya begini, saat ditanya terus-terusan, dan gejala ringan yang dialami tadi dialami terus-terusan 2 sampai 6 minggu berturut-turut, bisa jadi nanti mengarah ke gejala depresi atau kecemasan," tutur Trianindari menambahkan.

Dia pun menekankan pentingnya kekompakan bagi pasangan pejuang garis dua. Mereka harus menyadari bahwa mereka berjuang bersama.

"Jadi, tidak saling menyalahkan. Misalnya kayak 'kamu sih mandul jadi kita gak punya anak, kamu sih spermanya gini, kamu sih rahimnya gak subur'. Nah, kalau itu yang terjadi, pasti bisa jadi akhirnya rumah tangganya gak selamat," ucap Trianindari.

Dia juga mengingatkan kepada pejuang garis dua untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Tidak hanya bagi pihak perempuan, tetapi juga pihak laki-laki.

"Buat para pejuang garis dua, penting banget untuk yang pasti berobat dan memastikan secara medis apa yang terjadi sama mereka berdua dan akhirnya mereka kompak menjalani itu. Jadi tahu bahwa mungkin ini ada masalah medis kata dokter, dan saling menutupi satu sama lain, saling menguatkan satu sama lain," ujar Trianindari.

"Intinya, harus kompak dulu dengan pengobatannya. Harus sevisi-misi lah, mereka mau berobat, mereka mau diperiksa bareng, dan akhirnya mereka tahu penyebabnya apa dan tidak saling menyalahkan," tuturnya menambahkan.***

Sentimen: negatif (100%)