Sentimen
Netral (99%)
19 Feb 2024 : 04.30
Informasi Tambahan

Event: Hari Pers Nasional

HPN 2024: Greenpeace Indonesia Ungkap Strategi 'Licik' Perusahaan Eksploitasi SDA

19 Feb 2024 : 04.30 Views 4

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

HPN 2024: Greenpeace Indonesia Ungkap Strategi 'Licik' Perusahaan Eksploitasi SDA

PIKIRAN RAKYAT - Greenpeace Indonesia mengungkap strategi perusahaan dalam meneksploitasi Sumber Daya Alam (SDA). Hal ini berkaitan dengan praktik usaha tersebut di tengah-tengah konflik sosial seperti dengan Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat adalah pihak yang dianggap sering berkonflik dengan perusahaan tersebut dalam hal hak ulayat atau hak adat. Menurut pihak Greenpeace, masalah itu bahkan sering kali terjadi dan belum ada solusinya.

"(Konflik) itu hampir terjadi di semua di Indonesia, kalau Bapak Ibu lihat dari Papua, mungkin ini adalah isu atau liputan yang sering kali muncul," ujar Greenpeace Indonesia melalui Senior Forest Campaigner, Syahrul Fitra.

Syahrul Fitra menyampaikan hal itu dalam acara Hari Pers Nasional 2024 di Jakarta pada Minggu, 18 Februari 2024. Acara itu diketahui bertajuk "Selamatkan Planet Bumi melalui Penerapan Prinsip ESG" dan disiarkan di kanal YouTube PWIOfficial.

"Jadi pertanyaan soal apakah bagaimana konflik Masyarakat Adat, dan berbagai konflik yang muncul antara perusahaan dan Masyarakat Adat itu selalu terjadi. Jadi masalah sosial ini belum terselesaikan sampai hari ini," ujarnya.

"Selain masalah dari sisi internal mereka (seperti) soal karyawan, perbudakan, dan sebagainya, itu sifatnya internal di perusahaan, tapi yang sifatnya eksternal itu dampaknya jauh lebih luas lagi," katanya lagi.

Cara perusahaan eksploitasi SDA

Syahrul Fitra dari Greenpeace Indonesia menyebut salah satu strategi perusahaan dalam mengeksploitasi SDA di Indonesia adalah dengan membuat perusahaan seolah-olah tidak berkaitan dengan perusahaan lainnya. Padahal sejatinya ada kaitan antara mereka.

"Hampir semua perusahaan yang mengesktraksi sumber daya alam di Indonesia berpraktik dengan cara (menerapkan) struktur perusahaan yang begitu rumit sehingga mereka bisa memutus hubungan antara perusahaan dan perusahaan lain seolah-olah perusahaan ini sudah melakukan praktik governance yang bagus, sosialnya sudah jalan," katanya.

"Padahal di tempat yang lain, lewat perusahaan-perusahaan bayangan mereka, mereka tetap mengekstraksi, tetap berkonflik dengan Masyarakat Adat, menghancurkan lahan gambut misalnya," ujarnya.

Menurut Syahrul Fitra, pola seperti ini terjadi. Riset Greenpeace Indonesia membeberkan bahwa pola ini menjadi hal yang biasa di dalam bisnis yang mengekstraksi SDA Indonesia. Governance dari perusahaan tersebut dianggap tidak benar-benar diwujudkan.

Ia memberi contoh bahwa pemerintah sudah mewajibkan perusahaan membuka Beneficial Ownership (Pemilik Manfaat Korporasi). Itu adalah bagian dari upaya penegakan hukum, identifikasi pencucian uang, dan sebagainya.

"Bagi perusahaan, itu jalan untuk mewujudkan good governance. (Tapi) governance di perusahaan itu sampai hari ini masih membolehkan berpraktik secara buruk, tata kelolanya gak baik, ketika berdampak ke lingkungan, (mereka) tidak pernah membuka ke publik," katanya lagi.***

Sentimen: netral (99.6%)