Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Institusi: ITB
Kab/Kota: bandung
Tokoh Terkait
Pembayaran UKT Lewat Pinjol ITB Jadi Sorotan, Ketum BEM FAI Unismuh Makassar Angkat Suara untuk Anak-anak Kurang Mampu
Fajar.co.id
Jenis Media: Nasional

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi sorotan setelah pihak rektorat mengusulkan metode pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) melalui skema pinjaman online (pinjol).
Kerjasama ITB dengan aplikasi bernama DanaCita, yang telah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memicu protes dari mahasiswa.
Langkah ini langsung direspons dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang menilai langkah kampus tersebut tidak dapat diterima.
Mahasiswa ITB menganggap skema pembayaran UKT melalui pinjaman online sebagai langkah yang kontroversial dan menimbulkan kekhawatiran terkait dampak finansial pada masa studi mereka.
Demonstrasi tersebut mencuatkan ketidaksetujuan mahasiswa terhadap kebijakan kampus terkait pemilihan metode pembayaran yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas finansial mahasiswa.
Bukan hanya mahasiswa ITB yang bersuara, namun juga beberapa mahasiswa dari kampus lain. Baik itu di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa.
Seperti Ketua Umum (Ketum) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Nur Fanila, menyinggung banyaknya anak yang putus sekolah.
Melihat pembayaran UKT dengan menggunakan skema pinjol, Nur, sapaan karibnya, membeberkan kekhawatiran bagi anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Dari data yang dia beberkan, setiap tahun hanya 31 persen siswa yang melanjutkan pendidikannya ke Perguruan tinggi. Selebihnya memilih tidak lanjut karena biaya pendidikan yang dianggap mahal.
"Ada 69 persen yang tidak melanjutkan pendidikannya, artinya saat ini banyak anak yang putus sekolah, salah satu yang membuat anak putus sekolah karena biaya pendidikan yang makin tahun semakin tinggi," ujar Nur kepada fajar.co.id, Rabu (31/1/2024).
Nahasnya, kata Nur, mereka yang tidak mampu membayar biaya pendidikan tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah.
"Di sinilah peran sebagai pemerintah menangani hal tersebut," lanjutnya.
Sebagai lembaga pendidikan yang notabenenya laboratorium pikiran, lanjut Nur, mestinya lebih bijak dalam mengeluarkan aturan.
"Bukan malah meningkatkan biaya pendidikan setiap tahunnya, apalagi bekerja sama dengan lembaga seperti pinjam online, mahasiswa yang membayar SPP melalui pinjaman online memberikan risiko beban finansial yang tinggi," tukasnya.
Nur bilang, ada bunga pinjaman yang cenderung tinggi. Sebagai mahasiswa yang berlatar belakang Agama Islam, dia menyayangkan pihak ITB yang bekerjasama dengan aplikasi pinjol.
"Ini sangat disayangkan karena bertentangan dengan nilai-nilai ajaran islam," ucapnya.
Nur menyebut, terlibat dengan pinjol akan mengarah pada riba. Riba, sudah jelas di dalam agama Islam kedudukannya.
"Transaksi yang sangat dilarang dan tidak dianjurkan di dalam islam," imbuhnya.
Menurutnya, sangat disayangkan sebuah lembaga pendidikan melakukan hal-hal yang mendorong mahasiswa terlibat pada aktivitas riba.
"Persoalan SPP atau biaya perkuliahan seringkali menjadi beban finansial bagi mahasiswa. Pemerintah dan pihak Universitas perlu bekerjasama untuk mencari solusi agar pendidikan lebih terjangkau," tandasnya.
Nur menarik sebuah contoh, pihak kampus memberikan solusi melalui program beasiswa atau pengelolaan biaya yang lebih efisien.
"Peningkatan aksesibilitas pendidikan tinggi dapat mendukung pertumbuhan potensi mahasiswa tanpa membebani mereka secara berlebihan secara finansial," kuncinya.
Sebelumnya, gonjang-ganjing soal pinjol di ITB ini menarik perhatian Capres nomor urut 1, Anies Baswedan. Dia engkritik fenomena pembayaran kuliah melalui platform pinjol.
Anies menilai hal ini sebagai indikasi minimnya anggaran pemerintah untuk pendidikan tinggi.
Anies mengungkapkan bahwa minimnya anggaran pendidikan tinggi berdampak pada beban yang semakin besar bagi orang tua dan perguruan tinggi.
Dampak ini, menurutnya, lebih terasa oleh masyarakat kurang mampu yang berusaha melanjutkan pendidikan tinggi.
Menyikapi masalah ini, Anies menegaskan bahwa permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia harus diatasi dari akar masalahnya.
Menurutnya, akar permasalahan tersebut adalah komitmen negara dalam berinvestasi di bidang pendidikan.
Anies berpendapat bahwa pemerintah seharusnya lebih banyak berinvestasi di sektor pendidikan, mengingat para mahasiswa akan berkontribusi dalam memajukan perekonomian Indonesia.
Dia menyatakan pentingnya komitmen negara untuk menciptakan pendidikan tinggi yang terjangkau dan berkualitas.
(Muhsin/fajar)
Sentimen: negatif (99.2%)