Sentimen
Tokoh Terkait

Leonard Simanjuntak
Greenpeace Indonesia: Ambisi Pemerintah Terkait Hilirisasi Nikel Picu Kerusakan Lingkungan
Fajar.co.id
Jenis Media: Nasional

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dianggap belum serius melakukan transisi energi. Itu terlihat dari ambisi hilirisasi nikel.
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengemukakan pemerintahan seolah mengabaikan banyak persoalan yang selama ini terjadi pada industri nikel.
Menurutnya, pemerintah sangat gencar mengkampanyekan ekonomi hijau. Namun di sisi lain, pertambangan nikel telah memicu kerusakan lingkungan, pencemaran akut, dan penggusuran masyarakat adat.
Eksploitasi nikel yang ugal-ugalan juga telah mencemari laut dan udara. Rencana pembangunan 53 PLTU captive batu bara yang akan menambah beban daya sebesar 14,4 GW–sebagian besar di antaranya untuk smelter nikel–jelas akan meningkatkan emisi dan pencemaran udara.
Akibat penambangan dan pengolahan nikel, sebanyak 882 ribu ton limbah berbahaya mencemari Pulau Obi. Cadangan nikel Indonesia pun bakal habis dalam 6-15 tahun saja, imbas dari masifnya pengembangan smelter.
"Transisi energi sangat krusial untuk memangkas emisi karbon dan menekan kenaikan suhu Bumi," tutur Leonard, kemarin.
Menurutnya, potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.643 GW, menurut data Dewan Energi Nasional. Namun pemanfaatannya baru 0,3 persen. Dalam bauran energi nasional, porsi energi terbarukan baru mencapai angka 13,1 persen. "Targetnya 23 persen di tahun 2025," tambah Leonard.
Dia mengemukakan, pada debat cawapres kemarin, para kandidat juga tak membahas rencana pensiun dini PLTU batubara, meski program itu tertuang dalam dokumen visi-misi paslon 01 dan 02. Sehingga, absennya isu batu bara ini patut kita pertanyakan. "Apa memang dihindari karena masing-masing paslon juga didukung oligarki batu bara,"? tegasnya.
Bagaimana dengan solusi transisi energi yang ditawarkan seperti dengan melanjutkan bioenergy? Pemenuhan biodiesel berpotensi memicu ekspansi industri sawit melalui deforestasi yang mengancam hutan dan lanskap gambut alami yang tersisa.
Indonesia sudah harus segera beralih dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau yang bebas dari solusi-solusi palsu.
Riset Greenpeace dan CELIOS menemukan bahwa peralihan ekonomi ekstraktif ke ekonomi hijau akan menambah Rp4.376 triliun
ke output ekonomi nasional.
Transisi untuk meninggalkan sektor ekstraktif juga mampu membuka lapangan kerja yang lebih luas dan mampu menyerap 19,4 juta orang. Perlu dicatat, bahwa salah satu sektor penyerapan tenaga kerja terbesar adalah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang mencapai 3,9 juta tenaga kerja lewat pengembangan kemandirian ekonomi di level desa.
Bagaimana dengan isu reforma agraria, apakah gagasan para cawapres sudah menyentuh akar masalah? Sayangnya, para cawapres justru tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional (PSN).
Cawapres 02 dan 03 misalnya, hanya menyinggung soal rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah. Padahal, data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023.
Data ini melonjak eskalasinya dibanding tahun sebelumnya. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.
Tapi ketiganya berjanji mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat untuk melindungi masyarakat adat dan wilayah adat.
Janji semacam ini selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu. Tapi dari keengganan sikap politik presiden terpilih dan partai politik pendukung selama ini, menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika. (jp-mia/dir)
Sentimen: positif (94.1%)