Sentimen
Negatif (99%)
23 Jan 2024 : 15.22

Dianggap Sepele oleh Mahfud MD di Debat Cawapres, Ternyata Isu Greenflation Cukup Penting di Era Saat Ini

23 Jan 2024 : 15.22 Views 8

Fajar.co.id Fajar.co.id Jenis Media: Nasional

Dianggap Sepele oleh Mahfud MD di Debat Cawapres, Ternyata Isu Greenflation Cukup Penting di Era Saat Ini

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Isu yang menarik pada gelaran debat Cawapres adalah isu Greenflation. Cawapres nomor urut 2 Gibran meminta pendapat Mahfud MD terkait isu tersebut.

Namun, Mahfud MD terlihat kesulitan memberikan jawaban dan menganggap bahwa isu greenflation hanyalah isu kecil yang tidak perlu diperdebatkan. Oleh karena itu, disarankan untuk lebih mendalami makna dari istilah greenflation atau inflasi hijau ini melalui eksplorasi yang lebih mendalam.

Pada debat tersebut, Gibran menjelaskan definisi Greenflation dengan mencontohkan aksi demo rompi kuning di Prancis.

"Itu bahaya sekali. Sudah memakan korban. Harus diantisipasi jangan sampai terjadi di Indonesia," katanya.

Menurut Gibran, intinya transisi menuju energi hijau harus super hati-hati.

"Jangan sampai membebankan research and development (riset dan pengembangan, Red) yang mahal kepada masyarakat kepada rakyat kecil," katanya.

Lantas apa itu Greenflation?

Menurut informasi dari laman COBS Insights yang dikutip pada Senin (22/01/2024), inflasi hijau mengacu pada kenaikan harga barang dan jasa sebagai dampak dari pergeseran ekonomi saat ini menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan secara lingkungan atau ekonomi net-zero.

Fenomena inflasi hijau muncul seiring dengan banyaknya negara, termasuk pemerintah dan sektor bisnis, yang mulai mengadopsi teknologi berkelanjutan, terutama dalam kerangka ekonomi hijau secara umum.

Inflasi hijau ini kemungkinan besar akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang sejalan dengan upaya global untuk memenuhi komitmen terhadap perlindungan lingkungan.

Salah satu faktor yang berkontribusi pada inflasi hijau adalah permintaan yang meningkat untuk logam dasar dan mineral tertentu yang digunakan dalam teknologi berorientasi lingkungan.

Sebagai contoh, logam-logam seperti tembaga, litium, dan kobalt menjadi lebih diminati karena kebutuhan yang meningkat dalam teknologi berkelanjutan, jauh melampaui permintaan untuk teknologi yang kurang ramah lingkungan.

Sebagai contoh konkret, perbandingan antara kendaraan listrik yang membutuhkan lebih banyak mineral dibandingkan dengan kendaraan konvensional, atau pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai yang memerlukan ketersediaan tembaga dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas.

Hal ini mencerminkan dampak inflasi hijau yang disebabkan oleh permintaan yang meningkat untuk logam-logam tersebut dalam konteks teknologi berkelanjutan. Kenaikan harga logam dasar dan mineral ini terjadi karena tingginya permintaan yang tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan yang memadai.

Dalam upaya untuk meningkatkan pasokan, seringkali diperlukan waktu yang cukup lama, yakni antara lima hingga sepuluh tahun, untuk mengembangkan tambang baru. Sebagai contoh, terdapat lonjakan harga yang signifikan pada litium, dengan kenaikan sebanyak 1.000 persen antara tahun 2020 dan 2022.

Lalu, Apakah Isu Greenflation Merupakan Isu Recehan Untuk Indonesia?

Saat ini, Indonesia sedang aktif mendorong transisi ke arah keberlanjutan, sejalan dengan target mencapai emisi bersih pada tahun 2060. Salah satu fokus utama dalam upaya ini adalah meningkatkan pemanfaatan sumber energi berkelanjutan.

Program unggulannya melibatkan penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan penggantian mereka dengan pembangkit listrik yang berbasis sumber energi hijau, seperti pembangkit listrik tenaga surya.

Isu greenflation di Indonesia menjadi relevan karena penggunaan energi hijau dapat berdampak pada inflasi, terutama melalui kenaikan harga bahan bakar fosil sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis fosil.

Pada tahun 2023, Prancis mengalami periode greenflation yang signifikan yang memicu demonstrasi besar-besaran oleh kaum Rompi Kuning terhadap Presiden Macron. Demonstrasi ini berlangsung selama tiga minggu dan dipicu oleh sistem perpajakan yang dianggap memberatkan dan tidak sebanding dengan peningkatan taraf hidup masyarakat.

Di Indonesia, Greenflation juga terjadi, tetapi lebih terfokus pada masalah komoditas hijau seperti pangan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, faktor utama yang menyebabkan tingginya tingkat inflasi di Indonesia adalah beras, cabai merah, dan rokok kretek, masing-masing berkontribusi sebanyak 0,53%, 0,24%, dan 0,17% terhadap tingkat inflasi.

Faktor lain yang signifikan melibatkan emas dan perhiasan sebesar 0,11%, serta cabai rawit sebesar 0,10%. Tingginya inflasi bahan pangan hingga 6,73% juga disebabkan oleh tantangan berat dari El-Nino yang berkepanjangan dalam sektor pertanian Indonesia selama tahun 2023.

Semua ini menjadi sorotan utama karena Indonesia berkomitmen pada transisi hijau, dan greenflation menjadi fokus utama kebijakan di masa mendatang. (zak)

Sentimen: negatif (99.2%)