Sentimen
Informasi Tambahan
Event: CFD
Tokoh Terkait
Dualitas Karakter Gibran dalam Debat Pilpres
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2024/01/21/65ad2d7cb0935.jpg)
SESI debat calon wakil presiden (cawapres) 2024 selesai sudah, karena oleh KPU hanya dijatah dua kali.
Debat terakhir cawapres, Minggu, 21 Januari 2024, tentu menghadirkan berbagai penilaian, bahkan terus didiskusikan. Cawapres yang paling menyita perhatian tentu adalah Gibran Rakabuming Raka.
Ini antara lain karena publik masih minim referensi soal kemampuannya dalam debat, juga seperti ingin mendapat validasi atau konfirmasi soal kapasitas dan konsistensinya dengan debat sebelumnya.
Tak seperti Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD, Gibran memang tak punya rekam jejak yang memadai soal debat dan diskusi. Di platform digital, misalnya, sulit ditemukan konten debat atau diskusi dari Gibran.
Gibran yang pada debat pertama cawapres, atau debat kedua pilpres tampil cukup apik, menuai pujian, meski dengan sejumlah trik yang boleh dibilang unfairness, karena mengajukan pertanyaan yang cenderung menjebak lawan debat.
Bila pada debat pertama cawapres, Gibran mendapat sentimen positif, mungkin karena tampil melebihi ekspektasi atau menjawab keraguan, tapi dalam debat kedua ini justru menurunkan derajat dari debat pilpres.
Tentu saja, debat pilpres yang merupakan agenda resmi kenegaraan yang akan menjadi arsip negara, justru dijejali dengan sikap yang jauh dari kriteria calon pemimpin pemerintahan negara-bangsa.
Apa yang ditampilkan di bawah standar dialog dan diskusi yang kerap kali ditunjukan oleh para founding fathers, yang sekalipun tajam dan panas, mereka tak akan mengolok-olok lawan debat.
Ada sejumlah catatan, yang perlu diketengahkan terkait performance Gibran di panggung debat terakhir. Ini bukan karena sentimen, tapi lebih sebagai bentuk evaluasi atau pembelajaran dari perspektif komunikasi.
Pertama, melanggar aturan debat. Gibran terlihat melanggar aturan debat, dengan maju ke depan podium seperti dalam debat cawapres pertama.
Gibran juga menggunakan istilah baru yang belum familiar, atau singkatan dalam bahasa asing ketika mengajukan pertanyaan kepada lawan debat.
Konteks pelanggaran ini kemudian, mengonfirmasi bahwa tidak saja di atas panggung debat, namun juga saat mengisi sejumlah agenda kampanye.
Misalnya, soal pelanggaran karena bagi-bagi susu di era car free day di Jakarta, maupun terkait pertemuan dengan sejumlah kepala desa atau raja di Maluku.
Tanpa bermaksud menjustifikasi, namun seringnya seseorang melanggar peraturan, dalam psikologi, sesungguhnya dapat menunjukkan atau setidaknya memberikan konfirmasi kemungkinan adanya gejala gangguan perilaku atau gangguan kepribadian.
Hal semacam itu juga yang sering pula dikaitkan dengan adanya kecenderungan ketidakpatuhan terhadap norma sosial dan hukum yang berlaku.
Kedua, terlihat munculnya dua karakter atau kepribadian yang berbeda dan kontradiktif dalam penampilan Gibran di panggung debat cawapres.
Hal itu setidaknya dapat disaksikan dari sikap dan gestur Gibran yang kerap membungkuk dan bersedekap, terlihat santun pada lawan debatnya, namun dalam debat, hal itu justru tak terefleksikan.
Dalam konteks perdebatan atau diskusi, seseorang yang cenderung menampilkan dua sisi karakter dalam dirinya tersebut, disebut pula sebagai "dualitas karakter" atau "kontradiksi karakter."
Satu sisi ingin menunjukan atau memperlihatkan sikap yang hormat, sabar, dan respek dalam satu bagian debat, namun berubah menjadi agresif dalam bagian lainnya. Adalah dualitas karakter dalam perdebatan.
Beberapa kali Gibran yang mau terlihat santun itu, justru menyerang dengan kurang terukur, seperti jurus yang sudah disiapkan di luar arena, sekalipun kurang relevan tetap saja digunakan sekalipun tak tepat.
Dualitas karakter dalam perdebatan yang ditujukan Gibran, tentu saja meninggalkan dampak buruk.
Selain sentimen negatif yang mengemuka, juga bakal hilangnya kredibilitas, membuat orang lain sulit percaya, apakah yang ditampilkan dalam debat itu otentik atau sekadar polesan untuk showing.
Sentimen: negatif (100%)