Sentimen
Negatif (100%)
22 Jan 2024 : 14.38
Informasi Tambahan

BUMN: PT Pertamina

Kab/Kota: Jayapura, Kab Sorong Selatan, Sorong

Tokoh Terkait
Irianto

Irianto

3 Konflik Agraria di Papua, Duel Masyarakat Adat vs Perusahaan, Kenapa Pemerintah?

22 Jan 2024 : 14.38 Views 7

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

3 Konflik Agraria di Papua, Duel Masyarakat Adat vs Perusahaan, Kenapa Pemerintah?

PIKIRAN RAKYAT - Simak 3 konflik agraria di Papua yang melibatkan masyarakat adat. Mereka harus berhadapan dengan perusahaan-perusahaan yang diklaim mempunyai legitimasi atas tanah ulayat mereka.

Diketahui masyarakat adat di Papua kerap kali harus berhadapan dengan pihak-pihak di luar mereka terkait dengan kepemilikan lahan. Mereka mengeklaim sudah memiliki lahan itu tapi tiba-tiba perusahaan besar datang untuk menggarapnya baik untuk kepala sawit atau lainnya. Konflik ini harusnya dibahas di debat Pemilu 2024.

Suku Awyu vs PT Indo Asiana Lestari Suku Awyu adalah salah satu suku yang harus berhadapan dengan perusahaan. Gugatan diajukan mereka ke Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura terkait izin perkebunan kelapa sawit seluas 39 ribu hektare.

Majelis Hakim PTUN Jayapura justru menolak gugatan mereka karena terdapat penilaian atau pengujian terhadap Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan) terhadap izin usaha tersebut. Analisis amdal itu dilakukan tim dari Dinas Kehutanan Lingkungan Hidup Provinsi Papua pada 1 November 2021.

"Sehingga asas-asas tersebut telah diejawantahkan dalam Rekomendasi Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi hasil uji kelayakan," kata majelis hakim, dilansir dari laman BBC.

Pertimbangan lainnya adalah izin usaha dari SK Kepala Dinas PMPTSP Provinsi Papua tersebut dinilai sesuai prosedur dan tidak bertentangan dengan asas-asan umum pemerintahan yang baik. Itu artinya, PT Indo Asiana Lestari dibolehkan menggarap lahan itu.

Diketahui suku Awyu, diwakili Hendrikus Woro, menggugat perusahaan itu karena izin usaha kelapa sawitnya dianggap bertentangan dengan kearifan lokal. Izin usaha itu juga dianggap melanggar prinsip kelestarian, kehati-hatian, dan keadilan tidak relevan. Kawasan yang akan digarap itu diklaim sebagai hutan adat mereka.

Hakim menolak gugatan penggugat, penggugat intervensi 1, dan penggugat intervensi 2. Selain itu, penghukum dihukum untuk membayar biaya perkara sebesa Rp451.000.

Kuasa hukum penggugat, Sekar Bantaran Aji dari Greenpeace Indonesia, menyebut putusan hakim Jayapura dianggap sebagai kemunduran terhadap penerapan hukum di Indonesia. Menurutnya, hakim tidak bisa membedakan prosedur dan substansi Amdal.

"Bayangkan hakim tidak bisa mempertimbangkan prosedur dan substansi Amdal karena disebut bukan obyek sengketa. Padahal obyek sengketa berupa surat keputusan Kepala Dinas PTSP Provinsi Papua tidak akan keluar tanpa isi Amdal," kata Sekar kepada BBC News Indonesia.

Berebut hutan sagu di Sorong, Papua Barat Penelitian oleh jurnal yang ditulis Meky Sagrim, Agus Irianto Sumule, dan Deny Anjelus Iyai menyebut ada potensi konflik agraria di wilayah pemanfaatan hutan sagu di Imekko, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Penelitian mereka terungkap di Jurnal Manusia dan Lingkungan yang terbit pada 2019.

"Dari segi pola penguasaan, maka masyarakat tidak memiliki hak menguasai, mengelola, mengalihkan, memperoleh kembali, dan hak milik atas kawasan konsesi perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa hak menguasai, mengelola, mengalihkan, memperoleh kembali, dan hak milik hanya berlaku bagi kawasan tanah-hutan yang tidak diplotkan sebagai kawasan konsesi perusahaan," kata Meky Sagrim dkk.

Masyarakat adat hanya bisa memungut hasil secara terbatas dan menggunakannya secara terbatas terhadap sagu di kawasan konsesi perusahaan. Padahal perusahaan bisa ikut mengambil sagu di lokasi yang menjadi hak ulayat adat, mengaksesnya, menggunakannya, menguasainya, dan mengelolanya.

Tanah adat di Sorong Selatan, Papua Barat.

"Keberlanjutan (sustainabilitas) sumberdaya sagu dapat diindikasikan dengan aktivitas pengembangan dusun, penjarangan tumbuhan sagu per rumpun sagu, pengayaan atau pengembangan dusun sagu pada kawasan yang belum ditumbuhi sagu. Penjarangan dilakukan untuk memberikan pertumbuhan maksimal dari sagu. Tanaman gulma (weeds) yang sering menjadi penyaing dalam perebutan unsur hara perlu dikurangi/dihilangkan dari lahan tumbuh," ujarnya.

"Setelah terjadi intervensi eksternal atas kawasan hutan sagu alami oleh perusahaan, maka aktivitasaktivitas sebagaimana disebutkan di atas, sama sekali tidak dilakukan. Lebih tragis lagi, bahwa ketika masyarakat memasuki kawasan yang direncanakan sebagai kawasan konsesi perusahaan, masyarakat merasa bahwa tumbuhan sagu yang terdapat di dalamnya bukan lagi merupakan hak mereka, sehingga mereka bertindak ekploitatif seperti menebang tumbuhan sagu yang belum masak tebang," katanya lagi.

Tindakan lain yang lebih eksploitatif oleh masyarakat adat, sebagai respons akan hadirnya perusahaan, adalah memotong dan memusnahkan tunas gantung pada sagu, tunas yang masih remaja dilukai sehingga busuk. Mereka juga membakar rumpun sagu di kawasan hutan yang direncanakan sebagai kawasan konsesi perusahaan.

"Contoh pembakaran tumbuhan sagu pada areal konsesi perusahaan di Kampung Saga dan Puragi," ujarnya, lokasi pembakaran itu berada di arena yang direncanakan menjadi konsesi perusahaan yakni di Kampung Puragi–Tawanggire Distrik Metemani, Sorong Selatan, Papua Barat.

Hak masyarakat adat di Sorong Selatan, Papua Barat.

Masyarakat adat Manokwari vs Pertamina Jurnal oleh Mikhael Silas David, Jemmy Sondakh, dan Jolanda M. Korua mengungkap konflik hak ulayat masyarakat adat di Papua Barat melawan Pertamina. Mikhael dkk memaparkannya di dalam Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi tahun 2023.

"Masyarakat adat Manokwari adalah masyarakat asli Papua Barat yang hidup dalam suatu wilayah dan terikat pada adat tertentu dengan sebuah solidaritas tinggi di antara para anggotanya. Dalam hukum adat Papua, hak ulayat dianggap sebagai hak kepemilikian komunal atas tanah berdasarkan klan maupun berdasarkan gabungan beberapa klan," ujarnya.

"Klan itu sendiri merupakan sebuah persekutuan hukum terkecil secara genealogis patrilineal yang memiliki suatu kesamaan hubungan darah dan mendiami suatu wilayah hukum adat tertentu," katanya lagi.

Konflik itu bermula dari Pertamina yang hendak membeli tanah ulayat masyarakat adat Manokwari milik Samuel Mandacan dan Thomas Mandacan. Keinginan itu adalah realisasi Surat Menteri Dalam Negeri No.BCU.8/171/8-79 pada 13 Agustus 1979. Tujuannya adalah membangun depot Pertamina di Manokwari.

"Akan tetapi dalam realisasipembelian tanah ulayat milik masyarakat adat Manokwari, dari pihak Pertamina sendiri seakan-akan mengeyampingkan kewajiban membayar hak ulayat dengan baru membayar sebagian dari obyek yang disengketakan. Pertamina sendiri juga sudah menggunakan tanah ulayat tersebut dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2003 tanpa seijin dan sepengetahuan dari pemilik tanah ulayat yakni alm. Samuel Mandacan dan alm. Thomas Mandacan," ujar Mikhael dkk.

Kerugian yang harus dialami pemilik tanah adat tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua pasal 38 ayat (2) bahwa usaha-usaha ekonomi di provinsi itu harus menghormati hak masyarakat adat. Selain itu, hendaknya usaha itu juga memberikan kepastian hukum dan pembangunan berkelanjutan.

"Harusnya pemerintah maupun lembaga pemerintah melakukan sinkronisasi antara kepentingan untuk memberi perlindungan terhadap hak ulayat dengan memberikan kepastian hukum bagi pengusaha," kata Mikhael dkk.

"Namun melalui konflik sengketa ini, justru Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara enggan membayar ganti rugi adat kepada masyarakat hukum adat terkait pemanfaatan tanah ulayat ini," ujarnya melanjutkan.***

Sentimen: negatif (100%)