Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pemilu 2014
Hewan: Ayam
Institusi: Universitas Indonesia
Kab/Kota: Karawang
Pekerja Kerah Biru Jadi Caleg, Seberapa Besar Peluang 'Caleg Miskin' ke Parlemen?
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Pekerja kerah biru mencari peruntungan di dunia politik. Mereka yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT), supir angkot, penjual sabun keliling, hingga tukang mi ayam menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Mereka mencoba memikat pemilih, pada saat masyarakat miskin kota kadang terbiasa menerima 'hadiah' dari para caleg pada saat berkampanye. Dengan modal yang tak besar, sejumlah individu dari kalangan masyarakat miskin kota bertarung memperebutkan kursi legislatif dalam Pemilu 2024.
Berbekal dana Rp1 juta hingga Rp6 juta, mereka tetap menyimpan asa untuk menang, walau itu bukan jadi tujuan utama. Angka ini tentu tak sebanding dengan besarnya dana yang dikeluarkan oleh para caleg pada umumnya. Dalam sebuah riset, biaya yang dikeluarkan seorang caleg pada pemilu-pemilu sebelumnya berkisar dari Rp250 juta hingga Rp2 miliar.
Mereka berharap, partisipasi kelompok miskin dalam hajatan akbar demokrasi dapat menginspirasi dan menciptakan kehidupan politik yang inklusif. Bukan hanya dimiliki oleh kelompok berduit, tapi juga dari kelas menengah ke bawah.
“Saya masuk kategori masyarakat miskin kota. Keluarga saya terdaftar dalam bantuan masyarakat tidak mampu. Saya bisa disebut caleg miskin,” kata tukang mie ayam di Karawang, Juli Basaroni (42).
Begitu juga dengan Asisten Rumah Tangga (ART) yang nyaleg di Jakarta, Yuni Sri Rahayu. Dia, yang menyebut dirinya sebagai caleg duafa atau miskin kota, juga mengalami hambatan saat berkampanye. Namun, dia tidak menjelaskan lebih rinci permasalahan yang dialaminya.
“Di wilayah sendiri saja aku tidak boleh bersosialisasi dengan alasan yang tidak masuk akal. Mungkin karena tidak bermodal, aku pun bukan orang sini asli, istilahnya pendatang. Diskriminasi kependudukan saya alami,” tuturnya.
Selain itu, Yuni Sri Rahayu mengatakan bahwa dirinya hanya mampu mengalokasikan dana Rp1,5 juta untuk kampanye. Dana itu pun dikeluarkan, dengan menyisihkan pengeluaran untuk kebutuhan keluarga yang juga harus dipenuhi.
“Dana kampanye aku sisihkan dari upah. Kasarnya dari hasil saya mengosek (bersihkan) WC,” ucapnya.
Seberapa Besar Peluang Mereka ke Parlemen?
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Hurriyah mengatakan bahwa caleg yang memiliki keterbatasan finansial memiliki potensi yang kecil untuk menembus parlemen.
“Kalau hitung-hitungan matematiknya menurut saya relatif berat (terpilih),” ucapnya.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) itu itu menjelaskan, ada tiga modal utama yang harus dimiliki caleg untuk dapat terpilih. Ketiga modal itu adalah finansial, politik, dan sosial.
Menurutnya, modal finansial berfungsi penting untuk membiayai kerja-kerja kampanye yang kian hari semakin mahal, mulai dari persiapan alat peraga kampanye (APK), upah tim sukses dan sosialisasi, hingga digunakan oleh sekelompok caleg untuk politik uang.
Kemudian modal politik adalah untuk menempatkan caleg berada di nomor urut yang strategis. Berdasarkan kajian Puskapol UI tentang pemilu 2014 dan 2019, nomor urut menjadi salah satu faktor penting yang menentukan preferensi para pemilih dalam mencoblos.
“Lebih dari 60 persen pemilih cenderung memilih nomor urut tiga besar karena menganggap mereka adalah orang-orang penting dan kompeten,” ujar Hurriyah.
Selanjutnya adalah modal sosial, seperti popularitas atau ketokohan dari seorang calon yang dikenal luas oleh masyarakat.
“Makanya ada parpol yang cenderung memilih caleg dari latar belakang selebritas karena mereka dianggap punya modal sosial yang besar, mereka popular,” kata Hurriyah, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.
Oleh karena itu, ketika salah satu modal itu lemah, maka akan menurunkan kesempatan mereka mendapatkan kemenangan.***
Sentimen: positif (79.9%)