Sentimen
Negatif (100%)
17 Des 2023 : 20.53
Informasi Tambahan

Hewan: Ayam

Institusi: Universitas Indonesia

Kab/Kota: bandung, Batang, Lombok, London

Partai Terkait

Cigarettes After School, Anak Muda Lebih Pilih Tak Jajan daripada Tak Merokok

17 Des 2023 : 20.53 Views 11

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Cigarettes After School, Anak Muda Lebih Pilih Tak Jajan daripada Tak Merokok

PIKIRAN RAKYAT – Peredaran rokok eceran menjadi tantangan dalam mengurangi konsumsi tembakau di kalangan remaja Indonesia. Hal ini disebabkan maraknya pedagang informal yang menjual rokok eceran dengan harga murah dan akses yang lebih mudah didapat.

Salah seorang anak muda, Kholid, mengakui kian mudahnya akses terhadap pembelian rokok saat ini. Semua warung, kedai, bahkan unit bisnis yang lebih mapan seperti minimarket, supermarket, dan pusat perbelanjaan, hampir selalu dibanjiri produk rokok dan nikotin.

“Semakin ke sini semakin gampang (beroleh rokok). Harganya memang ada kenaikan dari tahun ke tahun, tapi daya beli juga menguat, jadi tetap saja dibeli,” ucap Kholid ketika ditemui di Jalan Lombok, Bandung, Kamis, 14 Desember 2023.

Kholid bercerita, mulai pertama kali mencoba rokok pada usia 10 tahun. Kebergantungan terhadap rokok semakin terasa sejak duduk di kelas VIII. Dalam sehari, ia bisa mengisap 5 batang rokok.

“Meski waktu itu masih dijatah uang jajannya oleh orangtua, tetap harus merokok. Caranya, dicukup-cukupin. Lebih baik enggak jajan minuman atau makanan daripada enggak merokok,” katanya.

Data fakta rokok.

Kini, dalam sebulan ia biasanya mengonsumsi rata- rata 2 slop rokok. Jumlah itu bisa berkurang dan berlebih.

“Soalnya untuk kaum laki-laki, selain jadi standar maskulinitas, rokok juga jadi standar kondisi kita. Kalau kita lagi sakit, biasanya merokok kurang enak,” ucap Kholid.

Salah seorang pedagang rokok, Momon (50), membenarkan rokok semakin mudah didapat. Pedagang yang memiliki warung kecil di Jalan Lombok, Kota Bandung itu mengatakan, setiap orang bisa saja membeli rokok secara ketengan di warung, kios, atau bahkan penjaja kopi dan rokok keliling.

“Di warung saya juga paling banyak yang beli secara eceran. Biasanya beli 2 atau 3 batang, mungkin karena lebih murah. Rp5.000 bisa dapat tiga atau empat batang,” katanya.

Hanya, ia merasa bahwa tingkat penjualan rokok eceran di warung menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.

Meski tidak mengetahui penyebabnya secara gamblang, ia menduga hal itu disebabkan semakin menjamurnya minimarket atau toko grosir yang menjual rokok dengan harga lebih murah.

Remaja, kaum penghisap rokok abadi

Tradisi merokok di Indonesia telah dikonfirmasi data resmi World of Statistics yang menyebut persentase jumlah perokok pria dari seluruh warga pria Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia.

Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 bahkan menunjukkan adanya peningkatan perokok di tengah pandemi. Jumlah perokok dewasa bertambah 8,8 juta orang dalam 10 tahun, dari 60,3 juta orang menjadi 69,1 juta orang pada 2021.

Tren Kementerian Kesehatan juga melaporkan jumlah perokok di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dalam kurun 2013-2019, terutama usia anak dan remaja.

Jumlah itu sejalan dengan hasil survei dari Global Youth Tobacco pada 2019 bahwa peningkatan prevalensi perokok pada usia sekolah, 13-15 tahun naik dari 18% menjadi 19%.

Penelitian membuktikan bahwa ketika merokok dimulai pada umur 11 tahun atau lebih muda, seseorang akan lebih cenderung menjadi perokok berat.

Mereka akan merokok secara teratur daripada perokok yang mulai merokok pada usia yang lebih tua. Dengan demikian, perokok remaja bisa dikatakan sebagai calon “pelanggan” tetap industri rokok.

Di kalangan masyarakat, merokok bagi laki-laki sudah menjadi gaya hidup dan merupakan hal yang biasa dilakukan. Sementara untuk perokok perempuan, angkanya diprediksi selalu bertambah setiap tahun, walau dianggap bukan hal yang biasa dan kerap diyakini sebagai orang-orang yang menentang norma masyarakat.

Riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengungkapkan hasil riset bahwa para remaja bisa menghabiskan uang sekira Rp 30.000-Rp 200.000 per pekan hanya untuk rokok.

Pola merokok remaja Indonesia itu dapat diartikan bahwa pengguna rokok eceran berada di fase eksperimen menurut lima tahap kecanduan nikotin.

Sementara temuan kualitatif, riset tersebut mengungkap[1]kan, 7 dari 10 siswa membeli rokok eceran saat mencoba merokok untuk pertama kalinya. Siswa meng habiskan setidaknya separuh uang saku mingguan mereka untuk produk tembakau.

Rokok bikin kiamat semakin dekat

Dari sudut pandang kesehatan, merokok berbahaya bagi tubuh, tidak terkecuali bagi remaja. Mencegah kebiasaan merokok adalah langkah awal menghindari risiko serius ini.

Dalam sebatang rokok terkandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun yang berbahaya, 43 di antaranya bersifat karsinogenik, dengan komponen utama nikotin (zat berbahaya penyebab kecanduan), tar (bersifat karsinogenik), dan CO (menurunkan kan[1]dungan oksigen dalam darah).

“Penggunaan tembakau adalah salah satu penyebab utama kematian yang dapat dicegah di seluruh dunia. Tembakau sebagai bahan utama rokok dikaitkan dengan beberapa masalah kesehatan termasuk penyakit jantung dan kardiovaskular dan banyak penyakit berbahaya lainnya. Merokok juga dapat merusak lingkungan dan berkontribusi terhadap perubahan iklim, menghabiskan sumber daya, dan merusak ekosistem”, kata Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia, Esti Nurjadin.

Kenapa negara tidak mengatur peredaran rokok?

Rokok menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi itu melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam. Pemerintah terus berupaya mengendalikan rokok. Salah satu caranya yakni memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rokok sebesar 10% pada 2023 dan 2024. Apakah itu berhasil mengendalikan perokok di Indonesia?

Pemerintah memutuskan menaikkan tarif cukai guna mengendalikan baik konsumsi maupun produksi rokok. Harapannya, kenaikan cukai rokok dapat berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kenaikan tarif CHT pada golongan Sigaret, Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) akan berbeda sesuai golongannya.

Kenaikan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 %-11,75 %, Kenaikan SPM I dan SPM II antara 11%-12%, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen.

Selain itu, Jokowi meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Untuk rokok elektrik, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.

“Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL,” kata Sri Mulyani.

Anak-anak sudah dihajar rokok sejak awal kehidupan

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Radityo Prakoso, mengharapkan Jokowi bersikap tegas mengenai RPP Kesehatan.

"Aturan pengamanan zat adiktif yang komprehensif dalam RPP Kesehatan sangat penting. Kami yang paham bagaimana di lapangan, kami harus menghadapi pasien yang sudah sakit parah akibat merokok," tuturnya.

Harapan senada diungkapkan Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari yang menilai anak-anak Indonesia belum sepenuhnya menikmati lingkungan sehat bebas asap rokok, bebas paparan iklan rokok, serta mendapat perlindungan dari kemudahan akses rokok. Padahal, Indonesia sudah 34 tahun meratifikasi Konvensi Hak Anak pada 1989 oleh Majelis Umum PBB.

Menurut Lisda, sejak awal kehidupan, anak-anak sudah terdampak asap rokok di rumah. Ia mengutip penelitian Universitas Indonesia dan Imperial College London Inggris yang menunjukkan prevalensi perokok pasif dalam rumah di Indonesia mencapai 78,4%, sangat tinggi dibanding negara lainnya di Asia, seperti China (48,3%), Bangladesh (46,7%), dan Thailand (46,8 persen).

Selain di rumah, anak-anak juga terpapar asap rokok di tempat umum (67%) dan di sekolah (56%). Situasi ini, kata Lisda, bertentangan dengan sejumlah pasal dalam KHA yakni Pasal 24 tentang hak kesehatan tertinggi, Pasal 6 KHA tentang hak atas kehidupan, pasal 17 tentang perlindungan dari informasi yang membahayakan kesejahteraan dan Pasal 3 tentang kepentingan terbaik bagi anak.

Iklan rokok, di mana saja ada

Ia juga menyorot kewajiban negara melindungi anak dari informasi dan materi yang dapat membahaya kan kesejahteraannya. Anak Indonesia tidak terlindungi dari paparan asap rokok dan pemasaran industri tembakau.

"Dokumen industri rokok sudah mengakui bahwa iklan, promosi, serta sponsor rokok dalam berbagai acara musik, film dan olahraga, memang ditujukan untuk menarik perhatian dan mempengaruhi kaum muda merokok, tanpa mereka sadari,” ujarnya.

Lisda merujuk data Global Youth Tobacco Survey WHO 2019 yang menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia terpapar iklan rokok di televisi (65,2%), di tempat penjualan (65,2%), media luar ruang (60,9%), serta di media sosial dan internet (36,2%).

“Dari data tersebut jelas menunjukkan pentingnya melakukan pelarangan menyeluruh terhadap iklan, promosi dan sponsor rokok untuk melindungi anak dari target pemasaran industri rokok,” kata Lisda.(Endah Asih, Muhammad Ashari, Satrio Widianto)***

Sentimen: negatif (100%)