Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: BRI
Hewan: Ayam
Institusi: UNPAD, ITB
Kab/Kota: bandung, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, Solo, Sumedang
Tokoh Terkait
Rita Indriany dan Citanya Membawa Batik Jawa Barat Go Global
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Pagi itu, suasana Coworking Space Rumah BUMN Bandung sedikit berbeda dari biasanya. Masih dengan udara dingin khas Bandung, bangunan di Jalan Jurang, Kota Bandung, Jawa Barat itu ramai oleh sejumlah perempuan yang menenteng mesin jahit portabel mereka.
Rita Indriany, pemilik jenama Batik Acuksae sedang mengadakan Creativepreneur Workshop Membuat Clutch Bag & Vest, di Rumah BUMN, Kamis, 14 November 2023.
Pesertanya mayoritas perempuan dari berbagai latar belakang. Ada yang hobi menjahit, ada yang sudah berkecimpung di dunia produksi fesyen, sampai yang baru pertama kali mencoba mesin jahit. Peserta mayoritas datang dari Kota Kembang tetapi ada salah satu peserta yang rela datang jauh dari Garut, Jawa Barat.
Rita melatih para peserta dengan membekali mereka pola dan seperangkat bahan perlengkapan untuk siap dijahit menjadi clutch bag dan outer kimono. Setiap tahap diiringi pemaparan singkat, untuk segera dipraktikkan, lalu Rita kontrol dan bimbing masing-masing tiap peserta. Tak terasa, hari mulai siang dan sudah waktunya istirahat makan siang, tapi peserta enggan beranjak meski sekotak nasi telah dihidangkan di samping garapan mereka.
“Memang kalau sudah pelatihan, kadang sering lupa makan, lupa waktu. Inginnya fokus saja nyelesein (menyelesaikan),” kata Rita terkekeh memulai sesi wawancara dengan Pikiran-rakyat.com.
Perempuan yang akrab disapa Ambu itu sering menggelar pelatihan menjahit batik, untuk menjadi produk fesyen atau kerajinan. Sebulan terakhir ini saja, ia rutin melatih pembuatan craft batik di Dekranasda Jawa Barat dan Rumah BUMN Bandung.
Secara spesifik, ia menggunakan bahan batik Jawa Barat dalam setiap karya yang dihasilkan maupun dalam pelatihan. “Karena saya tinggalnya di Jawa Barat,” kata dia berkelakar, saat ditanya kenapa harus pakai batik Jawa Barat.
Petualangan mencari batik terbaik di Jawa Barat
Para peserta memerhatikan cara merekatkan pola bagian dalam dan luar clutch, dalam Creativepreneur Workshop “Membuat Clutch Bag & Vest”. Pikiran-Rakyat.com/Gita Pratiwi
Kecintaan Rita terhadap batik sudah tumbuh sejak kecil. Apalagi koleksi kain batiknya pun berlimpah, dimiliki dari keluarganya secara turun-temurun. Berbekal mesin jahit milik ibunya, ia bisa dan terbiasa membuat pakaiannya sendiri, termasuk dari batik.
Bak Sangkuriang yang menyelesaikan pekerjaan dalam semalam, ia sering membuat baju tepat semalam sebelum acara yang hendak ia hadiri keesokan harinya.
“Saya tuh suka banget recycle (daur ulang) baju yang sudah ada dari kecil. Kayak celana jins yang robek, pasti saya apa-apain. Modal teu daek cicing (tidak bisa diam) aja,” kata Ambu.
Dalam mencari batik terbaik di Jawa Barat, ia memiliki kisah petualangan tersendiri. Setelah menikah, ia harus pindah ke daerah yang terbilang belum begitu maju pada 2015. Sementara suaminya yang bekerja di sektor telekomunikasi dan informatika, sangat membutuhkan ketersediaan sinyal internet.
Ambu Rita dan suami memutuskan untuk sering bepergian ke pelosok-pelosok di Jabar, sambil menunggu jaringan internet di kediamannya tersedia secara optimal.
“Ternyata setahun lamanya menunggu internet. Selama setahun itulah saya traveling. Kalau traveling, saya sukanya ke pasar, mencari yang unik dan khas daerah situ. Dan, ketemulah pengrajin-pengrajin batik di tiap daerah,” ujar Ambu Rita.
Betapa terkesiapnya dia menemukan bahwa jenis motif batik khas tanah Sunda yang ribuan jumlahnya.
Akhirnya ia jatuh hati kepada batik Jabar karena variasinya yang kaya, dengan warna-warna yang mencolok seperti biru, merah, oranye, pink, dan lainnya.
“Saya suka tuh warnanya. Banyak sekali ragamnya,” ujar Ambu yang saat diwawancara mengenakan batik khas Cirebon merah, dengan kombinasi motif kumeli dan ayam. “Saya gak mau ada kesan batik itu baju tidur.”
Meski ia berkuliah di PAAP (kini program studi Administrasi) Universitas Padjadjaran, renjananya di bidang fesyen cukup kuat. Ia sempat menjalani ujian dan lulus sertifikasi penggambar batik dari Kemenparekraf dan beroleh sertifikasi fesyen serta pakaian jadi Kemenperin.
Pada akhir petualangannya menyusuri pelosok Jabar, Rita dan suami memutuskan mendirikan jenama fesyen yang produknya dihasilkan secara kerja sama dengan para perajin batik di Jabar. Saat ini, ia lebih banyak menjalin kerja sama dengan perajin batik Tasikmalaya dan Cirebon.
Kekayaan macam batik Jawa Barat
Semesta batik Jawa Barat sangatlah luas dan motif yang dilukis perajin akan sangat relevan dengan khas daerah asal batiknya. Peneliti ITB, Yan Yan Sunarya, dalam Strategi Adaptasi Visual pada Ragam Hias Batik Sunda (2018) memaparkan, contoh motif yang diadaptasi sebagian besar masyarakat di Priangan timur–khususnya Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Di sana, motifnya menonjolkan kehidupan masyarakat agraris. Tak heran, motif flora dan fauna, seperti bangau rawa, manggis, kopi, kupu-kupu, daun singkong, hingga ragam bebatuan menjadi corak khasnya.
Memang, kata Yan Yan kemudian, pengaruh ragam hias batik Yogyakarta dan batik Solo juga masih ditemukan di produksi batik Priangan timur. Misalnya, motif kawung, rereng, limar, sidomukti sederhana, kerap ditemukan.
Lain halnya dengan seni batik di Cirebon. Wuri Handayani dalam jurnal yang diterbitkan ISBI tahun 2018, secara garis besar menjelaskan bahwa ada dua ragam hias yakni batik Pesisir dan Keraton.
Batik Pesisir Cirebon mengangkat flora dan fauna sebagai ragam motifnya seperti ikan, kerang, ganggang, kancil, kuda, sampai pepohonan dan daun–daunan. Sementara khas batik Keraton mengangkat ornamen batu–batuan (batu cadas), bangunan (artefak), yang ada di sekitar Keraton.
Ambu Rita memilih bekerja sama dengan perajin batik Tasik dan Cirebon lantaran macam batik Jawa Barat yang kaya dan kesiapan perajin yang mumpuni.
“Satu, pengrajin (yang bekerja sama untuk suplai bahan) kita itu siap. Siap secara tempat, material, dan SDM. Saya juga investasi canting di sana, karena saya mau memakai desain motif tertentu yang jadi khas Acuksae,” katanya.
Yakin dengan usaha apa yang akan ia buat, Ambu Rita mulai sering mendokumentasikan hasil karyanya, lalu mengunggah fotonya ke media sosial Instagram, Pinterest, dan marketplace Qlapa. Di sanalah, sejak 2015, ia menemukan banyak konsumen.
Saatnya UMKM bersaing dengan negara lain
Serius memasarkan karyanya, instansi di Pemerintahan Kota Bandung meliriknya untuk jadi binaan dan mengisi pelatihan. Rita juga giat mencari tahu aktivitas yang mengumpulkan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) supaya bisa dilatih dan melatih, sampai tak segan ikut forum ini-itu supaya nilai dan pengetahuan mengenai dunia usaha meningkat. Aneka pameran pun ia jajal demi ruang promosi kian terbuka luas.
Seiring bertambahnya kebutuhan produksi, ia pun mengambil program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari BRI. Sebagai syarat, unit usahanya mesti bankable. Untunglah, dengan optimalisasi penggunaan teknologi, ia tak pernah luput mencatatkan laporan keuangan, pencatatan penjualan, aset, hingga data konsumen.
Dengan sering menggelar pelatihan, ia tidak khawatir banyak pelaku UMKM akan meniru desain dan cara kerjanya dalam memproduksi fesyen dan kriya.
Rita tak mau ambil pusing dengan kompetisi yang mungkin hadir antara dia dan alumnus pelatihannya. “Persaingan mah bukan antar-UMKM tapi negara lain,” ucap dia.
Menurut Supriatna, Koordinator Rumah BUMN Bandung, sudah 6.018 UMKM yang bergabung menjadi mitra binaan Rumah BUMN Bandung. Para mitra bisa memanfaatkan tempat/coworking space, seperti Acuksae.
Selain pemanfaatan fasilitas kerja dan tempat, UMKM binaan juga mendapat pelatihan berkala. Rumah BUMN turut melatih dalam BRIncubator, yang melalui program ini, UMKM dibekali kemampuan menyusun rencana bisnis, pitching deck, sehingga siap mendapatkan pendanaan.
“Banyak alternatif (permodalan) untuk UMKM tuh. Gak hanya dari pinjaman tapi juga menang kompetisi bisnis, dapat investor, dana hibah, dan sebagainya. Yang penting UMKM siap dulu,” kata Supriatna sata ditemui di kantornya.
Dengan slogan Go Modern, Go Digital, Go Online, Go Global, Rumah BUMN memiliki target agar UMKM dapat melek dalam mengemas, memasarkan secara daring, bertransaksi secara digital, hingga mampu mengekspor karyanya.
“UMKM di sini banyak dibina agar go modern, memanfaatkan media sosialnya, dikenalkan juga ke marketplace, dan ke depannya, inginnya UMKM bisa ekspor,” tuturnya.
Supriatna memaparkan, pelaku UMKM fashion dan craft menjadi bidang terbesar kedua dan ketiga setelah makanan, yang dibina di Rumah BUMN Bandung. Baru-baru ini, produk food dari UMKM binaan berupa bronis bebas gluten diekspor ke Singapura dan Kanada.***
Sentimen: positif (100%)