Sentimen
Negatif (100%)
30 Nov 2023 : 10.00
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Tokoh Terkait

Politisi, Belajarlah dari Para Pendiri Bangsa

30 Nov 2023 : 10.00 Views 40

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Politisi, Belajarlah dari Para Pendiri Bangsa

MEMASUKI masa kampanye Pemilihan Umum 2024, diskursus publik semakin panas dan provokatif, yang tak jarang berujung konflik personal.

Di panggung politik nasional perseteruan dipertontonkan oleh elite politik secara gamblang.

Begitu juga di dunia maya, di room chatting virtual kerap kita baca perdebatan yang di antaranya hingga menyerang pribadi, bahkan umpatan atau makian.

Ada yang akhirnya memilih keluar dari grup virtual itu dan saling memblokir nomor kontak, tidak sedikit yang berujung pada proses hukum, saling melapor ke polisi.

Fenomena yang mengiringi majunya teknologi digital, era disrupsi, dengan berbagai platform komunikasi, yang nyatanya tidak linier dengan perilaku pengguna.

Padahal dalam komunikasi virtual lewat room chatting kerap ada keterbatasan dalam menangkap satu pesan secara utuh antara pemberi dan penerima pesan.

Karena tak ada ekspresi, mimik dan intonasi, bisa saja satu sikap lewat chatting virtual yang sebetulnya bercanda, justru ditanggapi serius, atau sebaliknya.

Apalagi bila yang terlibat komunikasi belum pernah bertemu dan saling mengenal karakter masing-masing, tentu bisa salah dalam mengambil satu kesimpulan.

Dalam sejumlah perdebatan, perbedaan pendapat tak jarang berakhir dengan permusuhan. Polarisasi politik kian mengemuka dan mengental.

Itulah mengapa bila di room virtual atau media sosial warganet harus open minded. Kalangan terdidik justru harus memanfaatkan kanal ini dengan positif, hadirkan persatuan, alih-alih memantik perpecahan.

Soal ini, kita generasi hari ini, terutama para politisi baiknya belajar banyak dari apa yang terlihat dalam interaksi dan komunikasi politik para founding fathers, pendiri bangsa, mereka memberikan standar tinggi.

Ada banyak cerita inspiratif, bila melihat perilaku politisi dan pejabat publik masa lalu. Di sana tercermin betapa mereka punya hati dan pikiran yang lapang.

Mereka berdebat keras sampai berjam-jam untuk mempersoalkan hal mendasar. Ketika beradu argumentasi, wajah mereka kerap terlihat merah padam. Namun, tak pernah satu pun dari mulut mereka meluncur perkataan kasar, apalagi makian.

Mereka tetap santun dan bisa menjaga sikap. Pemimpin nasional generasi awal kemerdekaan terlatih menggunakan logika, perdebatan menonjolkan argumen, bukan sentimen.

Antara/Dok. Keluarga Mohammad NatsirMantan Perdana Menteri Mohammad Natsir, misalnya, dalam berbagai forum tak pernah berkata kasar atau menyerang secara personal. Natsir bahkan gentleman mengakui bila ada kelebihan dari lawan debatnya.

Seperti diceritakan oleh Lukman Hakiem yang pernah menjadi staf Natsir pada dekade 1950-an.

Natsir ketika itu sebagai pemimpin Partai Masyumi kerap terlihat berdebat keras dengan DN Aidit (Ketua Umum PKI) dalam sidang di Badan Konstituante.

Dalam satu sidang, Natsir sebenarnya sudah merasa sangat kesal pada Aidit yang terus ‘ngeyel’ dengan pendapatnya. Apalagi, mereka sebelumnya sudah debat berjam-jam soal bentuk dasar konstitusi negara.

“Pak Natsir mengaku saat itu sangat kesal. Beliau merasa sudah ingin melempar Aidit dengan kursi yang ada di dekatnya. Tapi, dia terus berusaha menjaga perkataan," carita Lukman (Republika, 06 April 2015).

Menurut Lukman, Aidit pun demikian, wajahnya sudah memerah. Meski begitu, keduanya tetap bisa menjaga hati, mengunci rasa amarah yang bergejolak. Perdebatan sengit baru usai ketika sidang di-break.

Begitu sidang dihentikan sementara untuk rehat, Natsir mencari tempat duduk di kantin. Baru saja Natsir duduk, tiba-tiba Aidit datang dengan dua gelas kopi. Satu gelas untuk Natsir dan satu gelas untuknya.

Sentimen: negatif (100%)