Capres 2024 Tak Peduli dengan Pekerja Rumah Tangga, RUU PPRT Dilupakan
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum disahkan menjadi UU meski prosesnya sudah memakan waktu berbulan-bulan di DPR. Di sisi lain, saat ini, tidak ada satu pun pasangan calon presiden/wakil presiden yang memberikan pernyataan tentang perlindungan PRT.
"Tanpa kerja-kerja PRT, pemilu dan pilpres tidak bisa berjalan. Dan, tak ada satupun capres bicara soal PRT, sementara mereka ndak bisa nyapres tanpa ada PRT," kata Koordinator Jaringan Advokasi Nasional PRT (Jala PRT), Lita Anggraini, Sabtu, 25 November 2023.
RUU itu memang sudah ditetapkan menjadi RUU Inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan dorongan masyarakat untuk kebutuhan adanya UU yang melindungi PRT, proses untuk RUU PPRT itu sudah memakan waktu 20 tahun.
Lita mengatakan, sampai saat ini, RUU PPRT belum juga diagendakan oleh Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk dibahas pada tingkat lanjutan supaya bisa disahkan. RUU masih tersangkut di petinggi-petinggi DPR yang mulai sibuk untuk pemilu.
"Masih ditahan di meja Ketua DPR. Ketua Fraksi PDIP masih keberatan, sehingga Bamus belum mau mengagendakan, padahal tinggal selangkah lagi. Jangan sampai karena Pilpres dan semua sibuk Pemilu, RUU PPRT disandera," ucap Lita.
Ia pun menyesalkan, meski peran PRT penting bagi para politisi, tapi RUU tidak diprioritaskan. Para pasangan calon di pilpres pun tidak ada yang menyuarakan untuk hak dan perlindungan PRT.
Perjalanan RUU PPRT
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam koalisi sipil untuk UU PPRT membawa lilin saat melakukan aksi di depan Gerbang DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (16/3/2023). Koalisi sipil untuk UU PPRT menuntut agar pimpinan DPR menetapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai RUU Inisiatif DPR pada rapat paripurna mendatang.
Setelah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR, RUU PPRT pun tidak langsung menemui jalan mulus. Pemerintah juga terkesan lambat merespons dengan segera melakukan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM). Padahal, pemerintah sudah memiliki gugus tugas untuk pembahasan RUU PPRT itu sejak Agustus 2022.
Gugus tugas itu berisikan unsur dari beberapa kementerian/lembaga. Lembaganya adalah Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kantor Staf Presiden, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung.
Pemerintah baru menyatakan DIM telah selesai pada 15 Mei 2023. DIM itu mengalami penambahan setelah melalui berbagai pembahasan. Dari 238, DIM itu kemudian berjumlah 367 setelah berkoordinasi dengan lintas kementerian/lembaga serta hasil dari serap aspirasi.
Perkembangan pada bulan Agustus 2023, RUU PPRT masih "disandera" oleh Bamus DPR yang terdiri dari pimpinan DPR dan pimpinan fraksi. Saat itu, RUU bahkan belum bisa masuk ke pembahasan tingkat 1.
Lita mengatakan, konstelasi politik jelang pemilu harusnya tidak menyandera pembahasan RUU PPRT. Apalagi, para pelaku di seputar pelaksanaan pemilu bisa melaksanakan kegiatannya karena peran PRT di rumahnya masing-masing.
Ia mengatakan, wakil rakyat saat ini yang menjadi bakal calon legislatif harus berkampanye dan harus mengunjungi daerah pemilihan tentu saja harus meninggalkan pekerjaan rumah ke PRT. Karena itu, seharusnya para wakil rakyat memikirkan nasib PRT dan segera membahas serta mengesahkan RUU PPRT menjadi UU.
"Semua tugasnya bisa berjalan karena ada PRT yang mengurus rumahnya. Apa mereka membersihkan rumahnya sendiri? Semua karena PRT. Tapi mereka lupa kepada PRT," ujarnya.
RUU itu pun ditargetkan untuk bisa disahkan pada tahun ini. Akan tetapi, belum juga ada perkembangan sampai dengan pekan ke-4 bulan November 2023.
RUU PPRT jadi kebutuhan mendesak
Menurut Lita, RUU PPRT sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk segera disahkan. Semakin ditunda, hal itu berarti menunda para PRT untuk terlindungi dari kekerasan dan kemiskinan yang berkelanjutan.
Di Indonesia, berdasarkan data yang diungkapkan Jala PRT, ada sekitar 4 juta-5 juta PRT. Mayoritas adalah perempuan yang berasal dari warga miskin dan penopang perekonomian.
Data Jala PRT di tahun 2023, dari 2.641 kasus kekerasan yang dialami PRT, sebanyak 79 persen menunjukkan bahwa korban tidak bisa menyampaikan situasi kekerasan yang dialaminya. Hal itu dikarenakan akses komunikasi yang ditutup, mulai meningkatnya intensitas kekerasan, dan berujung pada situasi korban yang fatal.
"Kami menyesalkan, merasa prihatin atas proses RUU PPRT yang mendesak untuk disahkan, namun DPR terus menunda dan menunda, memposisikan 4 sampai dengan 5 juta PRT mayoritas perempuan, warga miskin dan penopang perekonomian nasional, sebagai warga yang terus menerus ditinggalkan, dipinggirkan, dan dianggap wajar mengalami kekerasan perbudakan," katanya.
Padahal, kata dia, pembahasan yang serius antara DPR dan pemerintah akan menghasilkan UU yang bermanfaat dan implementatif di lapangan. Utamanya supaya Indonesia menjadi negara dan bangsa yang ramah dan berkemanusiaan, berkeadilan, tanpa ada pengecualian terhadap PRT.
Lita menuturkan, sampai RUU PPRT disahkan, Aliansi Mogok Makan Desak Pengesahan RUU PPRT akan terus melakukan aksinya. Aliansi itu diikuti beberapa organisasi sosial masyarakat seperti Jala PRT, Perempuan Mahardhika, YLBHI, LBH Jakarta, Kalyanamitra, dan Koalisi Perempuan Indonesia. Aksi itu sudah dilakukan sejak beberapa bulan yang lalu, termasuk dengan aksi mogok makan.***
Sentimen: negatif (94.1%)