Sentimen
Negatif (97%)
20 Nov 2023 : 16.36
Informasi Tambahan

Kasus: covid-19, Tipikor, nepotisme, korupsi

Penjara Impian Menjadi Negara Maju, sebuah Opini Aloysius Gunadi Brata

20 Nov 2023 : 16.36 Views 1

Koran-Jakarta.com Koran-Jakarta.com Jenis Media: Nasional

Penjara Impian Menjadi Negara Maju, sebuah Opini Aloysius Gunadi Brata

INDONESIA memiliki mimpi besar untuk keluar dari middle income trap (MIT) dan menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045, tepat saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan atau Indonesia Emas 2045. Untuk menjadi negara maju berarti harus meningkatkan pendapatan yang diukur dengan Gross National Income (GNI). Tahun 2022, GNI Indonesia sebesar US$ 4.580 sehingga Indonesia bisa kembali berstatus Upper-Middle Income Country (UMIC). Meskipun angka ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan selama beberapa waktu belakangan, namun capaian tersebut masih jauh dari kebutuhan menjadi negara berpendapatan tinggi.

Impian tersebut tentu bukan hal yang salah, tetapi realitasnya adalah bahwa Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius yang dapat menghambat pencapaian posisi menjadi negara berpendapatan tinggi. White Paper LPEM UI yang dirilis belum lama ini menegaskan hal-hal yang harus dipenuhi untuk dapat mewujudkan impian tersebut. Disebutkan bahwa pembangunan harus inklusif, resilien dan berkelanjutan. Prasyarat utamanya (necessary condition) adalah sumber daya manusia unggul, sementara institusi/kelembagaan yang inklusif dan tatakelola yang kuat merupakan prasyarat cukup (sufficient condition).

Bum Kim (2023) dalam studinya (How to Escape the Middle-Income Trap: Lessons for the ODA Policy) juga menyimpulkan kendati total factor productivity (TFP) memang masih sangat penting, namun konfigurasi dari faktor-kelembagaan seperti supremasi hukum, hak milik, anti-korupsi, dan lembaga demokrasi adalah prasyarat cukup untuk benar-benar lepas dari MIT. Karena konteks studinya adalah bantuan luar negeri, implikasi yang disebutkan oleh Kim adalah bahwa yang dibutuhkan bukan hanya bantuan finansial tetapi juga bantuan kelembagaan.

Penjara Impian

Optimisme memang boleh untuk terus dijaga, namun secara bersamaan harus disadari juga bahwa banyak pekerjaan rumah di aspek-aspek kelembagaan. Jangan sampai impian Indonesia Emas 2045 justru terpenjara oleh kelembagaan yang tampak tidak mendukung, padahal merupakan prasyarat cukup.

Rule of Law Index yang diterbitkan oleh World Justice Project memberikan pandangan yang penting tentang kualitas taat hukum di negara ini. Supremasi hukum dalam indeks ini diukur melalui 8 faktor: Pembatasan Kekuasaan Pemerintah, Bebas Korupsi, Pemerintahan Terbuka, Hak-Hak Dasar, Ketertiban dan Keamanan, Penegakan Peraturan, Peradilan Perdata, dan Peradilan Pidana.

Baca Juga :

Keren, Pemotor Tunggal Indonesia Tur Afrika-Eropa Kenalkan Bali

Laporan terbaru 2023 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat 66 dari 142 negara yang dinilai. Skor yang diperoleh Indonesia adalah 0,532 dari skala 0 hingga 1. Secara global, memang terjadi penurunan indeks supremasi hukum sejak 2019. Skor rata-rata global indeks supremasi hukum 2023 di angka 0,551, turun dari 0,553 (2022) dan 0,558 (2019). Indeks Indonesia tampak masih di bawah rata-rata global, dengan tren sedikit meningkat yakni tahun 2019 sebesar 0,521. Ini sekaligus menunjukkan bahwa masih ada ruang besar untuk perbaikan dalam hal taat hukum yang harus dilakukan di Indonesia.

Kemudian, berdasarkan Democracy Index 2022 yang dikeluarkan oleh Economist Intelligent Unit (2023), indeks demokrasi Indonesia adalah 6,71 tahun 2022, atau tidak ada perubahan. Dari sisi peringkat, lebih baik dari Thailand (denga skor 6,67) dan lebih buruk dari Filipina ( dengan skor 6,73) dengan catatan bahwa kedua negara tetangga ini mengalami perbaikan indeks masing-masing 0,63 dan 0,11.

Dalam Analisis Indeks Geo V yang disusun Lemhanas (Juli 2022) disebutkan bahwa dengan indeks sebesar 6,71, Indonesia berada di kategori "Flawed Democracy" atau "Demokrasi Terbatas". Menurut Freedom in the World 2023 oleh Freedom House, Indonesia masuk ke dalam kategori "Partly Free" atau "Bebas Sebagian", dengan skor total 58/100, masing-masing 30/40 untuk Hak Politik dan 28/60 untuk Kebebasan Sipil. Tahun sebelumnya, skor total adalah 59/100.

Sementara itu, peringkat Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2022 yang dikeluarkan oleh Transparency International, Indonesia memiliki skor indeks persepsi korupsi (IPK) 34 dari skala 0-100. Skor ini menjadikan Indonesia sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara, peringkat 7 dari 11 negara, dan menjadi bagian dari kelompok negara yang korup di dunia. Skor ini juga lebih rendah 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan ini disebutkan oleh TI Indonesia sebagai yang paling drastis sejak 1995. Lebih-lebih lagi hal ini dibaca pula sebagai bukti lambannya Indonesia untuk menekan korupsi terutama korupsi politik dan korupsi pengadilan, sebagai akibat dari minimnya dukungan nyata dari para pemangku kepentingan. Korupsi jelas merusak integritas institusi, mendegradasi kepercayaan di antara masyarakat, dan menimbulkan banyak hambatan bagi aktivitas produktif sehingga merugikan ekonomi dan masyarakat pada umumnya.

Makin Memburuk

Jelaslah bahwa kualitas kelembagaan yang ada belumlah memadai untuk membuka peluang mewujudkan mimpi Indonesia keluar dari MIT. Impian tersebut mungkin makin menjadi sekedar mimpi, bila dikaitkan dengan peristiwa demi peristiwa akhir-akhir ini. Bukan hal baru kalau disebutkan bahwa nepotisme masih menjadi urusan yang tidak selesai di Indonesia dan kini tampak kembali menguat.

Satu artikel di Foreign Policy (9/11/2023) misalnya, berjudul "Indonesia's Presidential Elections Are an Exercise in Nepotism". Artikel tersebut mengungkap neoptisme di kelembagaan politik di Indonesia bahkan teramat telanjang. Praktik korupsi pun tak tampak berkurang. Bahkan pandemi Covid-19 pun menjadi ajang tindak korupsi. Perkiraan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah dalam tindak pidana korupsi pengadaan alat pelindung diri saat pandemi Covid-19 (Kompas, 10/11/2023).

Lantas, susah diterima akal kalau perkembangan sekarang dianggap sebagai penanda bahwa demokrasi semakin membaik. Maka banyak yang menilai bahwa terjadi justru sebaliknya, yakni makin memburuk. Prasyarat cukup untuk dapat lepas dari MIT adalah kelembagaan yang baik, sehingga apakah mungkin meraih posisi menjadi negara berpendapatan tinggi justru dengan memenjarakan kualitas kelembagaan? Wallahualam.

Baca Juga :

Berita Gembira, KPK Sebut Keanggotaan Indonesia di FATF Penting Untuk Berantas Korupsi

*) Aloysius Gunadi Brata, dosen Prodi Ekonomi Pembangunan UAJY dan Kepala Lab Ekonomi Bisnis UAJY.


Redaktur : Eko S

Penulis : Eko S

Sentimen: negatif (97%)