Sentimen
Positif (80%)
6 Nov 2023 : 01.25
Informasi Tambahan

Institusi: ICJR, Imparsial

Kab/Kota: Malang, Solo

Kasus: HAM, nepotisme, korupsi

Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Pergantian Panglima TNI oleh Jokowi: Ada Fenomena Nepotisme

6 Nov 2023 : 01.25 Views 9

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Pergantian Panglima TNI oleh Jokowi: Ada Fenomena Nepotisme

PIKIRAN RAKYAT - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mensinyalir adanya fenomena nepotisme dalam pergantian Panglima TNI oleh Presiden Joko Widodo menjelang Pemilu 2024. Pergantian itu diduga terkait kepentingan Jokowi yang kini cawe-cawe dalam pemilihan presiden.

Kepentingan sang presiden juga diduga untuk memenangkan salah satu kandidat pemilihan presiden sekaligus memberikan keuntungan pada anaknya, Gibran Rakabuming Raka yang menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto selaku kandidat presiden.

Jokowi telah mengusulkan nama Agus Subiyanto pengganti Laksamana TNI Yudo Margono sebagai Panglima TNI. Usulan tersebut karena masa jabatan Panglima TNI saat ini akan segera berakhir pada akhir bulan November 2023.

Koalisi menilai, pergantian panglima sejatinya menjadi jalan rotasi dan regenerasi jabatan di tubuh TNI secara fair demi kepentingan negara, bukan demi kepentingan pemerintah yang berkuasa. Apalagi jika dijalani dengan cara yang berbau nepotisme. "Sayangnya, justru ini yang kami sinyalir tengah terjadi, yaitu fenomena nepotisme dalam hal pergantian Panglima TNI," kata Julius Ibrani mewakili keterangan tertulis koalisi yang terdiri dari IMPARSIAL, KontraS, YLBHI, Amnesty Internasional, Public Virtue, PBHI, WALHI, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICJR, LBH Pos Malang, Centra Initiative, Setara Institute, ICW, Sabtu, 4 November 2023.

Baca Juga: UU ASN Disahkan, Prajurit TNI dan Polri Bisa Isi Jabatan Sipil di Instansi Pusat

Fenomena nepotisme sangat terasa melihat latar belakang hubungan dekat antara Jokowi dan Agus Subiyanto ketika masing-masing menjabat pimpinan pemerintahan dan Satuan teritorial di Kota Surakarta (Solo). Panglima TNI usulan Presiden yaitu Agus Subiyanto pernah menjadi sebagai Dandim Surakarta ketika Jokowi menjabat Wali Kota di kota yang sama.

Koalisi berpandangan, praktik pergantian panglima yang seperti itu jelas mereduksi kebutuhan regenerasi serta rotasi matra TNI yang diwarnai tujuan dan motif tertentu yang mengarah pada politik praktis. Tujuan dan motif tersebut, yakni kepentingan partisan kelompok yang bersifat jangka pendek. Kepentingan tersembunyi itu, menurut koalisi, sulit dipungkiri menyangkut kepentingan Jokowi yang kini cawe-cawe Pilpres dan memenangkan salah satu kandidat sekaligus memberikan keuntungan pada anaknya, Gibran Rakabumi Raka yang mendampingi Prabowo Subianto sebagai Cawapresnya.

Mengingat Indonesia sedang memasuki tahun politik elektoral, koalisi meminta, pemilihan calon Panglima TNI harus betul-betul didasarkan pada kepentingan rotasi dan regenerasi di dalam tubuh TNI, bukan didasarkan pada kedekatan personal maupun kedekatan dan kepentingan politik.

"Kami memandang, nama Agus Subiyanto rentan dimensi politisnya. Usulan nama itu juga punya potensi besar disalahgunakan Presiden untuk Kontestasi pemilu 2024." Soalnya, latar belakang Agus Subiyanto yang merupakan mantan Dandim Surakarta pada 2011. Saat itu, Jokowi juga menjabat sebagai wali kota di sana. Agus juga mantan Danpaspampres. Kendati Jokowi sudah tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden, dalam kontestasi mendatang terdapat anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka yang akan berkontestasi dalam pemilu mendatang.

Baca Juga: Agus Subiyanto Calon Panglima TNI akan Jalani Fit and Proper Test, Catat Tanggalnya

Oleh karena itu, masyarakat luas patut ikut mengkhawatirkan adanya potensi politisasi institusi TNI dalam kontestasi Pemilu 2024 mendatang. Dalam konteks Pemilu mendatang, koalisi menyatakan TNI harus menyadari perannya sebagai alat negara di bidang pertahanan sebagaimana disebutkan Pasal 5 UU No. 34 tahun 2004. Larangan terlibat dalam politik praktis secara tegas disebutkan dalam Pasal 39 UU No.34 Tahun, menyatakan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik dan kegiatan politik praktis. Oleh karena itu, keterlibatan TNI dalam aktivitas politik atau yang berkaitan dengan itu jelas dilarang dan sebaiknya dihindari.

"Kami memandang bahwa proses pergantian Panglima TNI harus selalu ditujukan sebagai momentum perbaikan internal dalam rangka mewujudkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional, modern dan menghormati HAM." Dalam konteks tersebut, meskipun pergantian panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, menjadi penting otoritas tersebut dijalankan secara bijak dan akuntabel. Pergantian panglima TNI bukan hanya tentang pergantian sosok pimpinan, tapi yang jauh lebih penting adalah hal tersebut juga akan mempengaruhi baik-buruknya dinamika dan wajah TNI ke depan.

Proses pergantian panglima TNI dalam suasana kontestasi politik ini sudah seyogyanya bebas dari kepentingan yang pragmatis-politik. Presiden dan DPR harus menghindari dan meninggalkan pola pragmatif-politis dalam pergantian panglima TNI, seperti mempertimbangkan unsur kedekatan dengan lingkaran kekuasaan, kepentingan kelompok, dan keuntungan politik. Pola pergantian yang berbasis pada pragmatis-politis menjadi berbahaya, karena selain menjadikan TNI rentan dipolitisasi juga menggerus profesionalitas, merusak soliditas internal TNI, dan mengabaikan reformasi TNI.

"Kami memandang alih-alih menggunakan pendekatan pragmatis-politis, pergantian Panglima TNI sudah sepatutnya mengedepankan pendekatan substantif di mana pendekatan yang menempatkan proses pergantian Panglima TNI yang menekankan pada kapasitas dan kapabilitas dalam memimpin TNI. Dalam konteks ini, presiden perlu mencermati secara seksama rekam jejak, prestasi, kompetensi dan integritas calon-calon yang ada, termasuk bebas dari dugaan korupsi, pelanggaran hukum dan kasus HAM." Presiden dapat meminta masukan dari berbagai pihak seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPK, akademisi, masyarakat sipil dan lainnya untuk menilai kualitas calon panglima TNI yang ada.***

Sentimen: positif (80%)