Sentimen
Diplomasi Bahasa, Jangan Sampai Dicuri Negeri Jiran
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2018/05/24/3446084590.jpg)
KONGRES Bahasa Indonesia XII yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 26-28 Oktober 2023 dengan tema “Literasi dalam Kebinekaan untuk Kemajuan Bangsa” baru saja usai.
Selama kongres banyak sub-tema menarik yang dibahas dalam hajat lima tahunan itu. Para pakar bahasa dan sastra bertukar-pikiran ikhwal upaya pemajuan bahasa dan sastra Indonesia.
Namun kali ini ada satu sub-tema yang erat terkait dengan kebijakan luar negeri, yaitu internasionalisasi dan diplomasi bahasa Indonesia.
Awam paham, domain kebijakan luar negeri utamanya mencakup isu politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Diplomasi bahasa jatuh dalam domain diplomasi budaya.
Para pelaku diplomasi mahfum bahwa diplomasi budaya bertujuan memproyeksikan citra bangsa dan negara dengan menggunakan segala macam produk budaya, termasuk bahasa, sebagai instrumen.
Dalam perspektif ini bisa dipahami kemudian jika diplomasi bahasa dilakukan untuk memproyeksikan citra bangsa dan negara dalam pergaulan internasional. Namun citra apa yang hendak diproyeksikan?
Setidaknya ada tiga aras pemikiran untuk mendeskripsikan citra Indonesia dalam konteks diplomasi bahasa Indonesia.
Pertama, dari aspek nilai dan semangat Sumpah Pemuda. Sumpah para pemuda untuk berbahasa satu, bukan sekadar keputusan kebudayaan. Itu adalah keputusan politik.
Untuk menyatukan bangsa, pemuda yang berbahasa mayoritas dengan ikhlas memutuskan bahasa Indonesia—bahasa yang berasal dari satu bagian kecil di Sumatera, tapi luas dipakai dalam komunikasi sosial dan perdagangan antarkepulauan—sebagai bahasa persatuan.
Bahasa Indonesia bukan lagi sekadar lingua franca atau bahasa pengantar pergaulan sosial semata. Ia bukan lagi produk budaya.
Saat itu keputusan ”berbahasa satu” adalah produk politik. Politik persatuan bangsa yang majemuk. Tidak banyak bangsa di dunia yang memiliki satu bahasa persatuan.
Indonesia boleh berbangga karena punya bahasa nasional sendiri yang berasal dari bahasa ibunya.
Di dalam praktik diplomasi, rasa bangga terhadap bahasa Indonesia bisa dinarasikan dengan mengatakan: nilai pemersatu bahasa Indonesia merupakan embrio nasionalisme dan persatuan para pemuda Indonesia dalam membangun konsep “negara bangsa” (nation state) yang bernama Indonesia.
Berkat bahasa Indonesia sebagai produk politik, Indonesia tetap utuh sebagai bangsa yang punya satu bahasa persatuan hingga kini.
Kedua, bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Dalam teori diplomasi publik dikenal dua istilah tentang citra bangsa, yaitu nation branding dan national identity.
Sentimen: netral (88.3%)