Sentimen
Negatif (98%)
29 Okt 2023 : 03.00
Informasi Tambahan

Event: Perang Dunia II

Partai Terkait

Dilema Demokrasi, Benarkah Kedaulatan Rakyat Hanya Ilusi?

29 Okt 2023 : 03.00 Views 12

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Dilema Demokrasi, Benarkah Kedaulatan Rakyat Hanya Ilusi?

PIKIRAN RAKYAT - Lipson mendeteksi bahwa pasca-Perang Dunia II demokrasi telah mengalami pendewasaan dan pematangan yang demikian rupa dengan ditandai oleh semakin berkurangnya perbedaan-perbedaan prinsip mengenai penerapan konsep demokrasi di sejumlah negara.

Gejala ini terjadi di Amerika Serikat di mana perbedaan antara Partai Republik dan Demokrat semakin berkurang, seperti halnya juga antara Partai Buruh dan Konservatif di Inggris, dan Sosial-Demokrat dan Venstre-Konservatif di Denmark serta di negara-negara demokratis pada umumnya.

Gejala itu sekali lagi adalah sesuatu yang baik karena ia menunjukkan bahwa demokrasi semakin matang, dan ini melahirkan kesadaran masyarakat internasional bahwa sejauh ini memang tidak ada sistem lain yang sama baiknya atau lebih baik dari sistem demokrasi. Demokrasi telah berhasil mengatasi persoalan-persoalan tata kelola ekonomi; menghadirkan kesejahteraan; mengurangi bahkan menghilangkan diskriminasi berbasis rasial; menghilangkan sistem kelas, dan sebagainya.

Akan tetapi, gejala ini bukan tanpa (potensi) bahaya di masa depan. Kecenderungan bahwa partai-partai besar di banyak negara (yang selama ini berkompetisi secara tajam menunjukkan dirinya sebagai pilihan yang lebih baik bagi rakyat) semakin mirip satu dengan yang lainnya perlahan akan menegasikan konsep oposisi dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Baca Juga: Dinasti Politik Ancam Demokrasi, Peneliti: Pemilu Harus jadi Tonggak Penting

Sebuah tradisi berdemokrasi yang sebelumnya terbukti efektif dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan dari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau kesalahan-kesalahan manajemen pembangunan oleh pemerintah. Seperti sebuah ungkapan klasik, kaum oposisi pada dasarnya adalah para “advocatus diabolli”, “setan yang menyelamatkan”.

Dengan meminjam hasil pengamatan para ahli lain, Lipson mencemaskan bahwa gejala ini merupakan sinyal kemerosotan demokrasi. Kecenderungan semakin hilangnya perbedaan-perbedaan itu dari waktu ke waktu menurut Lipson akan melahirkan aliansi partai-partai secara permanen di parlemen dan menggantikan praktik sistem multipartai atau sistem dua partai.

Suatu kecenderungan aliansi yang dapat mengonsolidasikan partai-partai itu, sekaligus pada akhirnya menghadirkan rezim satu partai. Inilah dilema pertama dari perkembangan demokrasi, justru pada saat demokrasi sudah sampai pada tahapan pematangannya di abad dua puluh satu ini.

Dilema berikutnya dari demokrasi dalam kesimpulan Lipson bermuara pada tiga permasalahan sekaligus tantangan-tantangan yang lazim ditemui dalam sistem pemerintahan demokrasi berikut ini; Pertama, adanya kecenderungan tirani oleh mayoritas (tyranny of majority). Kedua, sistem demokrasi cenderung menempatkan orang-orang bodoh ke dalam tampuk kekuasaan (the leadership of ignorant). Ketiga, adanya kecenderungan bahwa yang berkuasa sesungguhnya hanyalah sekelompok kecil oligarki (a small group actually rules).

Baca Juga: Demokrasi Milenial: Civic Education Diambil Alih oleh Civic Entertainment

Lipson mendefinisikan tirani sebagai perlakuan brutal atau sewenang-wenang oleh kelompok yang lebih besar terhadap sekelompok kecil orang (kaum minoritas), dan diabaikannya hak-hak mereka sebagai minoritas atau apa yang diyakini minoritas sebagai hak mereka.

Fenomena ini adalah fakta sejarah yang banyak terjadi di negara-negara yang menerapkan sistem demokrasi. Ironisnya, rezim-rezim yang berkuasa karena dukungan mayoritas itu terpilih dan memegang kekuasaan pemerintahan justru melalui suatu pemilihan umum yang demokratis. Dalam konteks ini dapat disimpulkan, bahwa demokrasi sesungguhnya bisa digunakan sebagai instrumen untuk meraih kekuasaan dan memperkuatnya, namun sekaligus pada akhirnya menjadi senjata yang dapat membunuh demokrasi itu sendiri.

Lantas bagaimana agar kecenderungan tirani mayoritas itu tidak terjadi dalam demokrasi di masa depan?

Lipson mengusulkan agar diciptakan suatu mekanisme politik dalam penyelenggaraan pemerintahan yang memungkinkan kelompok minoritas dapat melindungi diri atau bahkan melawan tirani itu dengan cara-cara yang tetap demokratis, di samping dengan terus merawat dan mengembangkan sistem oposisi yang kritis dan konstruktif.

Baca Juga: Regresi Demokrasi dalam Dekapan Kapitalisme Global

Dilema berikutnya, bahwa demokrasi selalu memberi peluang yang terbuka bagi kemungkinan rekruitmen dan penempatan orang-orang bodoh, bebal, bahkan berpotensi despot menjadi penguasa. Ini didasarkan pada konsepsi bahwa pada dasarnya, secara alamiah hanya segelintir manusia yang memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk berkuasa dan memimpin orang banyak.

Masalahnya kemudian, dalam kerangka pikir ini, demokrasi bisa mendorong orang-orang seperti Hitler tampil berkuasa. Kesulitan dilematisnya jelas, bahwa tidak ada suatu cara atau mekanisme apapun yang bisa diberikan oleh demokrasi untuk bisa mendeteksi dan menyeleksi “orang-orang terpilih” yang memiliki pengetahuan, kemampuan serta kepantasan dan kelayakan untuk menjadi penguasa.

“Hukum Besi” demokrasi adalah bahwa sekali orang terpilih menjadi penguasa dalam suatu pemilihan umum, ia sah sebagai penguasa, meski mungkin integritas dan kapabilitasnya jauh dari memadai. Atau moralitasnya jauh dari yang dikehendaki banyak orang.

Dilema yang terakhir, bahwa dalam praktiknya, negara dan sistem pemerintahan demokrasi juga sesungguhnya selalu menghadirkan fakta ironis, bahwa yang berkuasa sesungguhnya hanyalah sekelompok kecil orang (oligarki) dari rezim yang dipilih oleh mayoritas rakyat itu. Rakyat banyak sesungguhnya tidak pernah benar-benar berkuasa.

Kepercayaan bahwa demokrasi artinya kekuasaan berada di tangan rakyat adalah ilusi dan utopia belaka. Dalam situasi oligarki itu, maka menjadi jelas bahwa kepentingan rakyat sesungguhnya tidak pernah benar-benar menjadi prioritas pemerintah. Sebaliknya, yang menjadi prioritas adalah kepentingan kaum oligarki itu sendiri.

Kendati demikian, Lipson masih optimistis bahwa dalam demokrasi, oligarki itu setidak-tidaknya masih dapat dipaksa oleh mekanisme dan tradisi demokrasi untuk memperhatikan aspirasi rakyat, terutama dalam sistem demokrasi multipartai.

Disclaimer: Kolom adalah komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Tulisan ini bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis.***

Sentimen: negatif (98.5%)