Sentimen
Negatif (94%)
4 Okt 2023 : 20.20
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Paris

Kasus: pembunuhan

Partai Terkait

Kasus Kopi Sianida Jessica dan Mirna Ramai Lagi, Hotman Paris: Sejak Dulu Saya Katakan, Tak Ada Bukti Telak

4 Okt 2023 : 20.20 Views 18

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Kasus Kopi Sianida Jessica dan Mirna Ramai Lagi, Hotman Paris: Sejak Dulu Saya Katakan, Tak Ada Bukti Telak

PIKIRAN RAKYAT - Pengacara kondang, Hotman Paris turut menanggapi kasus kopi sianida yang kembali ramai diperbincangkan setelah dokumenter kasus tersebut ditayangkan di Netflix. Film berjudul 'Ice Cold' tersebut membahas kembali bagaimana perjalanan kasus kematian Wayan Mirna Salihin yang menarik perhatian publik pada 2016 silam.

Kemunculan film dokumenter itu pun membuat publik mulai ragu dengan vonis bersalah yang dijatuhkan hakim terhadap Jessica Wongso. Pasalnya, tidak ada bukti konkret yang memperlihatkan bahwa dia yang menaruh racun sianida di kopi milik Mirna.

Menanggapi ramainya kembali kasus tersebut, Hotman Paris pun ikut memberikan tanggapan. Dia menekankan bahwa sejak dulu, pendapatnya mengenai kasus kopi sianida itu tidaklah berubah.

Baca Juga: PDIP Menilai, Kecil Kemungkinan Demokrat Gabung Kabinet Jokowi pada Akhir Masa Pemerintahan

"Komentar saya atas kasus itu dari dulu adalah tidak prinsip beyond reasonable doubt, tidak diterapkan prinsip harus ada dua alat bukti sebelum seseorang dipidana, tetapi lebih menonjol keyakinan hakim," tuturnya, Selasa 3 Oktober 2023.

Hotman Paris pun membandingkan penanganan kasus di Indonesia, dengan apa yang terjadi di Eropa dan Amerka. Pasalnya, di Indonesia, Jessica Wongso bisa divonis 20 tahun penjara padahal tidak ada bukti telak yang menyatakan bahwa dialah pelaku pembunuhan Wayan Mirna Salihin.

"Di Eropa dan juga di Amerika, seseorang tidak bisa divonis hukuman berat seperti ini kalau buktinya masih ragu-ragu, kalau buktinya reasonable doubt. Harus absolutely beyond reasonable doubt," katanya.

"Artinya, tidak boleh ada keraguan sedikit pun. Artinya, harus ada bukti telak," ucap Hotman Paris menambahkan.

Dia pun menyoroti bagaimana dalam kasus Jessica Wongso, hanya keyakinan hakim yang digunakan dalam menentukan vonis hukuman. Padahal, kasus pembunuhan merupakan kasus yang serius, dan harus dibuktikan dengan alat bukti konkret.

"Dalam kasus Jessica, bukti itu tidak ada yang telak. Saya tidak tahu kesalahan siapa ini, apakah pengacara atau tidak, saya tidak tahu," ujar Hotman Paris, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari akun TikTok @drhotmanparisofficial, Rabu 4 Oktober 2023.

Baca Juga: Ketua MK Pastikan Sidang Putusan Soal Batas Usia Capres-Cawapres Segera Digelar

Prinsip Beyond Reasonable Doubt

Keyakinan hakim merupakan hal yang esensial dalam hukum acara pidana. Hakim harus benar-benar yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana, yang dalam teori hukum pidana dikenal dengan istilah beyond reasonable doubt (alasan yang tak dapat diragukan lagi).

Hakim harus memperoleh keyakinan yang utuh dan terbebas dari keraguan dalam membuktikan apakah berdasarkan alat bukti yang diajukan benar-benar telah terjadi suatu tindak pidana, serta terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum. Hal tersebut karena hakim secara tidak langsung terikat oleh asas “in dubio pro reo”.

Asas tersebut berasal dari bahasa Latin, yang padanan dalam bahasa Inggris berbunyi “When in doubt, for the accused” yang artinya “dalam hal keragu-raguan, diputus yang menguntungkan terdakwa”.

Pengacara Frans Winarta pernah menyoroti bagaimana jalannya sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Tepatnya pada saat persidangan memasuki tahap pembuktian, di mana pada sidang terakhir terdakwa memberikan keterangannya di muka persidangan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Van Bemmelen bahwa dalam hukum acara pidana, yang terpenting adalah mencari dan memperoleh kebenaran. Untuk dapat memperoleh kebenaran itu, pembuktianlah proses yang nantinya menghantarkan hakim semakin dekat kepada kebenaran.

Maka dalam sebuah sidang perkara pidana, tahap pembuktian merupakan proses yang paling penting dalam menggali kebenaran untuk menentukan apakah nantinya seorang terdakwa diputuskan bersalah atau tidak oleh hakim.

Beberapa minggu sebelumnya merupakan tahap pembuktian dimana jaksa penuntut umum menghadirkan beberapa saksi ahli untuk membuat terang dan jelas persidangan. Pihak penasihat hukum pun turut menghadirkan beberapa ahli sebagai saksi a de charge atau saksi yang meringankan terdakwa.

Baca Juga: KPK Buka Suara Soal 'Hilangnya' Mentan Syahrul Yasin Limpo

Dalam proses menemukan kebenaran tersebut, banyak hal dan istilah baru seperti di dalam bidang kedokteran, forensik, dan digital forensik yang berada di luar kompetensi majelis hakim. Sehingga, kehadiran para ahli tersebut dianggap perlu untuk membuat terang dan jelas peradilan yang sedang berjalan.

Nantinya, majelis hakim dalam mengambil keputusan bisa mempertimbangkan keterangan para ahli tersebut meskipun nilai keterangan ahli sama dengan alat bukti yang lain.

Terdakwa memiliki hak yang sama di hadapan hukum (equality before the law), oleh karena itu dia harus diperlakukan secara adil oleh pengadilan. Dengan adanya hak tersebut, atas dirinya wajib diberlakukan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan dirinya bersalah atas perbuatan yang dilakukannya.

Sesuai dengan KUHAP, Indonesia menganut prinsip due process of law di mana dalam prinsip tersebut subjek hukum (tersangka/terdakwa) sangat dihormati hak asasinya. Kemudian, yang paling penting adalah adanya akses terhadap keadilan bagi terdakwa serta pengadilan yang adil dan tidak memihak.

"Walaupun majelis hakim memiliki sedikit saja keraguan, maka hakim harus menjatuhkan hukuman yang paling meringankan bagi terdakwa. Pada intinya, dalam proses persidangan perkara pidana seorang terdakwa tidak boleh dihukum tanpa adanya kesalahan (geen straf zonder schuld)," kata Frans Winarta.

Dalam peradilan pidana Indonesia, hakim tidak boleh terpaku hanya pada batas minimum pembuktian seperti yang telah diatur oleh KUHAP. Namun, hakim juga harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan suatu tindak pidana berdasarkan fakta-fakta dan bukti di dalam proses persidangan.

Prinsip beyond reasonable doubt itu, nantinya akan membuat majelis hakim tidak ragu dalam membuat putusan. Pada akhirnya, apa yang terjadi pada perkara tersebut haruslah diserahkan kepada majelis hakim dengan menghormati prinsip res judicata pro veritate habetur di mana apa yang diputus majelis hakim haruslah dianggap benar.***

Sentimen: negatif (94.1%)