Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Kab/Kota: bandung, Karawang, Keagungan
Partai Terkait
Uji Formil UU Cipta Kerja, MK Harus Gunakan Nurani dan Tegas ke Pemerintah dan DPR
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Nasib Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 akan kembali ditentukan pada sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Senin, 2 Oktober 2023. Beberapa serikat pekerja yang menjadi pemohon dalam perkara pengujian formil itu berharap Majelis Hakim MK dapat memenuhi rasa keadilan.
"Saya ingin menegaskan harapan ke Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan pengujian formil ini dengan menggunakan hati nurani dan memenuhi rasa keadilan, tentu di samping fakta-fakta persidangan, bukti, maupun keterangan ahli yang disampaikan dalam persidangan," kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI), Roy Jinto Ferianto, Sabtu, 30 September 2023.
Pengujian formil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, telah dilakukan dalam rentang waktu cukup panjang. Gabungan beberapa serikat pekerja sudah mengajukan permohonan sejak 6 April 2023.
Permohonan perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), FSP TSK SPSI, dan kawan-kawan.
Total ada 5 permohonan yang mengajukan pengujian formiil dan materiil UU Nomor 6/2023 itu. Permohonan yang lain menggunakan beberapa nama perseorangan. Sidang putusan atas kelima permohonan itu akan dilakukan secara bersamaan.
Roy Jinto mengatakan, pengujian formiil itu menguji proses pembentukan perppu menjadi UU. Hal yang diuji adalah apakah prosesnya sesuai dengan tata cara perundang-undangan yang ditetapkan UUD 1945.
Baca Juga: Ribuan Buruh Karawang Bergerak ke Istana Negara Tuntut Pencabutan UU Cipta Kerja
Dokumentasi. Ribuan mahasiswa bersama sejumlah elemen masyarakat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (7/10/2020). Dalam aksinya mereka menyuarakan penolakan pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR RI.
"Dari fakta persidangan, dari 5 perkara pengujian formil, ahli yang dihadirkan semuanya menyampaikan bahwa pembentukan perppu No 2/2022 menjadi UU Nomor 6/2023 melanggar UUD 1945. Alasan penerbitan perppu adalah karena adanya kegentingan yang memaksa, perppu itu tidak memenuhi syarat yang ditentukan," ucap Roy.
Mengenai alasan ekonomi yang dijadikan alasan penerbitan perppu, Roy mengatakan, saat itu perekonomian Indonesia justru tidak dalam keadaan krisis ataupun stagnan secara ekonomi. Hal itu bahkan dibuktikan dengan pernyataan Menteri Keuangan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 5 persen.
Prosedur dalam pengajuan dan pengesahannya pun tidak sesuai dengan aturannya. Keterangan ahli hukum tata negara dalam persidangan juga menyatakan bahwa prosesnya bertentangan dengan UUD 1945.
"Menurut kami, secara hukum, tidak ada alasan untuk menolak gugatan ini. Seharusnya ini dikabulkan, karena melihat fakta persidangan, bukti-bukti, dan keterangan para ahli. Kami optimistis, berdasarkan itu semua, UU Cipta Kerja ini harus dibatalkan," tuturnya.
Baca Juga: Buruh di Bandung Long March ke Istana, Tuntut Pencabutan UU Cipta Kerja
MK telah menetapkan memisahkan uji formil dan menunda sidang uji materil UU Nomor 6/2023 pada 21 Juni 2023. MK beranggapan bahwa terhadap perkara-perkara yang secara substansial lebih kompleks dan rumit, maka perlu dilakukan pemisahan perkara antara pemeriksaan pengujian formil dan materil. Penilaian konstitusionalitas norma undang-undang secara materil sangat tergantung dari terbukti atau tidaknya permohonan pengujian formil.
Apabila putusan MK nanti menerima perkara yang diajukan pemohon, maka UU Cipta Kerja tidak akan lagi diuji secara materiil. Bila pengujian formiil ditolak, barulah dimulai dengan pengujian materiil yang membahas isi UU yang digugat dalam permohonan.
Warga membentangkan poster di kawasan Patung Kuda, jakarta, Rabu 10 November 2021. Aksi dari berbagai elemen buruh itu digelar guna menuntut kenaikan upah sebesar 7-10 persen dan pencabutan omnibus law dan PKB tanpa omnibus law. Antara foto
Pemerintah abaikan status inkonstitusional bersyarat
Pada 25 November 2021, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah lebih dulu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. MK memerintahkan kepada pembuat UU untuk segera memperbaiki UU Cipta Kerja dalam dua tahun. Apabila tidak, seluruh ketentuan dalam UU Cipta Kerja dinyatakan tidak berlaku dan inkonstitusional.
Roy mengungkapkan kekecewaannya karena pemerintah dan DPR tidak melakukan perbaikan, tapi malah menerbitkan perppu yang akhirnya ditetapkan sebagai UU. Apalagi, prosesnya pun tidak memperbaiki kesalahan sebelumnya.
"Perintah MK adalah perbaikan, berarti revisi mengenai prosesnya dan UU-nya. Tetapi pemerintah enggak melakukan perbaikan, justru mengeluarkan perppu yang jadi UU baru. UU Cipta Kerja yang baru itu sama saja dengan UU yang lama. Kami kategorikan, pemerintah tidak mengindahkan putusan MK," kata Roy Jinto.
Dikatakannya, salah satu yang diamanatkan MK adalah partisipasi publik dalam perencanaan UU itu. Proses perbaikan yang diberikan jangka waktu 2 tahun itu diharapkan mengajak partisipasi publik untuk memperbaiki isi UU.
Baca Juga: Perjuangan Buruh Belum Berakhir, Siap Kepung Lagi Jakarta Tolak UU Cipta Kerja
Akan tetapi, langkah pemerintah adalah menerbitkan perppu. Sementara itu, proses pembuatan perppu memang tidak memerlukan partisipasi publik karena latar belakang penerbitan perppu adalah adanya kondisi kegentingan yang memaksa. Proses itulah yang akhirnya kembali digugat di MK karena pemerintah seharusnya memperbaiki isi UU dengan melibatkan partisipasi publik.
Menurut Mustiyah, salah satu kuasa hukum pemohon dalam persidangan pada 22 Mei 2023, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memerintahkan dan memberikan waktu 2 tahun kepada pembentuk UU untuk memperbaiki proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tenggang waktu 2 tahun yang diberikan merupakan waktu yang seharusnya dimanfaatkan oleh pembentuk UU untuk sigap, taat, dan cekatan melaksanakan perintah putusan MK.
“Sudah sepatutnyalah Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas penetapan UU a quo sebagai bentuk pembangkangan yang mencederai keagungan Mahkamah Konstitusi. Jika model begini dibiarkan, para pemohon khawatir potensi lemahnya fungsi check and balances dan membuat ketidakpercayaan publik terhadap MK karena putusannya tidak berdaya di hadapan lembaga negara lain,” ujar Mustiyah.***
Sentimen: negatif (100%)