Sentimen
Positif (88%)
14 Sep 2023 : 07.54
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Kab/Kota: Sleman, Athena

Kasus: korupsi

Partai Terkait

Jangan Ajarkan Politik Uang kepada Rakyat

14 Sep 2023 : 07.54 Views 24

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Jangan Ajarkan Politik Uang kepada Rakyat

KITA patut prihatin dan mengecam. Di saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan berbagai kalangan masyarakat menyerukan “lawan politik uang”, seorang tokoh politik, pemimpin partai politik (parpol), dikabarkan bagi-bagi uang “gocapan” atau Rp 50.000 kepada masyarakat.

Saya kutip secara langsung laporan Kompas.com, Selasa (12/0/2023).

“Dalam video yang diunggah akun Tiktok amaanat_nasional, terekam aksi Zulkifli Hasan alias Zulhas membagikan uang ke nelayan. Video itu diedit dengan latar belakang musik lagu “Pan Pan Pan Semakin di depan”. Namun, pada konten video itu tertulis “Pan Pan Pan bagi bagi gocapan” (Kompas.com, 12/09/2023).

Masih tentang politik uang, di bagian lain Kompas.com (12/09/2023) menayangkan pernyataan bakal calon presiden (bacapres) Prabowo Subianto di acara Milad ke-11 Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji asuhan Gus Miftah di Kalasan, Sleman.

Prabowo menyarankan masyarakat menerima uang serangan fajar atau politik uang pada masa pemilu.

"Yang mau bagi-bagi uang, terima saja, itu juga uang dari rakyat. Kalau dibagi terima saja, tapi ikuti hatimu. Pilih yang kau yakin di hatimu akan berbuat terbaik untuk bangsa rakyat, dan negara," kata Prabowo yang dikutip Kompas.com dari YouTube Gus Miftah Official (Kompas.com, 12/09/2023).

Prabowo terkesan meremehkan soal politik uang. Bagaimana bisa rakyat yang sudah menerima sejumlah uang akan berpikir jernih dan memilih sesuai hati nuraninya? Rakyat tak selicin politikus yang susah dipegang janjinya.

Kepentingan rakyat direduksi

Dari perspektif antropologi diketahui bahwa tak ada pemberian cuma-cuma. Setiap pemberian senantiasa menuntut imbalan. Namanya “pemberian timbal balik”.

Politik, terutama pemilihan umum (pemilu), dapat pula dipahami sebagai “pemberian timbal balik”. Ada yang dipertukarkan.

Seseorang berpartisipasi dalam pemilu bukan tanpa harapan. Bukan tanpa tendensi. Ada kepentingan yang menyertainya. Pemilu berhubungan dengan kekuasaan yang kelak mengatur distribusi kepentingan-kepentingan.

Namun, di dalam politik uang, kepentingan rakyat (pemilik suara) direduksi. Kepentingan mereka sekadar dikonversi dengan sejumlah uang, senilai ratusan ribu, bahkan puluhan ribu saja. Dukungan suara ditukar dengan uang atau barang senilai uang tersebut.

Pemilu lalu mirip pasar tradisional. Orang datang, bertemu, berkerumun untuk sekadar jual-beli dukungan. Begitu masing-masing telah melaksanakan kewajiban, pada saat itu pula hubungan keduanya putus. Begitulah hukum jual-beli.

Tak ada kewajiban tambahan bagi mereka yang sudah membeli dukungan. Bila mereka nanti terpilih menjadi pemimpin politik, tak ada kewajiban apapun kepada rakyat.

Kewajiban mereka sudah gugur dan terpenuhi melalui transaksi tadi. Rakyat sebagai pemilik suara mendapatkan paket sembako atau uang. Calon memperoleh dukungan suara.

Maka, jangan kecewa, bila pemimpin politik tak lagi mengurus rakyat. Kewajiban mereka sudah terbayar lunas melalui sejumlah uang atau barang senilai uang itu. Rakyat tak berhak bertanya mengapa mereka tak berbuat untuk kepentingan rakyat.

Begitulah anatomi politik uang. Maka, para calon pemimpin politik harus mengumpulkan dana besar. Peluang kemenangan sering pula dilihat dari ketersediaan modal kapital. Modal yang lain-lain urutan belakang.

Bagi yang tak bermodal cukup, tak berani ikut. Kalau pun ikut (sebagai calon), biasanya tak berani sering-sering muncul di publik.

Pemilu seharusnya memproduksi pertemuan-pertemuan antarsubjek, antara pemilih dan calon yang hendak dipilih. Tapi, efek politik uang justru menihilkan pertemuan-pertemuan. Politik uang menjauhkan hubungan antarsubjek.

Maka, tatkala kekuasaan berhasil diraih, kekuasaan juga dengan gampang “dijual” kepada yang membutuhkan. Bisa birokrat, bisa pula pengusaha. Atau, kalangan lain. Tentu saja buat melayani kepentingan mereka.

Korupsi, suap, dan bentuk-bentuk lain penyelewengan jabatan sesungguhnya merupakan pernak-pirnik politik uang. Bentuk lain dari jual-beli kekuasaan.

Yang sangat berbahaya, bila pembeli kekuasaan itu jenis kapitalis tamak. Pembeliannya pun bisa dengan “sistem ijon”. Publik suka menyebut “bohir politik”.

Para pembeli itu mengincar peraturan perundang-undangan dan kebijakan tertentu yang menjadi produk politik. Misal, di bidang pertambangan, pertanian, kehutanan, kelautan, perbankan, perdagangan dan bidang-bidang “basah” lain.

Peraturan perundang-undangan dan kebijakan “dibeli” oleh kapitalis tamak agar isinya menguntungkan kepentingan pelipatgandaan modal mereka.

Negara disandera. Yang seharusnya dikelola buat rakyat, ditawan dan diperalat sendiri oleh pemimpinnya untuk kepentingan kaum kapitalis.

Tanggung jawab etis

Menjelang Socrates dihadapkan pada Pengadilan Heliasts (Court of the Heliasts) tahun 399 SM, Crito menyampaikan ide untuk menyuap beberapa pejabat rumah tahanan. Tujuannya agar Socrates bisa melarikan diri.

Ternyata Socrates menolaknya. Ia memilih menghadapi pengadilan yang terdiri atas 501 hakim warga Athena. Padahal, Socrates tahu bahwa dirinya tidak punya peluang untuk memenangkan perkara, karena sebagian besar hakim adalah musuh-musuhnya.

Socrates juga tahu bahwa pengadilan akan dipakai sebagai alat politik untuk menghabisinya. Bahkan, Socrates pun tahu bahwa musuh-musuhnya itu telah pula menggunakan segala macam cara, termasuk menyuap para hakim, untuk meraih tujuannya.

Benar, Socrates kalah. Tapi, ia telah meletakkan dasar moralitas bagi politik demokrasi. Dengan menolak ide Crito, ia mengajarkan bahwa politik demokrasi membutuhkan tanggung jawab etis dan ketaatan hukum dari para penyelenggara negara, para pemimpin.

Maka, pemilu, baik pemilu presiden maupun parlemen, semestinya bukan sekadar urusan prosedur memilih dan dipilih.

Pemilu diyakini sebagai instrumen demokrasi yang membutuhkan tanggung jawab etis dan ketaatan hukum, baik pemilih maupun calon pemimpin yang hendak dipilih.

Pemilu semestinya dijalankan dengan memuliakan rakyat (demos), bukan dijalankan dengan “meninabobokan” demos, membodohi rakyat.

Mengembalikan marwah demokrasi

Oleh karena itu, tantangan besar kita adalah mengembalikan marwah politik demokrasi yang telah dipilih bangsa Indonesia sebagai jalan mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Aktivitas politik harus kembali dipahami sebagai pelaksanaan prinsip keyakinan dan pencapaian idealisme politik, bukan sebagai pragmatisme meraih kekuasaan.

Bekerja di dunia politik juga harus kembali dihayati sebagai panggilan pelayanan dan pengabdian bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Bekerja demi publik, bukan demi pribadi, bukan pula demi kelompok.

Sepak terjang para pemimpin politik semestinya memberikan keteladanan etis. Keteladanan itu berimplikasi pada pendidikan politik. Di mata saya, pendidikan politik terbaik adalah keteladanan para pemimpin politik.

Para pendiri bangsa telah mewariskan soal mulia tersebut. Pembentukan “bangsa” (nation) Indonesia mustahil tercapai tanpa idealisme politik dan keteladanan etik.

Para pendiri bangsa akan kesulitan membangun semangat kebangsaan, persatuan-kesatuan, di tengah kemajemukan masyarakat tanpa idealisme politik dan keteladanan etik yang kuat.

Demikian pula penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Tanpa idealisme politik dan keteladanan etik para pendiri bangsa dari kalangan kebangsaan dan Islam, perumusan Pancasila tak akan pernah mencapai konsensus dan hanya akan menjadi sumber pertikaian politik yang mengancam integrasi bangsa.

Wahai Bang Zulhas, Pak Prabowo, dan para pemimpin politik yang lain jangan ajarkan kepada rakyat politik uang. Kembalikan marwah politik demokrasi, ajarkan kepada rakyat politik demokrasi yang baik dan benar.

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (88.9%)