Sentimen
Negatif (66%)
28 Agu 2023 : 11.50
Informasi Tambahan

Kab/Kota: bandung, Kyoto

Kasus: covid-19, HAM, kebakaran

Tokoh Terkait

Kolonialisme Rumah Deret Tamansari Bandung: 7 Poin Penting yang Wajib Dijelaskan ke Publik

28 Agu 2023 : 11.50 Views 6

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Kolonialisme Rumah Deret Tamansari Bandung: 7 Poin Penting yang Wajib Dijelaskan ke Publik

PIKIRAN RAKYAT - Di bulan kemerdekaan Indonesia ke-78, pemkot Bandung melalui Satpol PP melayangkan surat peringatan pengosongan area kepada warga Tamansari RW 11 yang masih bertahan di area yang digusur tahun 2019.

Penggusuran terjadi beberapa hari setelah hari HAM dunia dimana Bandung berlabel Kota Peduli HAM melalui Penghargaan Kementerian Hukum dan HAM.

Area penggusuran ini yang kemudian dibangun rumah deret. Konflik tanah Tamansari sudah bergulir sejak 2017 dengan melibatkan 197 KK yang kemudian mengalami penggusuran brutal hingga mendapatkan reaksi publik nasional-internasional.

Seusai penggusuran, pembangunan rumah deret terus berlangsung hingga sekarang. Terdapat warga yang menerima dengan skema relokasi sementara yang tersebar tapi juga ada yang masih bertahan dengan alasan hak atas tanah dan pembangunan yang melanggar hukum terkait amdal dan tata ruang karena tidak termaktub dalam RTRW Bandung 2011–2031 dan RPJMD 2013–2018, walau tidak secara langsung ada dalam RDTR 2015–2035.

Baca Juga: Bayang-Bayang Krisis Pangan Pascapandemi Covid-19

Satu-satunya rencana kota yang menunjukan perubahan lansekap Tamansari terkait pemukiman tercantum dalam RIPP Kota 2011, tapi tidak spesifik berupa rumah deret dan bukan pula berada tepat di lokasi RW 11 yang digusur ini yang berdampingan langsung dengan Mall Baltos.

Dalam pernyataannya pada 22 Agustus 2023 lalu yang juga diliput pers, Plt Wali Kota Bandung mengatakan bahwa kalau warga mau klaim, maka mereka harus menunjukkan mana hak lokasi yang yang dikuasai.

Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa pemkot dan Plt Wali Kota tidak memahami konteks tanah negara dan tanah pemerintah terkait konsepsi alas hak setelah Indonesia merdeka.

Selain itu terdapat klaim menyesatkan bahwa Pemkot membeli tanah dari warga di tahun tahun 1930 dan 1941 berdasarkan akta jual beli (AJB) yang tidak pernah dipublikasikan ke publik. Dan kenapa hanya RW 11 saja yang digusur, tetapi sebelahnya seperti RW 10 atau RW 12 tidak, bukankah pada tahun 30-40an ketika membeli tanah tersebut, lokasi nya masih berupa lahan tutupan yang berada di DAS Sungai Cikapundung yang belum menjadi menjadi RW-RW.

Baca Juga: Sampah Organik, Solusi Nyata Menangkal Bandung Lautan Sampah Jilid II

Oleh karena itu, surat hukum era kolonial tersebut seyogyanya tidak berlaku lagi setelah Indonesia merdeka 1945, yang kemudian diperkuat oleh munculnya UU Pokok Agraria No.5/1960 serta Kepres No.32/1979. Undang-undang tersebut mengatur tentang tenggat waktu konversi tanah bekas kolonial untuk menjadi hak milik pada tahun 1980.

Ajaibnya, Pemkot Bandung ini baru melakukan pendaftaran tanah konversi yang kemudian menjadi aset di tahun 2020. Jadi gusur dulu, urus surat aset belakangan. Hal yang sama berlaku dengan pembangunan rumah deret yang IMBnya baru muncul tahun 2020, tapi kampung sudah digusur pada 2019.

Lantas penulis menghubungi Dianto Bachriadi, mantan komisioner Komnas HAM sebagai saksi ahli untuk warga Tamansari dalam persidangan sekaligus sebagai peneliti di ARC-Agrarian Resources Center dan Profesor tamu di Kyoto University. Terdapat beberapa point penting yang harus dijelaskan kepada publik terkait sesat pikir pemkot Bandung terhadap konflik lahan tanah di Tamansari yang menjadi rumah deret itu.

Baca Juga: Polemik Food Estate, Lumbung Pangan Berakhir Jadi Kejahatan Lingkungan?

Pertama, tanah yang dibeli Gemeente cikal bakal pemkot diera kolonial, tidak otomatis menjadi milik pemkot setelah indonesia merdeka, karena semua tanah milik pemerintah kolonial berubah menjadi tanah negara. Kalaupun tanah negara mau dikuasai, tapi bukan dimiliki oleh pemkot seyogyanya ada penyerahannya dari Mendagri. Nyatanya Pemkot tidak punya bukti tertulis penyerahan itu.

Kedua, tanah negara yang dikuasai badan pemerintah harus diurus hak-nya ke BPN. Pemkot tidak pernah urus tanah tersebut sebelum ada rencana pembangunan Rumah Deret dan kalaupun mau diurus harus ada bukti yuridis penguasaan tanah seperti yang disampaikan pada point pertama.

Ketiga, kalaupun pemkot menguasai tanah RW 11 tamansari tersebut secara formal, bentuknya bukan hak milik, tetapi hak lainnya yang biasanya berupa Hak Pakai, karena pemkot tidak termasuk dalam kategori badan hukum yang bisa memiliki tanah dalam bentuk Hak Milik. Tapi pemkot malah menarik menarik sewa dari warga, seperti kolonial mengutip upeti dari warga yang notabene menempati tanahnya sendiri.

Baca Juga: Meninjau Ulang Urgensi Dewan Pengawas Media Sosial

Keempat, kalaupun pemkot telah mendaftarkan tanah yang tidak jelas alas hak-nya ini sebagai aset/kekayaan pemkot maka pemkot perlu membuktikan asal-usul aset tersebut sesuai peraturan perundang-undangan. Faktanya, dari semua bentuk asal-usul kekayaan negara/daerah, tidak ada yang sesuai dengan tanah di RW 11 Tamansari yang diklaim sebagai aset kota.

Kelima, karena sejak awal sudah cacat hukum terkait alas hak atas tanah dan dasar hukum kepemilikan aset yang berujung penggusuran dan pembangunan, maka Pemkot sejatinya sama sekali tidak punya hak atas tanah tersebut. Justru warga yang telah menempati tanah negara itu sejak tahun 60an lebih berhak untuk diurus haknya sesuai UU Pokok Agraria 1960 melalui melalui program pendaftaran tanah yang telah ada, misalnya Program PTSL yang dicanangkan Presiden Jokowi. Namun, Pemkot tidak melakukannya.

Keenam, kalau pun pemkot memegang hak atas tanah itu secara formal dalam bentuk Hak Pakai yang sebenarnya tidak bisa, maka pemkot tidak bisa juga seenaknya memberikannya ke pihak swasta untuk dibangun, karena Hak Pakai itu ditujukan untuk penggunaan tanah sesuai fungsi atau untuk menunjang kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik.

Baca Juga: Bandung Darurat Sampah, TPA Sarimukti Kebakaran dan Reaktivasi TPST Cicabe

Ketujuh, seyogyanya pemkot melalui Wali Kota/Plt Walkot sekarang ini menunjukan bukti hitam atas putih perjanjian dengan warga yang digusur bahwa ada jaminan pemukim lama mendapat lagi tempat tinggal yang sesuai dengan tempat tinggal sebelumnya, atau pemukim sebelumnya dijamin mendapat tempat di rumah deret ini. Nyatanya, jika rumah deret telah terbagun dan ditempati secara gratis sementara, tapi kemudian akan menjadi penyewa. Pemkot  berlaku seperti perusahaan property, seperti pemerintah kolonial yang mengutip uang sewa kepada rakyat.

Kedelapan, cara pandang Plh Wali Kota khususnya yang terkait dengan point 1-4 itu sama dengan cara pandang mental dan otak pemerintah kolonial yang sedang diperankannya sebagai bagian dari pemerintahan gemeente (pemerintahan kota kolonial). Lakon serupa yang dilakukan oleh walikota Bandung sebelumnya sejak rencana proyek rumah deret tamansari itu dibuat.

Selanjutnya, jika Pemkot mengklaim pembangunan di Tamansari itu sebagai rumah deret, anak SD pun tahu bahwa itu tidak berderet tapi menjulang ke atas. Pemkot juga tampak tidak dapat membedakan tipe hunian vertikal sebagai social housing untuk rakyat miskin dengan hunian vertikal tipe apartemen/kondo. Hal ini terkait dengan ketinggian bangunan, fasilitas dan akses terutama untuk lansia dan difabel yang seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah kota, dan klaim Bandung sebagai kota ramah HAM, ramah difabel dan lansia itu bukan suatu kebohongan publik. (Frans Ari Prasetyo, Urbanis dan Pemerhati Tata Kota)***

Disclaimer: Kolom adalah komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Tulisan ini bukan produk jurnalistik, melainkan opini pribadi penulis.

Sentimen: negatif (66.7%)