Sentimen
Positif (100%)
24 Agu 2023 : 15.41
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Indonesia

Pancasila dan Ekspresi Kelas Menengah

24 Agu 2023 : 15.41 Views 9

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Pancasila dan Ekspresi Kelas Menengah

SEBENARNYA tidak ada definisi baku mengenai penjelasan dari kelas menengah. Namun salah satu yang sering dijadikan rujukan adalah klasifikasi konsumsi (pengeluaran) yang dikeluarkan Bank Dunia.

Bank Dunia dalam laporannya bertajuk “Aspiring Indonesia; Expanding the Middle Class” yang terbit September 2019 menyebutkan, hampir separuh masyarakat Indonesia menuju kelas menengah. Jumlahnya mencapai 114,7 juta orang atau telah mencapai 44 persen total penduduk Indonesia.

Keberadaan kelas menengah ini setidaknya perlu diperhatikan dari sisi ekspresinya terhadap ideologi kebangsaan kita, meskipun mengandung keyakinan bahwa mereka tumbuh dengan lingkungan yang cukup memadai.

Betapa tidak, pada genggaman mereka sudah ada gawai yang memudahkan akses untuk berselancar kemanapun dan di manapun. Kemudahan ini ternyata juga memengaruhi kebiasaan kelas menengah untuk mengekspresikan dirinya.

Kebebasan berekspresi atau freedom of expression merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia.

David E. Guinn melalui Philosophy and Theory of Freedom of Expression (2005), menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi dapat dimaknai sebagai suatu tindakan yang memuat unsur-unsur atau karakteristik dari sikap ekspresif yang meliputi komunikasi, informasi, dan pengaruh.

Dengan semakin derasnya arus perubahan, memaksa kita melakukan akselerasi dengan isu-isu aktual, utamanya yang mampu mendorong penguatan ideologi bangsa, yakni Pancasila.

Posisi kelas menengah tentu mampu melihat ini sebagai kepastian. Hanya saja, terkadang mereka harus berhadapan dengan kenyataan bahwa memahami Pancasila selalu serba formal dan cenderung kaku. Ini harus dihindari.

Akselerasi Ideologi

Ekspresi sederhana jika melihat kenyataan yang tumbuh di lingkungan kelas menengah bisa dilihat melalui beberapa survei.

Misalnya, survei INFID dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) tentang Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Milenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama di 18 provinsi pada Agustus-September 2021.

Mayoritas generasi muda Indonesia memiliki sikap positif yang kuat terhadap toleransi, nasionalisme, dan keberagaman, bahkan tentang kepemimpinan perempuan. Masa depan Indonesia yang bhineka pun dinilai menjanjikan.

Namun, di tengah kabar gembira tersebut terselip tantangan untuk membantu generasi muda agar dapat menerima kebebasan beragama.

Survei lain dari Setara Institute dan Forum on Indonesian Development (INFID) mencatat 83,3 persen siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti.

Meski tidak cukup mewakili, setidaknya gambaran itu mampu menggerakan kepentingan atas nama kebijakan untuk penguatan pembudayaan Pancasila, khususnya kelas menengah.

Kepentingan akselerasi ideologi dimaksudkan sebagai upaya konkret untuk mendukung pembudayaan Pancasila. Pembudayaan bisa dimaknai sebagai penghayatan yang mampu mewujud sebagai perilaku atau aktualisasi.

Apabila kelas menengah dilibatkan dalam kegiatan konkret yang mengandung nilai-nilai yang diharapkan, maka perlahan tapi pasti mereka akan mengalami pembudayaan nilai-nilai itu dengan sendirinya.

Jika pelibatan itu dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, kelas menengah akan mengaktualisasikan nilai dengan cara dan pendekatan yang mereka yakini.

Jika ingin mengenalkan Pancasila kepada kelas menengah, pola sosialisasi tak bisa lagi hanya menggunakan cara-cara konservatif, berupa ceramah atau pembelajaran konvensional.

Meski itu perlu, setidaknya pola aktualisasi Pancasila harus diperbaharui dengan meyakini mereka adalah kelompok yang membawa estafet pembudayaan Pancasila masa depan dengan dunia yang diyakini.

Membaca Potensi

Bank Dunia juga memberikan catatan terhadap kelas menengah Indonesia dengan potensi dan kontribusi yang signifikan melalui tiga hal utama.

Antara lain, mereka sebagai penggerak besar perekonomian, mengarahkan investasi yang lebih besar pada sumber daya manusia, dan pada saat yang sama mereka mendorong pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja.

Potensi itu setidaknya dibaca sebagai model untuk pengembangan strategi pembudayaan Pancasila.

Artinya, kita perlu melihat kelas menengah sebagai kelompok independen, rasional, dan otonom. Bagaimana upaya men-triger kelas menengah agar mampu menjadi jembatan bagi kepentingan kebangsaan kita.

Penerimaan nilai-nilai kebangsaan di kalangan kelas menengah cenderung aktif pada wilayah pemahaman yang emosional serta fungsional/praktis.

Peran aktif kelas menengah akan terbaca melalu soliditas kelompok dalam kesehariannya. Oleh karena itu, upaya membangun eksistensi dan representasi kebangsaan dengan upaya mampu beradaptasi dengan modernitas menjadi pilihan bagi kelas menengah.

Pancasila harus dijadikan acuan penanganan masalah pokok strategis bangsa dan arah pembangunan yang mendukung potensi dan kontribusi kelas menengah.

Dalam perjalanan bangsa mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 tidak mudah melahirkan negarawan sekaliber the founding fathers kita.

Semangat zaman sudah sangat berubah, tantangan yang dihadapi juga jauh berbeda, tetapi dasar, landasan, dan tujuan bernegara tidak berubah.

Tinggal masalahnya adalah bagaimana kelas menengah ini didorong untuk memiliki komitmen kebangsaan yang mapan, untuk kemudian dibudayakan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Setelah 78 tahun kemerdekaan, semoga keluhuran nilai-nilainya Pancasila sebagai dasar, landasan, dan tujuan bernegara tidak terus diimpikan, apalagi dengan defisit kemampuan untuk menjamin tercapainya cita-cita bangsa.

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (100%)